Makna Filosofis Peten Ina dan Panggilan Nurani Wakil Rakyat Lembata
RakatNtt - Orang Lembata yang memiliki budaya lokal dapat terbaca melalui, salah satunya bahasa daerah. Di Lembata, terdapat dua bahasa yang digunakan hingga saat ini yakni Lamaholot dan Kedang. Bahasa sebagai budaya juga hadir untuk menggambarkan tingkah laku kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut (Edward sapir B. Lee).
Hal ini bisa kita temukan dalam pesan-pesan moral yang biasanya melalui bahasa-bahasa sastra. Dengan demikian, pemberian nama pada sebuah tempat bukan sebuah nirmakna melainkan ada makna filosofis dan daya spiritual yang terkandung di dalamnya.
Masyarakat yang memiliki bahasa dimaksud, didorong untuk mengimajinasikan makna tersebut melalui rupa-rupa bentuk.
Terkait dengan bahasa , tak heran, nama sebuah gedung megah di kota Lewoleba pun diberi nama dengan menggunakan bahasa Lamaholot - kapan ada nama dalam bahasa Kedang? - yakni Peten Ina.
Frasa peten ina memiliki makna filosofis yang sangat berakar dalam budaya orang Lembata yakni tentang rasa cinta terhadap identitas, terhadap Lembata, terhadap masyarakat.
Secara harafiah, tentu kita paham maknanya yakni ingat ibu. Ibu adalah sosok yang melahirkan dan membesarkan orang Lembata dengan susah payah. Maka, anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkannya patut mengingat kembali kebaikan sang ibu Lembata melalui pelayanan yang bukan sekadar bersandar pada regulasi melainkan pada konteks.
Regulasi cenderung sempit tetapi mesti dibaca melampauinya dengan beradaptasi pada konteks yang ada di sekeliling orang Lembata. Konteks inilah yang harus dipahami oleh 25 anak Ina Lembata yang duduk di dalam gedung Peten Ina.
Pangkas Tunjangan sebagai Panggilan Nurani
Sosial media telah memantik diskusi kritis tentang sebuah video yang menggambarkan seorang DPRD Lembata, yakni Jhon Batafor yang dengan tegas mendukung pemangkasan anggaran di tubuh DPRD.
Suara kritis yang tumbuh dari hati nurani ini mendapat banyak apresiasi dari kalangan masyarakat.
Namun, ada pula suara miring yang mencibir ADPRD yang lain, yang belum diketahui isi hati mereka. Apakah mereka sepakat atau berat hati?
Pendapatan materi bagi para Wakil Rakyat Lembata per bulan berkisar di atas 20 juta. Angka yang sangat fantastis dan tentu saja jika dikomparasikan dengan tugas pelayanan mereka boleh dibilang tidak seimbang.
Saya bahkan memberi komentar pada video tersebut bahwa anggaran di atas 20 juta hanya untuk membayar 25 anak Lembata yang kerjanya untuk omong-omong. Tentu sangat tidak adil jika kita bandingkan dengan kerja para guru honorer misalnya yang masuk jam 7 pagi pulang jam 2 sore untuk mendidik anak-anak Lembata lalu dibayar satu juta bahkan di bawah satu juta.
Beban kerja mereka amat sangat banyak namun tak ada keadilan dari negara ini untuk kesejahteraan mereka.
Lalu siapa itu DPRD? Apa keistimewaan mereka sehingga harus mendapat keuntungan materi yang begitu besar? Bukankah mereka adalah Wakil Rakyat yang melayani masyarakat?
Secara regulasi tentu mereka benar tetapi secara substansial perlu diperdebatkan ketika Ina Lembata dalam kekurangan anggaran.
Jika para ADPRD ini memahami makna filosofis Peten Ina, maka suara Jhon Batafor seharusnya menjadi suara mereka semua yang ada di gedung sakral tersebut. Intinya adalah, pemangkasan anggaran ini harus punya tujuan yang jelas dan berdampak pada pemberdayaan masyarakat kecil bukan sebaliknya untuk mengisi kantong para elit di kantor yang lain.
Pemangkasan anggaran ini bukan sekadar soal potong tunjangan ADPRD melainkan juga penghematan pada sisi-sisi yang lain. Misalnya, pertemuan pemerintah untuk membahas sebuah kegiatan tak harus di hotel mewah atau di tempat yang mewah lalu harus membayar mahal kepada pemiliknya.
Kebiasaan-kebiasaan hedonistik di tengah mayoritas warga yang masih merindukan sentuhan kesejahteraan mestinya mengetuk nurani para elit Lembata untuk mulai berbenah.
Kontrol Ketat DPRD
Dengan pendapatan per bulan yang amat sangat besar ini, maka kita menuntut para wakil rakyat untuk benar-benar bekerja bukan duduk topang dagu apalagi mengantuk.
Sudah saatnya Wakil Rakyat memahami makna terdalam dari politik yakni kebaikan bersama. Maka untuk menjadi Wakil Rakyat artinya menjadi pelayan yang siap menderita bukan diistimewakan atau sebagai ladang untuk berbisnis.
Salah kapra memahami makna politik telah membuat wajah politik menjadi kotor, penuh dengan persaingan yang tak sehat dan para Wakil Rakyat dijadikan anak manja di Lembata oleh negara.
Oleh karena itu, masyarakat luas terutama Pers diharapkan untuk benar-benar mengontrol dan memberikan informasi yang transparan kepada publik baik dalam bentuk berita tertulis maupun video sehingga publik bisa mengukur kualitas mereka sebagai Wakil Rakyat.
Sebab bukan menjadi rahasia lagi, para wakil rakyat - mungkin juga di Lembata - juga seringkali kedapatan tidur di ruang sidang, tidak tahu omong, bolos, alpha bahkan nonton porno.
Jika Wakil Rakyat Lembata juga kedapatan melakukan hal yang sama maka terkutuklah mereka!