Tanah Ulayat Kedang yang Tidak Dipahami oleh Jhon Koli dan Teman-temannya
RakatNtt - Nama Jhon Koli mulai tenar terdengar saat Pilkada Lembata 2024 silam. Narasi-narasi dari seorang yang menamakan dirinya pendidik dan pengajar itu amat jelas tidak sehaluan dengan paket Lembata Jaya. Banyak orang mengapresiasi narasinya, khususnya mereka yang juga tak sehaluan dengan Lembata Jaya. Oke itu sudah lewat.
Jhon Koli yang sama muncul lagi dengan narasi mendukung tambang di Lembata. Ia hampir setiap hari nongol di grup Facebook Bicara Lembata New. Narasinya amat jelas mendukung proyek tambang dengan lokasi - katanya - di Kedang, Kabupaten Lembata.
Beberapa opini yang ia sodorkan terbaca cukup seimbang yakni ia menyajikan dampak positif dan negatif dari tambang. Namun, tetap saja dapat diketahui bahwa pendidik tersebut mendukung proyek tambang di Lembata. Ia bahkan mengatakan dengan teknologi canggih, kerusakan alam akibat tambang dapat diminimalisasi. Namun, ia tak menjelaskan teknologi apa yang ia maksudkan.
Soal mendukung atau tidak adalah sebuah kebebasan pilihan. Namun, mesti dipikirkan dampak jangka panjang setelahnya. Justru hal inilah yang mebuat banyak warga Kedang menolak tegas kehadiran proyek tambang dengan iming-iming palsu untuk kesejahteraan masyarakat.
Hal lain yang mau saya kritisi melalui tulisan ini yakni tentang kearifan lokal tanah ulayat Kedang yang sama sekali tidak diketahui dan dipahami oleh Jhon Koli bahkan mungkin oleh oknum-oknum tertentu yang menamakan dirinya pemangku ulayat di lokasi pertambanga yang direncanakan.
Pemangku Ulayat Bukan Penguasa
Subjudul ini jelas mau menegaskan bahwa pemangku ulayat di tanah adat Kedang bukan penguasa yang seenaknya bersabda semuanya jadi, melainkan penjaga tanah untuk kepentingan banyak orang yang menggarap di atasnya.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulayat dalam versi kearifan lokal Kedang sering disebut Uhe Awu’ - bisa didiskusikan lagi - yang ada di setiap kampung. Pemangku ulayat atau uhe wala merupakan suku atau klan bukan oknum tertentu. Sehingga dalam kaitan dengan isu tambang, sebagaimana dijelaskan oleh Jhon Koli bahwa KL sebagai pemangku ulayat maka sesuatu yang sangat keliru. Mestinya dijelaskan bahwa yang menyerahkan ulayatnya adalah suku A atau B. Itu poin pertama.
Selanjutnya, oknum yang menyerahkan tanah ulayat bersangkutan juga mesti memahami kearifan lokal tanah ulayat Kedang. Oknum atau suku pemangku ulayat dalam kearifan lokal Kedang bukan disahkan sebagai penguasa, melainkan mereka adalah penjaga tanah dengan tiga tugas pokok mereka yakni tikam tanah jika ada kematian, letak batu pertama jika ada pebangunan rumah atau fasilitas umum dan ka wutu’ ale jika ada ritus adat berskala desa, misalnya ritus iu uhe bei ara di kampung tertentu.
Dua tugas pertama sudah jarang terlihat atau sudah bergeser, ada suku yang memberikan mandat kepada suku lain; ada pula yang sudah dilakukan bukan oleh pemangku ulayat melainkan oleh pemilik lahan.
Sedangkan tugas ketiga masih dilakukan oleh pemangku ulayat sebab tugas ini tak boleh dilanggar. Hal lainnya adalah, tanah ulayat bukan milik ekslusif suku tertentu sebab tanah tersebut berfungsi sosial; di atasnya sudah ada kebun warga baik dari suku pemilik ulayat maupun suku lainnya yang sudah menggarap ratusan tahun lamanya.
Dari penjelasan ini, apakan oknum-oknum yang berbicara atas nama ulayat sudah mendalaminya atau bertepuk dada sebagai penguasa tanah ulayat lalu mengabaikan kepentingan kehidupan warga lainnya?
Perlu diketahui bahwa di setiap kampung ada sistim birokrasi tradisional yakni Kale’mata. Sistim ini mengatur tugas-tugas adat suku-suku yang menghuni sebuah kampung tertentu. Pemangku ulayat akan duduk sebagai suku tubar atau suku sulung sebab suku tersebut menjadi yang pertama menghuni kampung tersebut dan menjadikan satu hamparan tanah sebagai ulayatnya dengan nama ulayat (tuan uhe) dan batas-batas ulayat (ang ba’a ular doro, nanga atur la’ ledur) yang tercatat jelas dalam setiap warisan oral.
Artinya, sebuah keputusan berdampak sosial yang diambil, katakanlah tentang tambang harus dilalui dengan diskusi semua suku yang ada di kampung tersebut bahkan dengan kampung-kampung tetangga lainnya. Sebab ulayat di kedang saling berkaitan satu sama lain.
Mengapa harus diskusi? Dalam konteks tambang tentu luasnya bukan seperti sebuah lapangan bola kaki. Karena itu, diskusi bersama semua suku, para pemilik lahan yang menggarap di atas tanah ulayat juga dengan para tetua adat yang lebih memahami kearifan tanah Kedang adalah hal yang wajib dilalui.
Jika tidak, isu tambang ini akan berdampak negatif yakni konflik horizontal sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2008 silam. Konflik semacam ini, mudah dibumbui oleh olirgaki dan para intelnya yang ditugaskan untuk mengacaukan keadaan. Mereka; oligarki dkk akan medukung salah satu pihak dan membenturkannya dengan pihak lain.
Jhon Koli Bijaksanalah
Dari penjelasan ini, saya hanya mau menegaskan kepada Jhon Koli dkk agar bijaksana dalam menggiring opini dengan tema isu tambang apalagi konteks di Kedang. Jhon Koli mesti memahami lebih dalam tentang tanah Kedang, sehingga narasi yang disampaikan walaupun padat tapi akan bombastis tak berguna. Sebab, isu ulayat adalah sesuatu yang sensitif.
Jika Jhon benar adalah seorang pendidik, ia mesti memberikan jalan tengah yang baik untuk meminimalisasi konflik sosial - bukan ngotot bahas uang atau sisi materi semata - misalnya mengajak KL dkk untuk lebih berhati-hati soal isu tambang, jalan yang mesti ditempuh agar tak ada turbulensi kepentingan sesama anak Kedang.
Contohnya, sosialisasi mesti dilakukan secara terbuka dengan masyarakat adat baik yang berkepentingan di dalam lokasi tambang maupun masyarakat lainnya yang juga akan mendapatkan dampaknya, bukan pertemuan terbatas dengan para mantan birokrat dan politisi yang tetap ngotot tambang tanpa memahami dampak sosial dan lingkungan.