Isu Tambang, Sejarah Perlawanan Massa dan Kearifan Lokal Tanah Kedang, Lembata
RakatNtt - Isu tambang kembali mencuat ke publik tatkala sebuah video viral di medsos dengan narasi yang menegaskan bahwa akan ada lokasi penambangan emas di Bean, Kedang Lembata.
Isu yang berpotensi konflik seperti ini tentunya tidak boleh dianggap kabar burung semata sebab isu publik seringkali berpotensi menjadi fakta. Maka, diskusi tentang isu tersebut adalah hal yang mutlak.
Proyek tambang bukanlah hal yang baru di Kedang. Menurut penuturan warga, pernah dilakukan penambangan di Atanila dalam skala yang kecil. Kemudian tahun 2005/2008, Pemda Lembata bekerja sama dengan PT. Merukh berusaha mengeksploitasi tanah Kedang dan Leragere untuk bisnis pertambangan.
Usaha ini pun gagal karena perlawanan massa yang sangat progresif dengan kekuatan budaya.
Khusus untuk di Kedang, perlawanan untuk mempertahankan tanah leluhur sebenarnya bukan baru terjadi pada tahun 2008, sebelumnya pada masa kekuasaan Rian Baraq pun secara internal, orang Kedang sudah konflik tanah. Dan kalau membaca sejarah, mempertahankan tanah di Kedang tidak bisa dilakukan secara sporadis atau sendiri-sendiri. Keberhasilan justru ketika dilakukan dengan kekuatan massa secara serentak.
Pada tahun 1962, Rian Baraq Mas (Kapitan Mas) berusaha menobatkan dirinya sebagai pemilik tunggal tanah Kedang. Rencana ini dilawan dengan kekuatan massa yakni mereka yang disebut sebagai “tuan Tanah” masing-masing kampung. Perjuangan mereka akhirnya berhasil dan tanah Kedang dikembalikan kepada milik masing-masing orang yang berwenang di setiap kampung.
Walaupun demikian, entah mengapa, perjuangan para tokoh “tuan tanah” ini sulit kita temukan dalam warisan sejarah perjuangan di Kedang agar menjadi pengetahun lokal generasi Kedang - mungkin orang Kedang lebih suka sejarah kekuasaan, politik dll ketimbang sejarah perjuangan yang tulus.
Sejarah perjuangan untuk martabat tanah Kedang ini mesti terus diwariskan kepada generasi penerus sebagai spirit untuk menjaga keharmonisan dan menjaga hak-hak serta otonomi setiap kampung dengan tatanan adatnya.
Kesimpulan sebenarnya, tanah Kedang menjadi milik kita besama tak ada pemilik tunggal. Kesimpulan lainnya adalah, orang Kedang anti terhadap feodalisme, perampasan, eksploitasi dan sejenisnya.
Oleh karena itu, jika isu rencana tambang yang sedang beredar di Medsos bahwa ada “tuan tanah” tertentu yang menyetujui tanah ulayatnya dijual ke pihak korporat adalah hal yang keliru dalam kearifan lokal tanah Kedang.
Misalnya kembali ke tahun 1962, para pejuang tanah ulayat sebenarnya berjuang untuk kehidupan bersama bukan untuk kepentingan diri atau sukunya. Namun, terkait dengan tanah ulayat ini mesti dibaca ulang sebab ulayat dalam bahasa negara berbeda jauh sekali dengan ulayat yang dipahami secara umum selama ini di Kedang.
Kearifan Lokal Tanah Kedang
Orang Kedang meyakini ada kekuatan terdalam tanah yang menjadi penyanggah (hode’ awu’) yakni Uhe Ara. Selain itu, tanah Kedang juga mengandung kekayaan harta benda yang tidak boleh dieksploitasi yang disebut dengan ihin weren matan meran.
Artinya, pengetahuan lokal orang Kedang tentang kekayaan bawah tanah sudah ada sejak dulu. Jika kekayaan itu dieksploitasi maka akan berakibat buruk pada hasil alam di kebun atau akan melahirkan bencana alam. Sebab alam dan manusia adalah saudara.
Terkait dengan lapisan terdalam bumi Kedang atau yang disebut uhe ara, hingga kini terdapat dua versi; ada uhe ara yang menjadi milik semua orang Kedang disebut Kipa kire’ wahin sara mole elu’ ha’i longo’ miteng bele hara bidu badu, ote kuing ole kuing bele pole pu’en bele aur bau’ dst.
Ada juga uhe yang terdapat di tiap kampung dan diperoleh berdasarkan dorong dope’ atau migrasi ke suatu wilayah tertentu. Uhe yang kedua ini berkaitan dengan wilayah kuasa sebab dulu setiap leluhur selalu berjuang untuk mendapatkan tempat baru juga untuk nama besarnya.
Suku yang lebih dulu migrasi ke tanah tersebut akan disebut suku sulung (tubar) dan memiliki hak-hak adat terkait dengan uhe yang diperoleh berdasarkan sejarah migrasi dan biasanya tanah-tanah suku tersebut diberi nama sakral menggunakan nama moyang (tuan uhe).
