Sejarah Perjuangan Para Pemangku Tanah Ulayat di Kedang Lembata
RakatNtt - Tulisan ini saya repost setelah terbit pada blog isuntt agar bisa lebih mudah diakses oleh generasi muda Kedang di Lembata tentang perjuangan para pemangku tanah ulayat di Kedang, para guru Katolik dan Uskup (Representasi kehadiran gereja). Tulisan ini bukan untuk menonjolkan salah satu pihak melainkan untuk mengetahui bahwa orang Kedang pernah melewati konflik kepentingan antar sesama orang Kedang tentang tanah ulayat.
Tulisan ini menjadi referensi sementara untuk mendorong orang Kedang mengetahui tentang peristiwa di masa lalu dan bisa dimaknai di masa kini secara bijak.
Berikut catatan yang kami ambil dari tulisan Yogi Making di isuntt.blogspot.com dengan beragam sumber:
Secara garis besar, Kabupaten Lembata dihuni oleh dua kelompok suku, yakni kelompok suku Lamaholot yang tersebar di tujuh kecamatan, dan kelompok suku Kedang yang kini menetap di kaki gunung Uyelewun yang secara administrasi kepemerintahan dibagi dalam dua kecamatan yakni, kecamatan Omesuri dan Buyasuri.
Tak dipungkiri lagi bila tanah di wilayah Kedang diklaim menyimpan bahan mineral tambang, berupa emas dan tembaga. Oleh karena kekayaan yang terkadung didalam perut bumi Kedang itulah, kemudian memunculkan banyak pihak untuk mencoba mengeksploirasi dan menggambil seluruh harta warisan rakyat Kedang, tentu dengan sebuah alasan klasik yakni, demi pembangunan dan kemajuan rakyat.
Upaya “mencaplok” harta orang Kedang itu ternyata bukan baru muncul di tahun 2006/2007 dimana pemerintah kala itu memberikan kesempatan kepada sebuah perusahan tambang PT. Meruk Enterprasess, untuk melakukan eksploirasi tambang. Kerjasama pemerintah dan perusahan tambang itu kemudian dilawan habis oleh masyarakat Kedang, yang hingga kini di kenal dengan “Gerakan Tolak Tambang Harga Mati”
Tanah Kedang ternyata tidak saja ingin dikuasai oleh orang di luar Kedang. Ternyata orang Kedang pun harus berjuang mempertahankan hak atas tanah ulayatnya dari pihak yang menyebut dirinya penguasa Kedang, (Rian Baraq). Orang Kedang kala itu harus berusaha sekuat tenaga dengan berbagai upaya untuk mempertahankan tanah yang diwariskan secara temurun.
Cerita berikut diramu dari berbagai sumber tentang kisah orang Kedang berjuang mempertahankan tanah warisannya. Berikut, ulasannya.
Struktur Pemerintah yang BerubahSekitar tahun 1950-an, struktur pemerintahan mengalami perubahan dari sistem kapitan ke sistem koordinat desa (Kordes). Karena perubahan itu maka Mas Abdul Salam Sarabiti oleh Pemerintahan Swapraja Larantuka diangkat menjadi Koordinat Desa di wilayah Kedang. Kemudian pada tahun 1962, sistem pemerintahan koordinat desa berubah lagi ke sistem kecamatan dan wilayah Kedang berubah nama menjadi Kecamatan Lomblen Timur.
Pada masa ini, Mas Abdul Salam Sarabiti kembali menunjukkan niatnya untuk merebut tanah ulayat Kedang dalam kekuasaan sepihak Suku Sarabiti. Niat ini dibuktikan dalam instruksi supaya orang Kedang harus memberikan upeti dengan sistem bagi hasil pertanian kepada Mas Abdul Salam Sarabiti. Tidak hanya itu, Mas Sarabiti mengklaim tanah Kedang seluruhnya adalah miliknya. Setiap jengkal tanah yang ada bekas injakan telapak kerbau adalah tanahnya.
Untuk melancarkan niat ini, Mas bekerja sama dengan Butterprast (tentara) Wagiman. Wagiman menggunakan kekuasaannya untuk memeras masyarakat petani. Rian Sarabiti, saudara tua Mas Sarabiti dipercayakan untuk menangani bagian ini. Saban hari Rian dari desa ke desa mengklaim seluruh tanah ulayat Kedang adalah milik keluarga kapitan Kalikur dan memaksa masyarakat petani untuk memberikan upeti bahkan tak tanggung-tanggung menggunakan kekerasan.
Karena merasa terancam dan tak tahan lagi dengan penderitaan, para petani sepakat melaporkan hal ini pada Partai Katolik Ranting Kedang untuk perjuangkan nasib mereka. Dalam rapat partai pada tahun 1962 di Leudawan, segenap anggota partai Katolik bersepakat untuk memperjuangkan nasib para petani ini. Dan para guru saat itu menjadi pelopor perjuangan atas hak penguasa ulayat Kedang dan penderitaan para petani. Tetapi Mas tak pernah urungkan niatnya malah niat untuk menguasai seluruh tanah Kedang semakin menjadi-jadi.
