Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Sejarah Perang Lokal di Kedang Lembata

 

Ilustrasi Pexel


RakatNtt - Sejarah mencatat, kurun waktu ke dua abad 19, ada beberapa perang lokal yang terjadi di Kedang.

Sebab musabab peperangan tersebut disinyalir sebagai perang aneksasi atau pendudukan, perselisihan dalam hubungan sosial ekonomi dan memperkuat hegemoni kekuasaan juga pemberontakan atas kesewenang-wenangan pemerintah pada waktu itu. 

Perang-perang lokal tersebut dikenal dengan beberapa istilah dalam bahasa Kedang, yang sekalian menggambarkan latar belakang yang memicu peperangan itu sendiri.

Nu'atan Botaq Te'u atau Perang Garam

Perang ini terjadi antara Kampung Kalikur dengan Lamahala. Dalam hal ini, Kerajaan Lamahala hendak melakukan invasi ke Kedang dengan menaklukan Kedang di bawah Kerajaan Lamahala. 

Dengan bantuan kampung Dolulolong, kerajaan Lamahala melakukan perundingan dengan seluruh kepala kampung keliling gunung Kedang, dengan membagi-bagikan garam manis (gula pasir) kepada semua kampung di Kedang. 

Dengan satu perjanjian bahwa semua kampung yang mendapat pembagian dan makan garam manis, harus takhluk di bawah kekuasaan Kerajaan Lamahala. 

Garam manis ini didatangkan dari Lamahala melalui kampung Dolulolong, dan seterusnya didistribusikan kepada kampung-kampung di sekeliling gunung Kedang.

Mendengar berita tersebut di atas, Kapitan Kedang (Kapitan Sarabiti) yang waktu itu yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Adonara menjadi geram, karena hegemoni kekuasaannya terganggu dan kemudian melakukan upaya perlawanan. Persoalan inilah yang memicu terjadinya perang Kalikur melawan Lamahala.

Perang antar Kalikur vs Lamahala ini terjadi di wilayah laut dan berlokasi di dua tempat berbeda. Pertempuran pertama terjadi di pantai Ramuq, sebelah Timur kampung Dolulolong, di bawah kampung Leuhoeq. 

Sedangkan perang kedua dilanjutkan di pantai Wata Ayaq, di kampung Leunoda. Dalam pertempuran ke dua di Wata Ayaq ini, pasukan laut Lamahala berhasil dipukul mundur oleh pasukan dari Kalikur. 

Dengan selesainya perang tersebut, wilayah Kedang kembali berada di bawah pemerintahan Rian Baraq di Kalikur.

Perang Watar Bala. (Harafiah: Jagung - Gading).

Pemicu perang ini ada beberapa versi. Yang di tulis ini mengambil versi dari sejarah yang didapat dari Amo Pius Kulu Beyeng. Perang ini bermula dari konflik pribadi dalam soal jual beli (barter), antara orang Leuwohung dengan orang Kalikur.

Dalam transaksi jual beli tersebut, terjadilah perselisihan dan akibat dari perselisihan tersebut, seorang Kalikur dibunuh oleh orang Leuwohung. 

Mendapat berita pembunuhan itu, masyarakat Kalikur kemudian bangkit menyerang kampung Leuwohung, dan terjadilah perang antar kampung. 

Dikisahkan bahwa dalam pertempuran tersebut, pihak Kalikur selalu dipukul mundur dan mengalami kekalahan dari gempuran pihak Leuwohung. 

Perang Meo Pertama dan Kedua

Perang antara Leuwohung dan Kalikur yang dikenal dengan nama "perang Watar Bala" ternyata terus berlanjut. Akibat kekalahan terus menerus dalam melawan Leuwohung, pihak Kalikur meminta bala bantuan dari Raja Meo di Niki-Niki Timor melalui perantaraan orang-orang orang Alor yang dikenal dalam bahasa Kedang "Toda Meo".

Dalam pertempuran lanjutan ini, Leuwohung dikalahkan. Sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Raja Meo dengan prajuritnya, Kapitan Sarabiti mempersembahkan seorang Puteri dari Kalikur bernama Nona Biri untuk dinikahkan dengan Raja Meo yakni Raja Willem. 

Selain itu, Kapitan Kalikur juga meminta bantuan dukungan dari orang Peu Uma  berupa Alu dan Lesung dari Emas (Upeq Aluq Weren) untuk diberikan kepada Suku Meo. Dituturkan, keterlibatan orang Peu’uma dalam urusan Kapitan Kalikur disebabkan adanya hubungan kawin-mawin di antara mereka.

Namun sekembalinya pasukan sekutu (Meo) ke Timor, terjadi lagi peperangan antara dua belah pihak. Perang lanjutan ini berlangsung sengit, dan akibatnya Kalikur mendatangkan lagi bala bantuan sekutu yakni pasukan Meo untuk kedua kalinya. 

