Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tiga Keuntungan Jika Makan Bergizi Gratis Gunakan Pangan Lokal

  

Ilustrasi Pexel


RakatNtt - Kementerian Kebudayaan RI menjadi salah satu Kementerian baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Selain terbentuknya kementerian bidang kebudayaan, Prabowo-Gibran juga telah menawarkan program Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak sekolah. Tentu alasan yang mendukung program ini adalah masih banyak anak yang tidak mengonsumsi makanan bergizi di rumah. Lantas, makanan bergizi seperti apa yang diharapkan?

Presiden Prabowo Subianto juga pernah mewacanakan bahwa program ini akan bersentuhan dengan keragaman pangan di masing-masing daerah yakni pangan lokal. Namun, wacana tersebut belum terlihat serius di lapangan. Hal ini akan menjadi problematis jika program makan bergizi justru sebenarnya mitos belaka di tengah semangat bangsa ini untuk memajukan kebudayaannya, salah satunya melalui pangan lokal di masing-masing daerah.

Sebelumnya - pada masa kepemimpinan Jokowi - Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, mengadakan program Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) dengan mengambil lokus di beberapa wilayah terutama pulau-pulau kecil seperti di NTT. Program SLKL berfokus pada  penggalian dan pendataan 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan, yang salah satunya adalah tentang pengetahuan tradisional. Keragaman pangan lokal masuk kategori pengetahuan tradisional.

Kita mengharapkan, program Pemajuan Kebudayaan semacam ini mesti memiliki tali penghubung hingga ke program nasional makan bergizi gratis. Tentu program makan bergizi yang sekarang sedang berjalan ini tidak sebatas menyiapkan makanan “enak” bagi para siswa tetapi aspek gizi dan pemajuan atau ketahanan budaya juga mesti dipertimbangkan.

Tentang hal ini, maka tak boleh ditolak, pangan lokal adalah solusi terbaik yang mesti dipikirkan oleh negara guna menyukseskan program makan bergizi gratis. Masalahnya; apakah negara juga memiliki cita-cita Pemajuan Kebudayaan atau sekadar menyukseskan program nasional dan membentuk nama besar kebudayaan bangsa melalui Kementerian Kebudayaan?

Jika sekadar menjalankan program, maka makan bergizi masih sebatas makan “enak” a la restoran - tentu saja dengan cara berpikir inferior yang masih dominan, anak-anak sekolah  masih memiliki pemahaman yang keliru tentang pangan lokal di daerahnya. Anak-anak sekolah akan berpikir bahwa makanan yang bergizi adalah makanan yang datang dari Jakarta atau Jakartasentris. Pola seperti ini sangat tidak mendukung Pemajuan Kebudayaan Indonesia dan dari segi ekonomis hanya menguntungkan pihak tertentu yang bukan datang dari masyarakat akar rumput.

Penjabat Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto menjadi salah satu pejabat negara yang gencar mengampanyekan agar program makan bergizi gratis ini, bahan bakunya dari pangan lokal yang disiapkan oleh masyarakat di setiap daerah sasaran (Ekorant, 17/1/25). Cara pikir Penjabat Gubernur NTT sangat bersentuhan dengan Pemajuan Kebudayaan daerah. Sebab dengan pangan lokal, program makan bergizi gratis ini minimal memiliki 3 dampak positif yakni ekonomi, kesehatan dan ketahanan atau pemajuan budaya.

Pertama, ekonomi. Jika pangan lokal sebagai bahan baku untuk mendukung makan bergizi gratis, tentu saja negara mesti memberikan wewenang kepada masing-masing daerah untuk menyiapkan makanan sesuai dengan kondisi kebudayaan daerah tersebut. Pada kesempatan inilah, ada peluang uang bagi masyarakat lokal. 

Masyarakat lokal akan diberdayakan untuk menyiapkan pangan lokal dan berbisnis dengan negaranya sendiri. Pemerintah pusat hanya berperan menyiapkan anggaran sebagai tugas mutlaknya dan setelahnya, menjadi otonomi masing-masing daerah. 

