Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Karya Seni Mesti Mempertimbangkan Nilai dan Refleksi

 

Sumber hasil screnshot Youtube Abu Lado Purab Official

RakatNtt - Secara umum kita mengenal ada Seni Musik, Tari, Teater, Lukis dan Sastra. Dari semua jenis karya seni tersebut, terdapat tiga nilai dasar yang mesti menjadi rujukan etiket dalam menghasilkan sebuah karya.

Pertama, nilai hiburan atau estetika. Nilai ini berkaitan dengan keindahan sebuah karya yang bisa menggugah rasa dan membuat mata penikmat seni tidak tertutup. Estetika bisa bermacam-macam, dalam musik misalnya, nilai keindahan ini bisa hadir dalam irama musik dan syair lagu.

Kedua, edukasi atau nilai pendidikan. Nilai ini berkaitan dengan aspek manfaat bagi penikmat seni untuk direfleksikan. Ada pesan moral atau pesan-pesan lainnya yang dihadirkan secara ekplisit maupun implisit dalam karya seni. Setiap penikmat seni akan memetik atau menerima pesan moral dari sudut pandang subyektifnya.

Ketiga, terapan. Nilai ini merupakan kesimpulan, bahwa setiap karya seni mesti bermanfaat juga untuk kehidupan praktis para penikmat seni. Nilai hiburan mesti membuat penikmat seni mengubah hidunya secara praktis, hidup yang lebih baik. Nilai edukasi mesti memberikan ilmu untuk kehidupan harian dari para penikmat seni.

Dari tiga nilai tersebut, para kreator seni mesti mampu mempertimbangkan hasil karyanya sebelum dilempar ke mata publik. Dalam tulisan ini, saya mengambil contoh lagu trending dengan judul Suami Kerja di Kalimantan, Istri Sibuk Pasang KB.

Lagu ini sangat dinikmati oleh khalayak ramai dan diputar saat pesta; semua orang bebas joget termasuk anak-anak SD, joget sambil nyanyi.

Secara singkat sebenarnya ada kontradisksi antara musik dan syair dari lagu tersebut. Lagu dengan pesan moral mengkritik para istri “yang berbuat salah” tetapi dimainkan dengan musik pesta; seolah-olah para penikmat musik berpesta pora di atas penderitaan kaum istri yang pernah mengalami keterbatasan manusiawinya.

Hasilnya adalah, pesan moral akan sulit dihayati karena telah dikuasai oleh musik joget. Akan lebih elok jika lagu tersebut dibawakan dalam suasana santai atau lagu pop sehingga orang bisa merenung dalam suasana santai bukan suasana pesta pora ditambah lagi dengan menikmati minuman keras. Kesannya adalah orang menari sambil mengolok para istri yang disebutkan dalam lagu  tersebut.

Saya coba membedah lagu ini dalam kerangka tiga nilai dasar seni yang disebutkan terdahulu. Pertama, hiburan. Lagu tersebut sungguh telah menghibur penikmantnya dari segi musik sehingga setiap kali ada pesta, orang akan menikmati musiknya.

Namun, kontradiski karena lagu tersebut terkesan memojokkan kaum perempuan atau istri - mengapa tidak sebaliknya laki-laki yang disebut dalam lagu ini, apakah suami yang bekerja di Kalimantan lurus terus atau ada kegelapan yang dirahasiakan? Mengapa harus perempuan yag disebut? Tentu sang pencipta lagu punya refleksi tersendiri.

Namun, sebagai penikmat seni, saya berhak mengkritik dan saya menemukan bahwa syair lagu ini bertendensi mendiskriminasi kaum istri yang pernah belok haluan dalam rumah tangga.

Nilai keindahan juga berkaitan dengan syair lagu. Syair mesti menggugah rasa dan puitis tanpa memojokkan atau kata-kata sarkasme.

Dari judul lagu saja, menurut saya tendensinya kasar kepada perempuan. Bukan berarti saya menolak lagu seperti ini. Maksud saya adalah nilai estetika mesti betul-betul dipertimbangkan dari segi musik dan syair.

Karena itu, menurut saya, lagu ini, syair-syairnya mesti lebih halus, kata-kata pasang KB itu tidak elok dan akan lebih indah jika kalimatnya dihaluskan dengan ungkapan lain dan musiknya mesti santai bukan untuk joget. Sebab kita sedang memberikan pesan moral kepada sesama kita di kampung, tetangga kita dan keluarga kita.

Berbeda jika kita mengkritik pemerintah yang korup; kita bisa berekspresi lebih kasar tetapi untuk masyarakat kecil - suami ke Kalimantan karena faktor ekonomi atau istri yang mungkin di kampung terkendala uang untuk urus anak-anak sekolah - maka syairnya harus lebih halus.

Sebab pencipta lagu ini pasti tidak tahu masalah rumah tangga orang, barangkali suami kerja di Kalimantan tetapi tidak kirim uang dan membuat istri belok haluan demi anak-anak di kampung.

Pernakah pencipta lagu ini merefleksikannya sedalam itu atau lagu ini muncul secara tiba-tiba hasil refleksi satu menit tanpa “survei” yang lebih matang?

Kedua, edukasi. Nilai moral yang mau disampaikan mesti dengan cara-cara yang baik bukan memojokkan atau tendensi mendiskriminasi. Sebuah ilmu harus disampaikan secara baik, khususnya pada aspek syairnya.

Para penikmat seni mesti mampu mendapatkan pesan baru untuk dibawa pulang dalam kehidupan sehari-hari mereka. Nilai ini langsung bersentuhan pada nilai ketiga yakni terapan.

Seni Harus Dikritik

Sebagai catatan tambahan dan daya dorong untuk para seniman khusus di Lembata, satu hal yang harus dipahami bahwa seni harus selalu dikritik atau ditampar. Seni harus selalu dipersoalkan dengan persoalan baru.

Karena itu, dalam konteks lagu Suami di Kalimantan, saya kira sangat tepat lagu ini dikritik agar terus hidup.

Mengkritik artinya, kita mendorong orang untuk berkembang lebih baik lagi. Kita mengkritik seniman karena mungkin malas berimajinasi, malas survei, cepat “baper” dll, sebab karya seni yang dipublikasikan sudah bebas mendapat kritikkan dari setiap penikmat seni. 

Saya turut mengapresiasi lagu tersebut melalui catatan kritis ini.