Hak-hak adat tersebut misalnya, sebagai peletak batu pertama jika ada pembangunan rumah atau fasilitas umum tertentu (sudah mulai hilang), penikam tanah jika ada kematian (sudah mulai hilang) dan ka wutuq ale jika ada ritus adat yang dibuat berskala kampung (masih ada).
Selain dari itu, uhe wala atau duli wala - atau yang sering disebut sebagai “tuan tanah” tidak punya wewenang untuk jual-beli tanah sebab di atas tanah sudah ada kebun milik warga lainnya.
Tugas mulia “tuan tanah” adalah melindungi tanah suku agar warga yang mencari hidup di atas tanah suku tidak diganggu oleh pihak luar, misalnya berupa proyek pertambangan.
Apakah Ada Ulayat di Kedang?
Tak dipungkiri bahwa selama ini orang Kedang memahami ulayat tidak sesuai dengan definisi yang dibuat oleh negara. Secara singkat ulayat dalam bahasa negara menegaskan bahwa hamparan tanah yang dikuasai secara komunitas atau bersama. Jika mengikuti definisi ini, maka ulayat di Kedang bisa sesuai dengan uhe ara versi pertama; itu berarti orang Kedang memiliki hanya satu ulayat yakni awu’ edang secara keseluruhan; tidak ada pemilik tunggal.
Namun, faktanya adalah orang Kedang selama ini memahami ulayat sebagai milik masing-masing suku di setiap kampung yang sering disebut sebagai uhe yang diperoleh berdasarkan sejarah dorong dope’.
Hal ini bertentangan dengan ulayat versi negara, sebab walaupun suku A misalnya punya uhe yang sangat luas tetapi tidak semua hamparan tanah tersebut dikuasai bersama oleh suku tersebut, justru yang paling banyak dikuasai oleh suku lain sebagai lahan untuk hidup. Artinya definisi ulayat di Kedang masih problematis dan harus didiskusikan secara bersama lagi.
Namun, dalam kaitan dengan konflik tanah tak perlu dipungkiri bahwa suku-suku yang memiliki uhe atau duli juga berperan besar untuk menjaga tanah Kedang, sebut saja tahun 2008, banyak sekali suku-suku yang maju melawan Pemda dan korporat atas dasar sejarah tanah suku - walaupun suku tersebut, anggotanya tidak memiliki kebun di lokasi tambang Wei puhe dan sekitarnya.
Tanah dan Konflik Internal
Proyek tambang sangat problematis dan melahirkan konflik horizontal. Sebab korporat biasanya bekerja sama dengan Pemda hanya akan mencari dan bekerja sama dengan pemilik uhe versi kedua yang saya sebutkan di atas. Tahun 2008 terbukti demikian. Orang Kedang yang tidak punya lokasi uhe tidak akan didengarkan oleh pemilik proyek dan Pemda.
Dengan demikian, harus kita akui bahwa pemilik uhe versi kedua atau bisa kita terjemahkan dengan tanah suku di masing-masing kampung juga sebenarnya punya peranan yang sangat penting untuk melawan bisnis raksasa yang sangat eksploitatif ini.
Namun demikian, kalau kita menelusuri di setiap kampung, konflik uhe secara internal juga masih ditemukan. Hal ini menjadi titik terlemah membangun kekompakkan melawan pihak asing yang datang.
Dengan hilangnya sistim pemerintahan tradisional Kale’ mata, terlihat bahwa kekompaan suku-suku dalam kampung mulai rusak dan masing-masing saling klaim sehingga tidak ada referensi valid yang bisa menjadi pegangan.
Oleh karena itu, dengan potensi tanah Kedang yang kaya raya dan mudah dijadikan bisnis tambang, orang Kedang di setiap kampung mestinya tahu diri terkait dengan statusnya dalam kampung agar tidak terjadi konflik sebagai titik terlemah dalam menghadang pihak asing yang datang membawa alat berat untuk tambang.
Terlepas dari itu, isu tentang tambang dan pemilik ulayat yang menyerahkan tanah ulayat untuk tambang mesti diperiksa sebab bicara tentang tanah di Kedang berarti kita bicara tentang kesatuan baik dalam kampung maupun antarkampung dan Kedang secara bulat.
“Tuan tanah” tidak boleh berwatak penjajah dan kapitalistik untuk mementingkan perut tanpa berpikir risiko negatif lainnya yang datang kemudian. Sekali lagi, konsep “tuan tanah” di Kedang itu konsep yang “mulia” - mungkin berbeda dengan etnis lain - “tuan tanah” dalam budaya kedang hanya berwenang secara adat; ia tak punya wewenang menjual tanah suku (uhe/duli) tanpa berdiskusi dengan suku-suku lain.
Baca Juga Kronologi Tambang 2008 di Kedang
Namun, sekali lagi PR-nya adalah konflik internal tentang uhe adalah titik terlemah dan melalui pengalaman tahun 2008, mestinya orang Kedang di setiap kampung mulai membangun kekompakkan untuk membicarakan status tanah dalam kampungnya sendiri agar tidak mudah dimanipulaasi oleh pihak asing yang masuk melalui oknum-oknum tertentu.