Dengan catatan bahwa makanan yang disiapkan adalah makanan lokal daerah tersebut. Dampak ekonomis pasti terasa dan hemat saya strategi seperti ini akan mendorong masyarakat untuk lebih rajin membudidayakan pangan lokalnya.

Kedua, kesehatan. Akhir-akhir ini, banyak sekali terlihat komunitas-komunitas lokal di berbagai wilayah gencar mengedukasi masyarakat agar kembali mengonsumsi pangan lokal daerah sendiri. Salah satu alasannya adalah kandungan gizi pangan lokal sangat mendukung kesehatan tubuh manusia bahkan bisa mencegah stunting. Tentu kita semua harus sepakat bahwa pangan lokal amat sehat. 

Dengan demikian harus menjadi sebuah imperatif bahwa program makan bergizi gratis mesti menggunakan pangan lokal. Sebab yang diutamakan adalah soal kesehatan atau kadungan gizi bukan  soal “enak” dan instan.

Ketiga, ketahanan budaya. Tak bisa kita ingkari bahwa anak-anak sekolah khususnya generasi alfa sebagian besarnya hampir tidak tahu lagi nama-nama pangan lokal di daerahnya. Hal ini tentu sebuah kekeliruan bermula dari cara pikir inferior yang diwariskan dan merambat hingga ke lembaga pendidikan sehingga mata pelajaan Muatan Lokal jarang sekali menginformasikan keragaman pangan lokal daerah bersangkutan bagi anak-anak sekolah.

Bahkan ada banyak sekali video konten kreatif di media sosial, yang menampilkan masyarakat lokal Papua menukar ikan dan sayur segar dengan mie instan dan beras. Gaya model ini adalah perbuatan dosa sebab lambat laun akan menghilangkan rasa percaya diri orang asli Papua terhadap pangan lokalnya seperti sagu, ikan, umbi-umbian yang amat sehat tetapi justru mereka akan menganggap bahwa makanan paling sehat adalah mie instan (baca juga liputan Ahmad Arif dan Saiful Rijal Yunus, Kompas.id, 14/12/22). Mereka akan kehilangan jati diri kebudayaan dan teralienasi dari kekayaan pangan daerah sendiri.

Oleh karena itu, program makan bergizi gratis dengan menggunakan pangan lokal, akan mendorong anak-anak sekolah untuk mencintai budaya pangannya sendiri; kemudian mereka akan didorong pula untuk menggali atau mencari tahu kekayaan budaya pangan lokalnya sehingga kekhawatiran kita tentang terputusnya pengetahuan budaya pangan dalam benak anak-anak sekolah bisa diatasi.

Kolaborasi Menjadi Utama

Harapan besar di atas mesti menjadi harapan bersama semua pihak baik pemerintah dari Daerah hingga ke Pusat, komunitas-komunitas lokal berbasis budaya, dan tentu saja yang utama adalah masyarakat adat sebagai penyedia pangan. Walaupun demikian, kita juga mesti akui bahwa produktivitas pangan lokal di daerah-daerah tertentu masih minim sebagai akibat dari inferioritas masyarakatnya yang melihat pangan lokal sebagai makanan kelas dua.

Untuk memblokir cara pikir kotor ini, program makan bergizi gratis menjadi kesempatan untuk menyadarkan kembali masyarakat agar rajin membudidayakan pangan lokalnya. Kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting untuk mewujudkan harapan besar ini, edukasi mesti tak henti-henti dilakukan.

Hal penting lainnya adalah pemerintah daerah mesti membuat catatan kritis kepada Pemerintah Provinsi dan seterusnya ke Pusat tentang pangan lokal sebagai bahan baku pendukung program makan bergizi gratis. Hal ini tentu juga bermanfaat mengurangi beban kerja Pemerintah Pusat. 

Intinya adalah, negara yang direpresentasikan oleh Pemerintah pusat menyediakan anggaran yang cukup agar program ini bisa berjalan di daerah-daerah. Otonomi masing-masing daerah mesti diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan program besar ini sembari negara mengontrol penggunaan anggaran di setiap daerah agar terhindar dari bahaya korupsi dan kerja-kerja manipulatif yang merugikan negara dan anak bangsa serta merusak nama budaya lokal.

 

 

 

 

 

.