Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Berlayar ke Alor, Melihat Pulau Lepan Batan dari Dekat

 

Pulau Batan


 

RakatNtt – Cerita lokal tentang bencana besar di pulau Lepan dan Batan masih mengganggu pikiran saya; apakah pulau Lepan Batan itu benar-benar pernah ada dan sudah tenggelam karena bencana?

Cerita bencana besar yang melanda Lepan Batan menjadi salah satu cerita rakyat Lembata yang diwariskan hingga sekarang. Bukan hanya di Lembata, di Flotim juga demikian bahkan di daerah Alor dan Pantar.

Dalam benak saya, pulau Lepan dan Batan pasti sudah hilang dan hanya dikenang melalui cerita rakyat. Namun, suatu ketika, saat saya bersama teman bertamasya ke tanjung Leur di ujung timur Lembata, ternyata pulau Batan masih bisa dilihat di ujung tatapan mata. Disinilah saya menyadari bahwa pulau Batan masih ada, lalu dimanakah pulau Lepan?

Berlayar ke Alor

Pada tahun 2024, saya bersama sekelompok teman dari Komunitas Pandu Budaya Lembata ditugaskan untuk mendampingi teman-teman Pandu Budaya Alor dalam mendata Obyek Pemajuan Kebudayaan di Kabupaten Alor.

Tanpa pikir panjang, saya berangkat dari Balauring menggunakan kapal Sabuk Nusantara, sedangkan dua teman saya Boston dan Sisko ketinggalan kapal. Keduanya tiba di balauring, saat kapal lepas tali. Beberapa hari kemudian, keduanya menyusul ke Alor.

Dengan keinginan kuat inigin ke Alor untuk pertama kali, akhirnya saya berlayar tanpa teman dari Pandu Budaya Lembata.

Perjalanan mengarungi laut sawu memang sangat mengganggu konsentrasi, gelombang ganas, apalagi saat melewati Wei Rian di ujung timur pulau Lembata. Sekitar satu setengah jam dari Wei Rian, kapal mulai masuk ke perairan Alor dan kita bisa menikmati pulau-pulau kecil milik Kabupaten Alor misalnya pulau Rusa, pulau Lapan dan Batan – kedunya berdekatan – pulau Kangge, dan pulau Pantar.

Pualu Lepan dan Batan adalah dua pulau yang sangat berkaitan dengan migrasi nenek moyang sebagian besar orang Lembata dan Flores Timur. Kapal berlayar di antara pulau Kangge dan Lepan batan.

Pulau Batan terlihat seperti satu bukit dan amat gersang. Sedangkan pulau Lapang amat datar seperti sebuah lapangan luas tanpa ada satu bukitpun dan pada bagian ujungnya terlihat hanya ada satu pohon – mungkin pohon bakau besar.

Melihat dua pulau ini, saya berusaha berimajinasi tentang masa lalu bencana di pulau ini. Tentu sangat menakutkan, banyak orang berusaha menyelamatkan diri.

Menurut catatan Yakobus Blikololong dalam sebuah disertasinya, di Lepan Batan dahulunya terdapat sebuah pasar barter yang mempertemukan orang Munaseli, Pandai, bahkan dari Kedang, Lembata. Cerita lokal di Kedang pun menegaskan hal demikian.

Dalam pelayaran menuju Alor ini, kita bisa berimajinasi kembali betapa ramainya orang-orang yang hidup di dua pulau kecil ini, apalagi ada pasar barter. Orang-orang dari Maluku bermigrasi dan menetap beberapa lama di dua pulau ini.

Ketika terjadi bencana yang menurut banyak sumber diperkirakan terjadi sekitar tahun 1520-an, semua penduduknya bermigrasi baik ke Alor, Pantar, Kangge, Lembata maupun Flores Timur.

Pulau Lepan atau Lapang


Kita bisa membayangkan saja, jika tak ada bencana, mungkin saja Lepan Batan sekarang sudah menjadi sebuah kota yang punya pelabuhan laut tempat orang-orang singgah beberapa waktu dari Lembata ke Alor pun sebaliknya. Namun, fakta sejarahnya berbeda, bencana telah mengubah sebuah cerita.

Kroko Puken

Di daerah Flotim, kita masih mendengar orang menyebut nenek moyang mereka berasal dari Kroko Puken Lepan batan. Banyak orang menduga bahwa Kroko Puken merupakan nama lain dari Lepan batan.

Namun, saat mendata Oyek Budaya di Pantar, saya akhirnya mengetahui versi orang Pantar bahwa Kroko Puken berbeda dengan Lepan Batan. Orang Pantar biasanya menyebut Kroko Puken-Kroko Wutun.

Menurut sumber dari Pantar, Kroko Puken merupakan sebuah pulau tersendiri yang letaknya lebih dekat dengan Baranusa di pulau Pantar. Namun, pulau ini pun sudah tenggelah hilang.

Kemungkinan, Kroko Puken dilanda bencana bersamaan dengan bencana yang meluluhlantakan Lepan dan Batan.

Saat ini, pulau Lepan dan Batan menjadi tempat membudidayakan rumput laut. Ada warga Pantar juga membangun pondok-pondok sebagai hunian sementara untuk budidaya rumput laut dan mencari ikan.

Selain itu, informasi tentang Bahasa daerah, Sebagian besar orang Pantar menggunakan Bahasa yang sama dengan Bahasa Lamaholot seperti orang Munaseli dan Pandai. Teman saya Sisko, saat berdiskusi dengan orang Munaseli sangat memahami Bahasa yang mereka gunakan.

Post a Comment for "Berlayar ke Alor, Melihat Pulau Lepan Batan dari Dekat"