Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Wakil Rakyat Lembata yang Sadar Konteks

 

Antonius Rian

 

RakatNtt - Jhon Batafor, salah seorang ADPRD Lembata mendadak viral di media sosial usai mengeluarkan pernyataan ‘menolak’ ikut Bimtek di Jakarta yang rencananya akan diadakan pada 21-26 April 2025 (Katawarga, 16/4/25). Menurutnya, kegiatan tersebut bisa diredefinisikan lagi; tak harus di Jakarta, tetapi bisa dilakukan di Kupang atau bahkan langsung di Lembata dengan mendatangkan pematerinya. Hal ini ia katakan sebagai penegasan atas komitmennya untuk mendukung efisiensi anggaran yang sudah menjadi cita-cita secara nasional.

Jhon Batafor meminta agar uang perjalanan untuknya ke Jakarta bisa dikembalikan ke Daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat–uang perjalanan untuk Bimtek bisa mencapai sekitar 600 juta.

Tentu publik Lembata yang dihimpit berbagai kepentingan hidup, mayoritasnya akan mendukung Jhon Batafor. Hal ini bisa kita temukan juga melalui komentar para pengguna medsos. Namun, ada juga yang berusaha memberikan pandangan lain yang lebih seimbang. Sebab yang viral di media belum tentu mewakili Lembaga.

Dilema Etika Diskursus

Habermas dengan Etika Diskursus-nya amat menekankan pentingnya konsensus. Artinya, kesimpulan yang ditarik dari pendapat intersubyektif sangat ditekankan untuk melahirkan sebuah etika yang bersifat universal bukan atas kemauan moral subyek tertentu saja.

Prosedur diskursus semacam ini sebenarnya juga menjadi kerangka umum yang dipakai dalam mengambil keputusan di lembaga wakil rakyat. Dalam konteks Bimtek, Jhon Batafor telah hadir menyuarakan idenya yang diyakini mewakili suara masyarakat. Namun, pertanyaannya; apakah pendapat semacam itu sudah melalui diskursus rasional? Jika belum ada konsensus, maka dengan alasan prosedural, pendapat mulia dari Jhon Batafor hanyalah 1 berbanding 9.

Pada sisi lainnya, dilema etika diskursus ini akan dijadikan sebagai perisai untuk membenarkan sesuatu yang tidak substansial. Mungkin saja mayoritas mereka akan menggunakan alasan prosedural tanpa mempertimbangkan substansinya. Secara prosedural, mereka benar, tetapi secara substansial, mereka bisa dikatakan tidak adil terhadap masyarakat Lembata: para penjual jagung titi, janda, peternak babi dan lain-lain.  Lebih tidak masuk akal lagi yakni ADPRD yang menjadi petahana juga turut serta ke Jakarta untuk Bimtek. Apakah materi Bimtek selalu berubah-ubah? Untuk apalagi harus ke Jakarta?

Mengapa Diam?

Jhon Batafor sudah berbicara, lantas dimanakah suara ADPRD yang lain? Mengapa mereka tidak menyampaikan argumentasi untuk menyeimbangkan Jhon Batafor dan mencerdaskan pemahaman masyarakat? Apakah mereka secara diam-diam langsung ke Jakarta walaupun keputusan mereka menimbulkan kegaduhan?

Beberapa pertanyaan tersebut menjadi penting karena hingga saat ini, media belum mempublikasikan suara wakil rakyat lainnya yang lebih detail tentang urgensitas Bimtek. Kesimpulan sementara ialah wakil rakyat yang lain setuju untuk mengikuti Bimtek di Jakarta dan menghabiskan uang ratusan juta.

Barangkali mereka akan merasa rendah diri jika Bimtek dilakukan di Kupang atau Lembata. Kebiasaan lama yang mengikuti prosedur jakartasentris membuat wakil rakyat kehilangan arah pelayanan politiknya. Mereka bisa saja menganggap bahwa anggaran ratusan juta itu sangat layak untuk perjalanan ke Jakarta karena mereka adalah para pejabat negara yang harus mendapat privelese.

