Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nilai Sosial Budaya dan Kritik Cerita Rakyat Bota Ili dan Wata Rian

Ilustrasi Pexel


RakatNtt- Banyak manusia modern selalu mencibir cerita-cerita rakyat yang hadir melalui mitos, legenda, dongeng dan lain sebagainya. Mereka mengambil kesimpulan salah kaprah bahwa mitos atau legenda adalah cerita bualan tanpa makna.

Kesimpulan salah alamat ini mesti diperiksa kembali, sebab mitos atau legenda selalu punya pesan untuk manusia sepanjang masa.

Dalam mitos atau legenda, kita menemukan pesan kebijaksanaan yang sudah dirancang oleh para moyang kita dengan cara berpikir yang dibentuk dari pengalaman bersama alam, bersama manusia lain dan juga pengalaman transendental terhadap Wujud Tertinggi. Tentu, cerita mitos atau legenda ini mesti digali agar menjadi ilmu terapan bagi kita yang hidup di dunia pada zaman sekarang.

Yang pasti, cerita Bota Ili dan Wata Rian adalah salah satu legenda milik masyarakat Kedang, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Legenda sering dianggap sebagai cerita sejarah sehingga masyarakat kadang kala tidak terima jika cerita rakyat yang tak masuk akal ini dianggap sebagai cerita bualan tanpa isi.

Oleh karena itu, di berbagai tempat, masyarakat masih meyakini bahwa mitos atau legenda adalah fakta sejarah walaupun pendekatan ilmiahnya sangat tidak mendukung.

Nah, sebagai generasi terbaru, hendaknya kita memaknai semua warisan, khususnya tradisi lisan dengan cara pandang yang seimbang dan bijaksana tanpa menunjukkan keangkuhan kita.

Kali ini, saya mengajak kita menggali nilai kebijaksanaan berkaitan dengan kehidupan sosial budaya di daerah kita, khusus di Kedang melalui cerita Bota Ili dan Wata Rian.

Bota Ili dan Wata Rian diceritakan bertemu di puncak gunung Uyelewun. Wata Rian adalah seorang laki-laki yang hidup di pantai - ia merepresentasikan orang pesisir sekaligus sebagai laki-laki - dan Bota ili adalah seorang perempuan gunung dengan badan yang masih ditumbuhi bulu-bulu lebat.

Singkat cerita, keduanya bertemu di puncak Uyelewun. Perjumpaan pertama tentu, keduanya masih merasa asing alias tidak familiar. Ada rasa ragu, takut, curiga dan lain-lain terbersit dalam pemikiran keduanya.

Namun, tak kenal maka tak sayang, kedunya akhirnya mengenal dan baku sayang. Dengan karakter dan juga identitas yang berbeda, tentu harus ada jalan lain yang ditempuh untuk menuju pada sebuah perubahan yang lebih baik.

Bota Ili sebagai perempuan yang masih ditumbuhi bulu lebat di sekujur tubuhnya mesti dicukur atau mendapatkan perubahan baru. Untuk masuk pada sebuah perubahan, kita butuh strategi jitu.

Hal inilah yang dilakukan oleh Wata Rian dengan cara memberi Bota Ili mengonsumsi tuak koli hingga mabuk dan tertidur. Tentu kata mabuk disini selalu berkonotasi negatif, tetapi dalam cerita legenda ini mesti dimaknai sebagai strategi positif untuk meraih perubahan baru yang lebih baik.

Saat Bota Ili tertidur lelap, Wata Rian pun mencukur bulu badannya tersisa bulu ketiak, bulu kemaluan dan rambut. Setelah itu, ceritanya menjadi romantis bukan anarkis. Bota Ili tidak memberontak; keduanya justru kompak dan menjalin persahabatan yang lebih intim yakni menjadi suami istri.

Makna Sosial Budaya

Jika kita menggali sampai ke dasar cerita, sebenarnya ada beberapa nilai yang bisa kita temukan. Pertama adalah aspek sosial dan budaya. Wata Rian hadir membawa identitas orang pesisir, nelayan dan laki-laki. Sedangkan Bota Ili menampilkan identitas orang gunung, pemburu dan peramu (konteks kini adalah petani) dan perempuan.

