Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Misteri Pulau Komba atau Batutara Bisa Pindah Tempat

 

Pulau Komba atau batu Tara

RakatNtt - Pulau Komba di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur memiliki keunikan yang diyakini oleh masyarakat setempat. Pulau yang juga sering disebut Batara ini memiliki sebuah gunung api yang disebut Batutara. Gunung Batutara bisa meletus dan mengeluarkan lava setiap 15 menit.

Selain keunikan dan keindahan pemandangan di pulau Komba atau Batutara, pulau ini juga menjadi tempat wisata juga tempat nyaman bagi para nelayan untuk mencari ikan tuna.

Nelayan-nelayan ini datang dari  berbagai tempat yakni Lembata, Flores Timur dan Alor. Tak hanya itu, untuk menikmati letusan gunung Batutara, tak jarang wisatawan mancanegara pun datang ke tempat ini. Mereka menggunakan perahu motor dari Lewoleba menuju pulau Komba dengan memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan. 

Pulau Komba Pindah Tempat

Bukan hanya masyarakat Kedang di bagian timur Lembata, melainkan juga hampir sebagian besar masyarakat di pulau ini memiliki cerita tentang misteri pulau Komba yang bisa berpindah tempat. Orang Kedang, dalam bahasa daerahnya menyebut pulau Komba sebagai Langtare.

Pulau ini, menurut cerita rakyat setempat, merupakan bagian dari tanah Kedang yang terpecah karena sebuah peristiwa bencana besar yang terjadi di pesisir utara Kedang tepatnya di tempat yang kini disebut kampung Leunapo’.

Orang-orang di kampung ini juga meyakini bahwa pulai ini sering berpindah tempat seperti sebuah kapal laut, kadang bisa dilihat, kadang hilang, kadang menjauh, kadang mendekat.

Cerita pulau Komba bisa berpindah tempat hingga kini masih misteri. Orang-orang di bagian Adonara pun memiliki cerita yang sama.

Legenda Pulau Komba

Ada  sebuah legenda yang menceritakan tentang bencana di Leunapo’ Kedang, Lembata yang menjadi cikal bakal, pulau Komba atau Batara, dikutip dari tulisan M Molan, pada web kominfo Lembata, sebagai berikut.

Di gunung Uyelewun, tepatnya di sebuah tempat yang bernama Opa’ Lela’, hiduplah sekelompok masyarakat. Pada suatu saat, mereka mengadakan sebuah hajatan atau pesta dengan memotong seekor babi dan kambing.

Babi tersebut disebut wawi nawal laleng, sedangkan kambing, witing dera pu’en. Anehnya, babi dan kambing yang dipotong tersebut tidak cukup melayani semua orang yang hadir pada pesta itu.

Para lelaki pun memutuskan untuk berburu babi hutan, rusa dll. Hasil buruan itu, dipotong dan dibagi-bagikan kepada semua yang hadir tetapi belum juga mencukupi. Akhirnya, mereka berburu lagi. Namun, hasilnya tetap sama. Mereka pun pergi lagi dan membawa seekor anjing yang bernama au iki boyang.

Sesampainya di hutan anjing itu mencium sebuah onggokan tanah yang besar dan di atasnya terdapat sejenis ubi  hutan (rengal leq). Anjing itu lalu  menggaruk garuk tanah, menyalak-nyalak sambil angkat muka ke atas, tunduk, menyalak dan menggaruk-garuk lagi, dilakukan berulang-ulang kali.  Melihat itu para pemburu mendekati,  menepuk-nepuk tanah onggokan itu sambil bermantera : fooo…….. Sehu sara, mere mara, Epaq apu,  ai  uan, bapa iu,  mokung balelang,  wara papa……fooo Sehu sara, mere mara, Epaq apu,  ai  uan, bapa iu,  mokung balelang,  wara papa (menyebut beberapa jenis ikan yang terkenal). 