Dalam perang Meo ke dua ini datang juga putera Raja Wilem. Dalam pertempuran kedua yang dikenal dengan nama perang Meo dua ini, pertahanan Leuwohung berhasil diporakporandakan dan pasukan Meo berhasil menduduki benteng pertahanan Leuwohung di kampung lama.

Dalam benteng pertahanan tersebut, Prajurit Meo menemukan rahasia pertahanan orang Leuwohung yang dapat bertahan hidup di dalam benteng dengan cara mengalirkan air sungai dari Botan melalui lobang dalam tanah dan dialirkan masuk ke dalam benteng.  

Atas penemuan ini dan untuk menghindari aksi pemberontakan yang baru, para prajurit Meo mengitari gunung Kedang dan menutup semua mata air di gunung. 

Namun Aksi penutupan mata air gunung ini mendapat perlawanan keras dari masyarakat Kedang dan hanya sampai di kampung lama Leutubung, karena banyak prajurit Meo yang meninggal dunia akibat terperangkap oleh jerat bambu hidup atau dalam bahasa Kedang disebut "metiq." 

Bukti sejarah peristiwa tersebut adalah tengkorak-tengkorak prajurit Meo yang tersimpan dalam liang di Leutubung, kampung lama. 

Leuwohung akhirnya mengalami kekalahan fatal dari pertempuran kedua ini. Dampak dari kekalahan Leuwohung tersebut cukup tragis. Wilayah-wilayah pantai mulai dari Leuwohung sampai Biarwala dan Peuohaq sebagai mitra yang membantu Leuwohung pada masa peperangan, dikuasai oleh Kapitan Sarabiti dengan menempatkan orang-orang Kalikur hingga saat ini.

Untuk membalas jasa raja Meo pada perang kedua ini, Kapitan memerintahkan semua gadis dari "suku Pitu lelang leme" Kalikur untuk mempersembahkan tarian di hadapan putera Raja Wilem. 

Raja Wilem kemudian memilih seorang gadis cantik Kalikur bernama Perada Beng untuk menjadi isterinya. Raja Wilem kemudian tinggal beberapa lama di Kalikur dan kemudian kembali ke Timor dengan tidak membawa serta isterinya.

Perang Sili Laka

Perang ini adalah perang pemberontakan yang dilakukan oleh Sili Laka yang berasal dari kampung Peusawa. 

Perang ini dipicu oleh rasa ketidak-adilan oleh pemerintahan feodal Kapitan Kedang (Rian Baraq Sarabiti) yang hendak memperluas hegemoni kekuasaan dengan mencaplok hak Ulayat masyarakat Kedang.

Motif yang dibuat oleh Kapitan adalah melepaskan kerbau-kerbau ternaknya di area Atanila, Wowon dan sekitarnya yang menyebabkan tanaman-tanaman penduduk hancur karena ulah kerbau liar tersebut. Kapitan juga menetapkan bahwa tanah-tanah yang dilewati oleh kerbau tersebut yakni hamparan mulai dari Atanila, Wowon, Bean hinggah Tobotani adalah miliknya karena tanah- tanah tersebut menjadi subur karena injakan kaki dan kotoran kerbau. 

Sili Laka yang merasa geram dengan keadaan tersebut, memotong seekor kerbau liar milik Kapitan kemudian membagi-bagikan dagingnya kepada kampung-kampung di pedalaman mulai dari Meluwiting (Leutoher?) sampai dengan Hobamatan (Leuhapu?). 

Setiap kampung yang makan daging kerbau tersebut berjanji untuk tunduk dibawah kepemimpinan Sili Laka. 

Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Kapitan Sarbiti dan pasukannya, yang membunuh dan memenggal kepala Sili Laka saat terjadi perundingan damai di Dolulolong. 

Lantaran  tubuh Sili Laka ini hampir tersambung kembali oleh burung Rajawali (Mi'er Kiki Kaka) di daerah Redeng, antara kampung Dolulolong dan Hingalamamengi. 

Amo Pius Kulu mencatat bahwa kematian Sili Laka ini diberi catatan berbeda oleh guru Bumi dan guru Sio. Namun guru Sio memberikan catatan yang lebih dapat diterima. Dan Perang Sili Laka ini adalah perang terakhir di Kedang. 

(Catatan ini diambil dari postingan di facebook Atanasius Anlly yang sumber utamanya diambil dari Catatan Robert Barnes dan Bunga Rampai Sejarah Kedang. Sejarah perang ini juga masih bisa ditemukan dalam cerita lisan orang Kedang hingga saat ini. Saya memposting lagi di blog ini agar mudah diakses dan mendorong generasi muda yang berminat sejarah untuk bisa melakukan penelitian lebih dalam tentang sejarah politik dan kekuasaan di Kedang)


Post a Comment for "Sejarah Perang Lokal di Kedang Lembata"