Isu Tambang dan Status Tanah Ulayat Kedang, Peran Pemuda dan Pemdes
![]() |
ilustrasi pexel |
RakatNtt - Tambang, sebuah kata yang sangat haram di telinga orang Kedang, Lembata, NTT. Sejarah telah membuktikan penolakkan komunal masyarakat Kedang terhadap proyek raksasa tambang yang terbukti membuat warga lokal menderita di berbagai tempat - tentu ada keuntungan material bagi investor dan karyawannya. Tahun 2008, sejarah telah mencatat sebuah perlawanan masif masyarakat adat Kedang dan Leragere (dibantu oleh para pastor dan aktivis) terhadap PT. Merukh dan Pemda Lembata. Perjuangan masyarakat adat dengan penuh komitmen bahkan siap mengorbankan nyawa. Dengan kekuatan bersama, PT. Merukh dan Pemda Lembata akhirnya diusir pulang dan tambang pun hanya tinggal nama.
Memang benar, bahwa masyarakat adat melihat tanah bukan sekadar sebagai sumber material tetapi ada nilai lain yang berkaitan dengan makna filosofis dan spiritual yang sangat melekat.
Misalnya, tanah adalah ibu (Ha’i Longo’), ihin weren matan mear (emas dalam kandungan tanah) adalah penyanggah bumi Kedang, tanah sakral sebagai personifikasi kehadiran Wujud Tertinggi dan roh-roh yang tak kelihatan (Alex Jebadu, 2018) dan masih banyak konsep lainnya.
Sebagai orang timur, tentu filsafat timur sangat khas dan melekat dalam setiap cara berpikir masyarakat adat yakni selalu menjaga keseimbangan dengan alam bahkan alam dilihat sebagai pusat kehidupan.
Hal ini berbeda dengan konsep berpikir antroposentrisme. Kaum antroposentris akan melihat bahwa alam layak dieksploitasi semasif mungkin demi kekayaan dan kepuasan manusia. Konsep ini tak melihat alam sebagai “saudara” tetapi semata-mata sebagai obyek eksploitasi.
Dari dua hal ini, sebenarnya jembatan penghubung sebagai benang merah harus dikedepankan. Misalnya, kaum antroposentris, akan datang berkotbah bahwa masyarakat Kedang dan Lembata akan maju karena ada tambang; mereka akan membawa konsep utilitarianisme - keuntungan untuk banyak orang tanpa melihat bahwa ada kaum minor tertentu yang dirugikan.
Namun, mereka tidak memahami konsep-konsep filosofis dan spiritual yang dimiliki oleh masyarakat adat tertentu. Akibatnya adalah terjadi pemaksaan dan hegemoni dengan mengandalkan hukum positif yang negatif dan kekuatan otot negara. Sementara itu, masyarakat adat akan tetap menolak sebab tambang selalu terbukti menampilkan wajah sangar dan mengakibatkan penderitaan di berbagai tempat. Kesejahteraan material yang dijanjikan hanyalah ilusi dan ini sudah terbukti tak perlu disembunyikan.
Oleh karena itu, jika memang akan ada tambang dengan mengambil tempat di Kedang, maka sosialisasi dengan jujur menampilkan keuntungan dan kerugiakan akibat tambang agar masyarakat adat bisa mempertimbangkan sebelum menandatangani persetujuan. Edukasi juga mesti diberi ruang bagi lembaga-lembaga advokasi, misalnya dari pemerhati lingkungan dan lain-lain.
Berbicara tentang masyarakat adat dasarnya adalah kesatuan masyarakat atau ada hak kolektivisme, bukan kepentingan oknum. Maka, isu yag beredar di facebook dan diperdebatkan setiap hari bahwa ada oknum tertentu yang sudah berjabat tangan dengan investor di Jakarta tanpa proses sosialisasi yang transparan dan jujur adalah awal dari api konflik itu sendiri. Api ini akan disiram lagi dengan bensin oleh kaum antroposentris sehingga lahirlah konflik horizontal antarmasyarakat adat Kedang. Kita mesti waspada.
Bicara Kembali Status Tanah di Kampung
Dengan isu tambang, orang mulai didorong untuk berbicara dan berdebat tentang status tanah adat, tanah suku atau tanah ulayat di Kedang. Artinya, status tanah adat sangat penting diketahui untuk menghadapi kekuatan hegemonik yang datang dari luar misalnya oleh perusahaan.