Kesadaran palsu ini sebenarnya sudah mulai diganggu oleh Jhon Batafor dengan keputusan yang ia ambil. Namun demikian, kita tentu tetap berharap agar keputusan Jhon Batafor adalah sebuah komitmen yang jujur bukan sebuah strategi untuk viral. Kompetisi kepentingan publik yang diwakili oleh Jhon Batafor dan kepentingan pribadi yang dimodifikasi sebagai yang publik oleh 24 DPRD Lembata mesti menyadarkan kita bahwa frasa Wakil Rakyat pada konteks tertentu tak perlu lagi dibaca secara harafiah. Maknanya telah berubah sesuai kepentingan.

Selain itu, para wakil rakyat mestinya menyadari identitas mereka sebagai wakil atau pelayan bukan sebaliknya ngotot ke Jakarta atas nama Bimtek untuk menghabiskan anggaran ratusan juta. Sebagai pelayan, mereka seharusnya mengadopsi spirit kesederhanaan.

Budaya tahu malu terhadap rakyat yang sedang butuh uang mesti ditanamkan dalam diri para wakil rakyat ketika menghadapi keputusan-keputusan problematis semacam ini. Dengan demikian, beberapa hal ini mesti dipertimbangkan lagi oleh wakil rakyat Lembata sebelum meratifikasi sebuah keputusan dalam kaitan dengan Bimtek.

Pertama, urgensitas. Tentu masyarakat Lembata, termasuk Jhon Batafor, tidak begitu saja menolak Bimtek di Jakarta. Pertimbangan anggaran dan urgensitas adalah dua hal yang perlu dipikirkan lagi oleh para wakil rakyat. Efisiensi anggaran dan kesulitan lainnya seperti virus mematikan yang membunuh ternak babi di Lembata mesti mendobrak nurani wakil rakyat untuk bisa menghemat anggaran sebagai jalan lain membantu masyarakat.

Kedua, partisipasi politik masyarakat mesti ditingkatkan. Lantaran politik bertujuan untuk kepentingan bersama, maka informasi seputar Bimtek harus juga mendapat sorotan masyarakat sebelum keputusan ke Jakarta atau tidak diputuskan secara lembaga dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Hal ini menjadi penting agar peran masyarakat tidak dilihat sebelah mata oleh mereka yang ada di dalam gedung Peten Ina. Suara-suara kritis dan protes dari masyarakat mestinya semakin masif sebagai pengontrol.

Ketiga, Bimtek harus produktif. Artinya, perjalanan ke Jakarta mesti diimbangi dengan rasa atau komitmen untuk bertanggungjawab terhadap masyarakat. Hotel elit di Jakarta yang menjadi tempat bermalam tak boleh menghilangkan tanggung jawab mereka terhadap kepentingan yang lebih besar di Lembata. Artinya, setelah Bimtek, apa yang mau diberikan kepada masyarakat Lembata?

Keempat, berpikir kritis. Senada dengan Jhon Batafor, kegiatan Bimtek sudah saatnya dibaca secara berbeda; tak perlu lagi Jakartasentris. Sudah saatnya Bimtek dilakukan di daerah sendiri bahkan bila perlu pintu tak perlu ditutup agar media dan masyarakat bisa mengaksesnya. Dengan melakukan Bimtek di rumah sendiri atau via zoom, tentu akan ada banyak manfaat, anggaran bisa lebih hemat, tak perlu bayar hotel – apakah bisa, aturan memungkinkan?

Cara pikir model ini harus dipaksa untuk “merasuki” otak para wakil rakyat untuk lebih membumi dan merakyat, juga lebih sadar konteks. 

Post a Comment for "Wakil Rakyat Lembata yang Sadar Konteks"