Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tanah Adat, Keharmonisan Kampung dan Peran Pemerintah Desa

 


 

Tanah untuk kehidupan tak boleh menjadi sumber konflik

RakatNtt – Nilai kearifan lokal di Kedang, Lembata, tak sebatas pada adat-istiadat sosial praktis – kawin mawin, pesta rakyat dll – tetapi juga berkaitan dengan tanah yang memiliki nilai sakral. Orang beradat meyakini tanah punya mata, kaki, telinga dan seterusnya layaknya seorang manusia.

Maka tak heran, dalam konteks Masyarakat adat Kedang, ibu tanah juga sering diberi “makan” melalui ritus iu uhe bei ara. Contoh lainnya bisa kita lihat pada ritus-ritus adat lain, seorang molan, sebelum melakukan ritus, akan terlebih dahulu menyapa atau memanggil tanah dengan nama-namanya yang sakral (tuan uhe).

Tuan uhe atau yang juga disebut duli uhe ini berkaitan dengan Sejarah migrasi suku-suku tertentu sehingga tidak bisa seenaknya dimanipulasi atas nama hukum positif atau suara mayoritas yang seringkali manipulatif.

Suara mayoritas tak selamanya mengandung kemurnian dari kebenaran jika tidak diuji secara serius – baik melalui penuturan sejarah yag masuk akal maupun hingga pada pengadilan adat – suara mayoritas bukan asal teriak atau omong banyak tetapi harus ada isi atau gizi untuk mencerahkan warga di sebuah kampung.

Pada konteks menguji kemurnian kepemilikan tanah adat ini, kita membutuhkan sebuah ruang diskusi yang sejuk dan terhindar dari kebiasaan mabuk dulu baru berani omong. 

Sebab dengan kondisi mabuk, penuturan Sejarah menjadi tidak jelas, amburadul, asal bunyi dan sudah pasti membingungkan generasi muda. 

Lebih memprihatinkan lagi jika kondisi mabuk sudah diseting atau disiapkan di belakang layar untuk tujuan merusak suasana.

Konflik Tanah dan Peran Pemdes

Di Kedang, konflik-konflik terkait tanah tak boleh dilihat sebagai masalah kecil. Bom waktu bisa datang kapan saja dan meledak. 

Nah, hal-hal seperti ini mestinya membuka kesadaran warga kampung, terutama Pemerintah Desa agar tidak tinggal diam atau menggantung begitu saja masalah tentang tanah.

Pemerintah Desa yang tinggal diam terhadap konteks masalah tanah, ibarat membiarkan nyala api itu dari kecil dan perlahan-lahan membesar, mungkin saja disiram lagi menggunakan bensin.

Pemerintah Desa diharapkan mampu menjadi penengah hingga persoalan tentang tanah adat selesai. Tentu saja tujuannya adalah agar suku-suku yang sedang bersengketa tentang obyek tanah adat tertentu tidak dibiarkan hidup dalam lingkaran konflik.

Jika penyelesaian masalah hanya sampai pada debat kusir, saling teriak tanpa arah, mestinya Pemerintah Desa membaca konteks ini lebih luas yakni masalah harus diselesaikan bukan dibiarkan begitu saja.

Sebab Pemdes terutama Kepala Desa punya tanggung jawab bukan hanya pada pembangunan infrastruktur fisik melainkan pada keharmonisan warga kampung. Namun, apakah Pemerintah Desa mampu berpikir tentang ini atau justru membiarkan saja?

 Kesakralan Tanah Adat

Orang yang dari kecil lahir dan besar di kampung akan terlihat aneh jika berusaha menghilangkan kesakralan tanah adat ini dengan menggunakan hukum positif atau membaca definisi ulayat buatan negara tanpa menghubungkan dengan konteks kearifan lokal Kedang.

Kita seringkali menemukan ada narasi seperti itu. Namun, sayang sekali karena justru narasi-narasi seperti itu lahir dari orang-orang yang tidak hidup di kampung dan menggeluti juga merasakan lebih dalam terkait dengan kesakralan tanah adat. 

Anehnya lagi, seringkali ada fenomena bahwa orang-orang pada kondisi mabuk, bebas berteriak sebagai pemilik tanah adat tetapi saat diminta menuturkan justru mulai bernarasi tidak lurus, mengada-ada dan hasilnya debat kusir.

Sebagai generasi muda, saya membaca fenomena ini sebagai bentuk dari tergerusnya identitas Masyarakat adat. Sebab sebagai orang beradat, kepemilikan tanah adat itu tak bisa dimanipulasi, tanah adat punya nama (tuan uhe) yang jelas, batas-batas yang jelas dan dimiliki oleh salah satu suku tertentu.

Suku-suku pemilik tanah adat juga memiliki karakter yang tidak suka merampas atau ingin dipandang tinggi. Namun, jika suku-suku yang punya dasar kepemilikan secara adat diganggu maka sudah pasti mereka akan bangkit dan melawan.

Kita boleh kembali ke belakang, tahun 1962, para pejuang ulayat masing-masing kampung berjuang untuk menjaga ulayatnya agar tidak ada kepemilikan tunggal di Kedang. Lantas, apakah perjuangan mereka hanya untuk kepentingan suku mereka? Tidak! 

Mereka berjuang untuk kebaikan kampungnya. Lalu, apakah perjuangan mereka tak boleh dicatat dalam sejarah? Orang yang paham tentang nilai perjuangan yang tulus akan mengakui tanpa menolak tanpa pendasaran.

Hal lainnya sudah mulai terjadi saat ini. Dalam metode fenomenologi, kita bisa melihat langsung di kampung kita masing-masing. 

Masalah terkait tanah adat muncul karena adanya tendensi suka klaim tanpa dasar tentang kepemilikkan tanah adat, padahal pemiliknya ada dan tidak pernah mengganggu kebun warga dan tidak pernah merampas tanah orang. Ibarat harimau yang sedang tidur bisa marah jika diganggu.

Ketika sudah terjadi hal demikian, maka konflik pasti akan bertumbuh dan merusak keharmonisan. Lantas, apakah Pemerintah Desa membaca hal ini sebagai yang biasa-biasa saja? Apakah tidak pernah berpikir bahwa suatu saat akan lahir konflik yang lebih besar?

Hanya Pemerintah Desa yang dipimpin oleh orang yang bernurani bijaksana, mampu berada di tengah, menjadi milik semua suku yang bisa berpikir luas dan membaca konteks persoalan yang kompleks ini dengan hati-hati.

Lalu dengan hati pula merangkul semua untuk menyelesaikan persoalan tanah adat di kampung hingga selesai dan memuaskan semua pihak agar keharmonisan tetap terjaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

 

Post a Comment for "Tanah Adat, Keharmonisan Kampung dan Peran Pemerintah Desa"