Namun, melihat fakta di lapangan, untuk konteks di Kedang sendiri, tidak semua kampung yang di dalamnya dihuni oleh suku-suku memahami secara baik ulayat di kampungnya. Hal ini adalah sebuah kelemahan yang akan membuat orang luar, katakanlah perusahaan dengan mudah masuk melalui oknum-oknum yang berkarakter antroposentris tadi.
Perusahaan atau investor pasti akan mencari orang yang mendukung misinya, tidak mungkin mencari orang yang tak sehaluan. Hal ini sudah pernah terjadi tahun 2008, orang-orang yang membubuhkan tanda tangan persetujuan justru dipersoalkan kepemilikan ulayatnya di lokasi pertambangan. Akibatnya, terjadi konflik verbal bahkan nyaris perang fisik.
Dari pengalaman-pengalaman semacam ini, kita mendorong agar setiap kampung mesti duduk bersama untuk membicarakan status tanah adat di kampungnya masing-masing agar diketahui suku mana yang berhak secara adat - jangan asal klaim tanpa dasar - sehingga ada kekuatan secara internal atau kekuatan masyarakat akar rumput (The Power Of Civil Society).
Jika di kampung sendiri, status ulayatnya masih sebatas saling klaim antarsuku tanpa penyelesaian, maka bersiap-siaplah bahaya itu akan cepat datang menyerang dalam bentuk apapun, entah tambang, maupun usaha-usaha raksasa lainnya yang datang dari kekuatan yang oleh Charles Deber disebut korporatokrasi. Masyarakat adat pun akan sulit melawan, selain karena secara internal ada konflik kepentingan tetapi juga ada hal yang lebih besar yakni belum ada Undang-undang masyarakat hukum adat yang diakui secara sah oleh negara ini.
Peran Kaum Muda dan Pemdes
Pemdes memiliki dua identitas sekaligus; di satu sisi sebagai masyarakat adat, ia juga memiliki sisi lain sebagai pelaksana tugas negara. Artinya, dalam menjalankan tugas-tugasnya di kampung, Pemdes mesti melihat dua kepentingan ini sembari mencari benang merah yang seimbang.
Katakanlah, kita omong tentang tanah, seringkali kepentingan negara berbenturan dengan kepentingan adat masyarakat suku di kampung. Tepat disinilah, Pemdes mesti hati-hati mengambil keputusan bukan bertepuk dada: “saya menjalankan perintah negara!”
Dengan mencari benang merah, Pemdes akan tampil sebagai sosok yang bijaksana melihat dan menyesuaikan dengan konteks persoalan. Namun, dalam kaitan dengan tanah seringkali konflik kepentingan ini selalu mengalami turbulensi. Lalu apa yang harus kita buat?
Selain dari Pemdes, kita juga membutuhkan peran kaum muda yang hadir sebagai penyanggah keharmonisan kampung. Kaum muda mesti hadir dengan pikiran yang berbeda dan lebih adil, bukan sekadar mengikuti kemauan pihak-pihak tertentu. Kaum muda mesti punya prinsip dan bertanggun jawab terhadap keberlanjutan yang harmonis di kampung.
Dalam kaitan dengan tanah ulayat, kita mendorong agar kaum muda bergandengan tangan dengan Pemdes untuk melihat peta konflik tanah di kampungnya masing-masing sembari mencari jalan keluar.
Salah satu jalan keluar dari masalah yang sangat tepat menurut saya adalah “bongan leu” atau sidang kampung. Pada momen inilah, kita bisa duduk sama-sama dengan pikiran terbuka, boleh saling debat tetapi tetap menjaga agar tidak dinodai oleh tuak kelapa yang berlebihan.
Kaum muda dan Pemdes memfasilitasi agar masyarakat adat di kampung bisa duduk bersama membicarakan status tanah adatnya; bukan untuk kepentingan jangka pendek saja melainkan jangka panjang nanti.
Sebab tanah adat di setiap kampung selalu melahirkan konflik dan ini fakta bukan rekasayasa. Maka, sekali lagi, yang dikatakan oleh Benyamin Molan, tanah (awu’) selalu dekat dengan kata awur atau saling rampas tetapi jika dibicarakan dengan baik dan bijaksana pasti tanah akan merangkul atau awu’ (Pater Thomas Ebarian) kita menjadi satu kekuatan dan satu identitas untuk melawan hegemoni yang datang dari luar dengan membawa teori-teori pembangunan yang palsu. Lantas, kita pilih yang mana?