Hidup para petani kian terancam. Karena merasa senasib, para petani akhirnya bersatu lalu meminta Guru Hering menjadi sekretaris mereka untuk cari jalan keluar berjuang mempertahankan tanah ulayat mereka.
Minta Penjelasan
Dikisahkan, perjuangan terus berlanjut, sampai pada suatu ketika semua pemilik tanah ulayat di Kedang berkumpul. Para penguasa ulayat Kedang yang hadir saat itu adalah, Demong Boli (kampung Walupang), Koleq Leu dan Lapa Leu (kampung Peumole), Leulaleng (kampung Hobamatan), Bala Subang (kampung Walangsawa), Robi Raba Tukang Bei (kampung Aramengi), Hala Ruta (kampung Hingalamengi), Tote Rute (Kampung Hoeleaq), Sio Amuntoda (kampung Leuwayan), Konkor Lewo (kampung Leunoda), Dara Mau (kampung Dolu Lolon), Sogang Uliq (kampung Atanila) dan Raha Daeng (Kampung Lebewala).
Dari pertemuan ini dihasilkan satu surat yang isinya meminta penjelasan dari pemerintah tentang hak tanah ulayat. Pemerintahan saat itu berkedudukan di Denpasar. Dan dalam tahun yang sama, pemerintah dalam surat balasannya menerangkan bahwa undang-undang masih mengakui hak atas tanah ulayat.
Meski demikian para penguasa ulayat belum merasa nyaman. Setelah mendengar berita tentang perjuangan para guru dan tuan tanah itu, Mas melaporkan para guru pejuang dan tuan-tuan tanah pada Butterprast Wagiman. Wagiman mengumpulkan semua guru yang dianggap sebagai biang keladi gerakan para petani. Guru sebagaimana dimaksud adalah, Hendrik Tehe, Bumi Liliweri, Sio Amuntoda, Lela Benidau, Mateus Miten Buyanaya dan guru Hering. Mereka dicambuk dengan sabuk pinggang.
Dituturkan pula bahwa, Mgr. Anton Thjeisen tidak saja melaporkan perkara itu kepada KODIM, tetapi juga membawa kasus ini hingga ke pusat pemeritahan Indonesia Timur yang ketika itu berpusat di Denpasar, dan meminta Pastor Tentara Herman Embuiru, SVD untuk menanganinya. Tak lama berselang Tentara Wagiman pergi meninggalkan Kedang, dan tak pernah kembali.Dalam perjalanan pulang dari Balauring, rombongan guru ini bertemu dengan Mgr. Anton Thjeisen, SVD (Uskup Larantuka ketika itu) di desa Peu’uma. Kepada Uskup, rombongan guru ini menuturkan ikhwal kejadian yang dialami mereka. mendengar ceritera dan melihat luka bekas cambuk di badan para guru, Uskup marah, dan berjanji untuk melaporkan kasus ini pada Komando Distrik Militer (KODIM) Larantuka. Guru Sio Amuntoba diboyong Uskup ke Larantuka, sebagai saksi korban.
Mgr. Anton Thjeisen ternyata serius menaruh perhatian pada persoalan di Kedang. Dia tidak hanya mendesak untuk tentara Wagiman pergi meninggalkan Kedang, tetapi juga menuntut Pemerintah Kabupaten Flores Timur supaya segera menyelesaikan persoalan tanah ulayat di Kedang.
Desakan Uskup itu kemudian ditanggapi pemerintahan Flores Timur. Bupati Flotim kala itu Yohanes Bulan Terang de Rosari (Jukin) dan Letnan Sipri Menteiro sekitar tahun 1962 turun langsung ke Balauring untuk mengadakan pertemuan dengan semua guru, para tuan tanah dengan menghadirkan Kapitan Mas Sarabiti.
Berdasarkan penuturan, dalam pertemuan itu terjadi perdebatan yang cukup alot. Kapitan Mas Sarabiti dihadapan Bupati dan Letnan Sipri tetap bersikeras untuk tidak saja memiliki tanah Kedang, namun semua penghuni dan semua yang berada diatas tanah Kedang diakui sebagai miliknya.
Tentu saja pengakuan sang Rian Bara Kedang ini mendapat perlawanan para tuan tanah yang hadir dalam pertemuan itu. satu persatu tuan tanah diberi kesempatan oleh Bupati untuk berbicara dan menyatakan bukti kepemilikan tanah.
Semua tuan tanah ketika itu, tegas menyatakan tidak ada kepemilikan tunggal atas tanah ulayat Kedang. Masing-masing mereka berkuasa atas tanah mereka. Berdasarkan keterangan dari para tuan tanah, Bupati Jukin akhirnya memutuskan, kapitan Mas bukan pemilik tunggal seluruh tanah Kedang.