Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mencari Kebenaran Konflik Tanah Melalui Ritus Pahi Awu’ di Kedang

 

Tanah memiliki kebenaran yang fundamental (pexel)


RakatNtt – Masyarakat tradisional sangat menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Sebab kearifan lokal menjadi pegangan pengetahuan dalam membangun segala aspek kehidupan di kampung.

Seiring dengan kemajuan zaman dan hadirnya negara melalui hukum positif, kearifan-kearifan lokal pun terancam dilengserkan dalam kehidupan sosial Masyarakat adat.

Salah satu nilai kearifan lokal yang sangat kuat dipertahankan oleh Masyarakat adat di Kedang, Kabupaten Lembata yakni tentang tanah atau awu’. Dalam tradisi Kedang, kita mengenal beberapa sistim kepemilikkan yakni tanah suku (yang umum disebut uhe) dan tanah milik pribadi seperti kebun yang disebut juga sebagai uli’ ola ka pai’ min.

Sebagai makhluk sosial, orang Kedang selalu hidup bersama entah dalam kelompok kecil seperti suku maupun kampung. Melalui sistem pewarisan cerita oral, dapat kita temukan bahwa sering terjadi perbedaan versi tentang status tanah di Kedang, khususnya dalam kampung-kampung tertentu.

Perbedaan versi ini seringkali mengakibatkan konflik yang lebih besar antarsuku-suku. Ada orang yang hanya mengklaim tanpa memberikan penjelasan sebagai dasar argumentasi kepemilikan tanah. Akibatnya, lagi-lagi, kita sering temukan konflik.

Yang paling sering muncul di Kedang yakni konflik tentang uhe atau ulayat.

Memang negara mendefinisikan ulayat sebagai tanah yang digarap secara komunal tetapi ketika disesuaikan dalam konteks budaya Kedang, ditemukan perbedaan-perbedaan tertentu.

Orang Kedang melihat uhe – bisa diperdebatkan lagi – sebagai tanah yang berkaitan dengan Sejarah migrasi atau dorong dope’ suku. Artinya, suku yang paling pertama menghuni kampung tersebut, akan diketahui jelas nama tuan uhe (nama tanah adat) di kampung tersebut yang biasanya diambil dari nenek moyang suku tersebut.

Jadi uhe tidak bisa dimanipulasi dengan argumentasi hukum positif atau suara mayoritas warga kampung.

Hamparan uhe (atau ada yang menyebut duli uhe) sangat luas tetapi luar biasanya adalah suku yang memiliki uhe tidak serta merta menjadikan hamparan tanah luas itu sebagai kebun komunal warga suku.

Suku-suku lain entah dari  satu kampung maupun kampung lain boleh hidup dan membuka kebun di atas hamparan tanah suku tersebut.

Suku pemilik uhe hanya berperan secara adat, tidak lebih apalagi perampasan tanah.

Walaupun demikian, pemahaman orang Kedang sering bisa berubah-ubah sesuai konteks persoalan dan kepentingan. Ini bisa dimaklumi bahwa setiap orang punya kepentingan dan cara berpikir yang tidak sama.

Ada yang dengan sengaja menghilangkan kearifan lokal tanah suku dengan dalil hukum positif.

Kontroversi tentang tanah suku di Kedang ini tak jarang menimbulkan konflik. Perdebatan terus mengalir sehingga sulit menemukan kata sepakat dan saling mengakui.

Untuk membuktikan kebenaran pemilik tanah suku, orang Kedang memiliki jalannya sendiri yakni ritus pahi awu’

Pahi Awu’

Pahi awu’ bisa diterjemahkan sebagai sumpah makan tanah – yang dimaksudkan adalah tanah sengketa. Melalui ritus sumpah tanah ini, kita akan menemukan kebenaran yang paling jelas. Orang yang mungkin suka klaim sebagai pemilik uhe harus berani mengadakan ritus sumpah makan tanah.

Saya sendiri pernah menyaksikan langsung ritus makan tanah ini. Ritus pahi awu’ dipimpin oleh seorang molan dan pada ritus tersebut akan dikurbankan seekor atau beberapa ekor ayam.

Kemudian wutu’ ale atau beberapa bagian tubuh ayam akan diserahkan kepada tetua dari dua atau beberapa suku yang bersengketa.  Wutu’ ale merupakan bagian tubuh hewan yang tidak sembarangan dimakan oleh orang Kedang jika tidak punya dasar kepemilikan tanah yang jelas. Hanya orang yang benar-benar yakin sebagai pemilik uhe yang berani makan wutu’ ale.

Dalam konteks konflik tanah adat, mau tidak mau, suku-suku yang bersengketa harus makan wutu’ ale dicampur dengan tanah sengketa dan tuak. Dengan melakukan hal tersebut, masing-masing suku yang bersengketa menyatakan bertanggungjawab atas Keputusan mereka.

Konsekuensinya jelas, orang yang tidak punya status sebagai pemilik tanah suku akan kehilangan nyawa. Tubuhnya akan dikurbankan sebagai balasan dari Keputusan yang ia ambil. Lantaran konsekuensi nyawa hilang, maka orang sangat takut mengadakan ritus ini.

Orang boleh saja berkoar-koar (entah mabuk atau sadar) atau mengklaim sebagai pemilik uhe dan mendapatkan tepukkan tangan banyak orang (termasuk para Perempuan) tetapi jika tidak mau melakukan ritus pahi awu’, secara logika, ia dinyatakan sebagai pembohong.

Padahal kebenaran dalam kearifan lokal Kedang adalah sesuatu yang tidak main-main. Kebenaran harus dibuktikan bahkan dengan kehilangan nyawa melalui ritus pahi awu’.

Tanah, Konflik dan Persatuan

Menurut Benyamin Molan, kata awu’ sangat dekat dengan kata awur atau saling rampas. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa omong tentang tanah tak jarang sering terjadi konflik atau awur.

Namun, kata awu’ – sebagaimana disinggung pater Thomas Ebarian – bisa menjadi pemersatu. Awu’ memiliki dua makna yang berbeda yakni yang pertama berarti tanah, yang kedua berarti merangkul menjadi satu.

Dengan demikian, maka, jika orang Kedang memahami konsep-konsep seperti ini, menjunjung tingi kebenaran status atas tanah adat, maka peluang awur bisa diminimalisasi dan kesempatan untuk awu’ atau saling merangkul menjadi lebih terbuka. Kebenaran dalam kearifan lokal Kedang sifatnya fundamental tak seenaknya dimanipulasi.

Awu’ menjadi identitas Masyarakat bersangkutan, mejadi kekuatan untuk menghadang hegemoni dari luar kampung. Lantas, orang kedang mau pilih yang mana, saling merampas atau merangkul?

Post a Comment for "Mencari Kebenaran Konflik Tanah Melalui Ritus Pahi Awu’ di Kedang "