Setelah mantera diucapkan beberapa kali,  muncullah dari dalam onggokan tanah tersebut ubi  raksasa diikuti berbagai jenis ikan dilaut dan tertumpuk di atas tanah.   Mereka sangat terkejut bercampur heran, namun gembira dengan ikan ikan itu lalu membawanya  untuk dibagikan pada warganya untuk berpesta pora.  

Ditengah keramaian orang berpesta pora  seorang mama bernama Dae dengan dua anaknya laki laki bernama Beni Ei dan perempuan bernama Lolo Dae tidak diberi bahan makanan apapun karena  mereka dianggap orang hina dalam masyarakat (Iden Daten Mawaq Ale). 

Saat pesta terus berjalan diiringi gong gendang dan tandak dalam sorak sorai pesta , awan hitam mulai menyelimuti tempat itu.   Anjing iki boyang masuk di tengah-tengah orang bertandak  sambil mengenakan sehelai  kain kotor (mohoq)   dipinggangnya,   berlari bermain tandak dan berpantun, E’i au iki boyang… namang noq hamang ramaq  bake namang reiqte hamang, Ei au iki boyang nedung noq  ribu hedung bele nedung reiqte hedung. (Anjing meminta untuk sama-sama bermain tandak).

Setelah itu tiba-tiba tanah terbelah, hujan disertai  badai menimpa mereka. Sebagian besar dari mereka mati.  Tanah nilung topeq (nama tempat) terputus dan hancur berantakan, sebagian tanah itu terpisah.

Mama Dae dan anak anaknya yang disisikan dalam pesta pora itu telah jauh dari kampung. Ia lalu berusaha menyelamatkan diri dan kedua anaknya dengan kaheq omaq amaq (mengupas biji bengo) dan pihing  uye lalan  (membuang air rebusan sejenis  kacang) sambil berteriak-teriak,  kaheq omaq amaq.e……pihing uye lalan e…..kaheq omaq amaq e….pihing uye lalan e……

Dengan berteriak-teriak demikian  suasana  mala petaka itupun   berangsur-angsur reda.   Suasana gelap gulita,  sepi sampai akhirnya   terang pun tiba.    Di saat itu mereka melihat sebagian tanah itu terpisah, kian hari kian menjauh dan tanah yang hanyut itu auq Langtare (Batutara) sekarang ini.

Dikampung itu  tinggallah  mama Dae dan kedua anaknya.  Ia pun menginginginkan agar mereka bisa bertamba banyak. Karena keduanya bersaudara  maka   ia naik ke atas para-para rumahnya (maka) tanggalkan kulit tuanya dan ia turun seperti seorang  gadis cantik dengan maksud agar anaknya Beni Ei bisa mengawininya namun anaknya tidak mau.

Ia pun kembali  mengenakan kembali kulit tuanya.  Suatu saat kedua muda mudi bersaudara Beni Ei dan Lolo Dae melihat belalang lagi kawin dan mereka bertanya pada mama Dae, waiq taq noq ua ya..?  (sedang apa belalang  ini ?) 

Ia menjawab,  mui waiq laha name, me laha name, mui manuq laha name me laha name,  mui witing laha name me laha na me. (Kalau kamu melihat binatang buat seperti itu kamu buat seperti itu).

Mama Dae menghendaki agar walaupun bersaudara mereka harus kawin agar punya keturunan.  Suatu saat Lolo Dae pun hamil dan punya anak. Karena mereka nikahi saudara kandung  maka mereka sakit-sakit karena kena kutukan adat. 

Untuk mengatasinya mereka membuat ritual Poan toba Ula loyo dengan belalang. Upacara ini masih mendapat hukuman adat. Mereka membuat ritual lagi dengan ayam  namun masih kena kutukan adat juga.     

Pada akhirnya mereka membuat ritual Poan Toba Ula Loyo dengan seekor Babi dan Seekor kambing.  Dari ritual ini barulah mereka sehat dan selamat, beranak cucu hingga  menurunkan warga kampung Leunapoq (desa Normal 1 ) sekarang ini.