Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tolak Makan Gratis dari Yahukimo, Sebuah Ekspresi Kritis di Sekolah

 

Ratusan pelajar di Yahukimo (3/2/25) turun ke jalan serukan tolak makan gratis (sumber: FB)

RakatNtt - Sebuah aksi demo damai terjadi baru-baru ini di Yahukimo, Papua (3/2/25). Sekelompok anak sekolah bersama para guru menyerukan tuntutan mereka yakni menolak Makan Bergizi Gratis.

Program Makan Bergizi Gratis ini, menurut mereka, tidak sesuai dengan kondis mereka, sebab yang mereka butuhkan adalah pendidikan gratis dan fasilitas sekolah memadai.

Demo damai ini patut diapresiasi, bukan soal mereka benar atau salah tetapi anak-anak sudah dilatih untuk berpikir kritis mulai dari jenjang pendidikan bawah yang mungkin jarang kita temukan dalam dunia pendidikan di Indonesia khusus daerah timur.

Mereka sudah dilatih untuk mengkritisi sebuah kebijakan yang barangkali tidak kontekstual dan urgen di sekitar mereka. Sebab sejatinya, negara melayani apa yang dibutuhkan oleh masyarakat - anak-anak sekolah dan para guru di Yahukimo - jika pelayanan yang tidak urgen dan tidak sesuai kebutuhan maka itu sama dengan pemborosan anggaran.

Demo damai ini juga adalah bagian dari politik partisipatif , rakyat hadir sebagai subjek yang mesti didengarkan dalam setiap kebijakan negara, mesti terlibat dalam setiap rancang bangun kebijakan untuk bonnum comune.

Dari Yahukimo, kita juga bisa belajar bahwa anak-anak sekolah mesti sejak dini dilatih untuk berani mengemukakan pendapat kritis mereka. Sebab pendidikan pada dasarnya adalah cahaya yang membawa keluar dari kegelapan ilmu pengetahuan, perbudakan, kebodohan dan lain sebagainya.

Pendidikan yang kaku, katakanlah guru membaca dan murid mencatat di dalam kelas bisa jadi membuat murid tidak berpikir menjangkau buku mata pelajaran.

Sebab yang dididik adalah kesetiaan mencatat lalu menghafal yang ada dalam buku - lebih parah menghafal menjelang ujian. Hal ini seringkali membuat anak sekolah tidak merasa peduli pada fenomena yang ada di luar buku. Pendidikan yang kaku juga membuat anak sekolah menjadi orang yang hanya mampu menuruti tanpa membantah atau mengoreksi.

Dengan pengalaman dari Yahukimo, menurut saya selain soal benar atau salah, baik atau buruk, tetapi bagi saya ada satu langkah positif yakni berpikir kritis dan berani menyamaikan aspirasi.

Dengan demikian, bertolak dari Yahukimo, lembaga sekolah lainnya juga mesti mampu memetik hal positif untuk dikembangkan di sekolah. Meningkatkan literasi, membaca berita setiap pagi di sekolah sebelum KBM, latihan berdebat, pentas teater, menulis dan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya mesti selalu dipraktikkan di sekolah.

Dengan membaca berita - jika sekolah tidak langganan koran, maka guru atau Ketua OSIS baca di HP di hadapan para murid lainnya - anak-anak bisa dibantu untuk mengetahui informasi yang ada di sekitar mereka sekaligus mendiskusikannya.