Dari identitas yang berbeda ini, melalui jembatan pertemuan, kesepakatan, maka lahirlah nilai baru yang menjangkau kehidupan sosial budaya. Orang pesisir dan pedalaman adalah sahabat romantis, saudara tanpa sekat yang mestinya saling membangun relasi harmonis, saling membutuhkan dari sisi sosial, ekonomi yang kemudian disimpulkan menjadi budaya turun-temurun.

Bota dan Wata Rian telah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya persaudaraan inklusif tanpa mementingkan atau menonjolkan identitas partikular yang cenderung mendominasi. Saling membutuhkan adalah nilai kebijaksanaan yang diwariskan oleh Bota dan Wata Rian.

Tak hanya itu, Bota Ili dan Wata Rian juga membawa pesan bagi para pasutri atau suami istri agar membangun rumah tangga yang harmonis, misalnya dimulai dengan makan bersama dan komunikasi empat mata.

Dari cerita Bota Ili dan Wata Rian, sesungguhnya keakraban laki-laki dan perempuan dimulai dari saling mencari - Wata Rian penarasaran dengan nyala api di puncak gunung Uyelewun - ia mencari sambil membawa makanan. Demikian pun Bota Ili punya makanan - ular, kadal, tokek dll - dan keduanya bersatu dan memulai dengan makan bersama.

Namun, lagi-lagi, Bota Ili membawa makanan yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, dalam cerita ini, dikisahkan bahwa Wata Rian tidak mengonsumsi makanan dari Bota Ili - bukan karena jijik melainkan nilainya adalah soal perubahan yang lebih baik.

Nah, dari makan bersama inilah, rasa disatukan, jiwa dilekatkan, raga pun berpelukan dan keduanya menjadi suami istri. Bota Ili telah berubah menjadi perempuan cantik berbaut sarung dari Wata Rian dan tidak mengonsumsi kadal dan ular sebagai makanan.

Bersatunya Bota Ili dan Wata Rian telah membawa perubahan baru yang lebih baik dan beradab.

Budaya Patriarkat Masih Dominasi

Walaupun kita boleh sepakat atas nilai-nilai kebijaksanaan dalam legenda tersebut tetapi tentu ada kekurangan yang mesti kita kritisi untuk menghindari budaya saling mendominasi antara perempuan dan laki-laki.

Tentu cerita ini menampilkan bahwa orang pesisir cenderung lebih cepat menerima perubahan karena relasinya dengan orang baru yang datang berdagang, dan relasi lainnya misalnya dari pulau seberang. Itu oke.

Namun, pertanyaan kita, mengapa kok Bota Ili ditampilkan sebagai seorang pemburu Kadal, Ular dan binatang hutan lainnya di gunung Uyelewun. Bukankah tradisi berburu ini lebih melekat dengan laki-laki yang mestinya dihadirkan oleh tokoh Wata Rian?

Tentu kita sadari bahwa budaya Kedang yang patriarkat menjadi salah satu faktor lahirnya cerita ini. Catatan kritis sebenarnya, Bota Ili mesti ditampilkan sebagai orang pantai bukan orang gunung yang berburu ular dan kadal yang sangat menyeramkan itu. Bota Ili atau perempuan ditampilkan sebagai manusia yang terisolasi dan laki-lakilah yang membebaskannya. hmmm.

Dari cerita ini juga kelaki-lakian sangat mendominasi dan digambarkan sebagai orang yang sudah beradab, mampu membedakan makanan yang layak dan tidak layak, padahal omong soal makanan sebenarnya yang lebih mengenalnya adalah perempuan yang mesti dihadirkan melalui Bota Ili.

Namun, mengapa Wata Rian sang laki-laki yang ditonjolkan? Tentu cerita ini jika dibaca secara kritis, masih terdapat dominasi laki-laki.

Demikian catatan kritis yang tentu relatif untuk dikritik dan didiskusikan lagi oleh teman-teman lain.