Gotong royong di Dolulolong, Sebuah Warisan Budaya
RakatNtt - Pada tahun 2019, saya untuk pertama kalinya masuk ke kampung Dolulolo’, Desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Mengunjungi kampung Dolulolo’ (selanjutnya Dolu), termotivasi melalui cerita lisan tentang hubungan di masa lalu. Saya terdorong untuk menggali atau mencari tahu lebih dalam tentang kampung Dolu dan cerita-cerita tentangnya juga situs budayanya yang masih terawat hingga kini.
Memasuki gerbang kampung ini, kita disuguhkan tulisan Kampung Bersejarah, terdapat pula Huna Hale sebagai rumah adat atau rumah besar kampung, ada susunan batu yang menggambarkan cerita di masa lalu, ada lukisan tene kora pada sebuah batu dan masih banyak kekayaan budaya lainnya di kampung Dolu.
Hal menarik yang saya temukan di Dolu adalah sistem pemerintahan tradisional atau Kale’ Mata yang masih diwariskan; ada suku yang bertugas sebagai pengatur adat, ada yang bertugas sebagai tukang bangunan, penjaga keamanan dan seterusnya.
Sistim pemerintahan tradisional yang masih terawat ini membuat persatuan kampung menjadi kokoh sebab masing-masing suku tahu diri atau tahu tugas dan perannya dalam kampung. Hal ini pula dapat kita temukan dalam simbol Huna Hale atau rumah adat kampung yang berdiri di tengah kampung.
Mungkin dari luar, kita mendengar bahwa orang Dolu sudah sangat islami dengan kehadiran agama Islam di Dolu tetapi ketika masuk ke Dolu, kita akan menemukan bahwa adat dan budaya masih sangat sehat dirawat oleh orang Dolu, berdampingan dengan agama dan beradaptasi dengan kehidupan kekinian.
Hari ini, Minggu, 5 Januari 2025, segenap warga Dolu bergotong royong memperbaiki dan mengatap Huna Hale mereka yang sebelumnya dibongkar karena sudah lapuk. Semua warga dari yang kecil sampai tua, dari tetua adat sampai Pemerintah Desa bersatu padu, bergotong royong untuk menyelesaikan pekerjaan ini.
Ada yang bertugas mengatap, ada yang sementara membunyikan gong gendang dan menari; berbaur tua dan muda. Sungguh sebuah warisan tradisi yang mengalir dengan indah. Rumah adat kampung adalah simbol persatuan, hal yang jarang kita temukan di kampung-kampung lain di Kedang, yang biasanya rumah adatnya dibangun masing-masing suku.
Hampir mirip dengan Dolu, kita juga bisa temukan dalam kehidupan masyarakat adat kampung Leuhoeq. Di kampung lama Leuhoeq, semua suku membangun rumah adatnya berdampingan pada satu hamparan dan ada satu rumah besar menjadi rumah persatuan semua suku.
Saat mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal di Leuhoeq, saya memperhatikan bahwa masyarakat adat Leuhoeq juga masih merawat persatuan berbasis adat dan budaya. Persatuan masyarakat adat Leuhoeq juga berkaitan dengan menjaga pangan lokal Leye di kampung lama mereka.
Ada suku tertentu bertugas sebagai penerima dan pengantar tamu saat memasuki kampung lama; ada suku yang bertugas menerima tamu sambil melafalkan kata-kata adat, ada suku yang bertugas sebagai pelayan bei tuaq, wayaq bako wue mal. Masing-masing suku tidak saling mengingkari tugas-tugasnya sehingga konflik berkaitan dengan status suku-suku dalam kampung jarang terjadi.
Kita kembali ke kampung Dolu. Dari gotong royong berbasis kampung ini, sebenarnya kita bisa memetik banyak nilai terapan bahwa persatuan berbasis adat atau budaya mesti terus dipertahankan di tengah perbedaan-perbedaan partikular lainnya misalnya perbedaan kepentingan politik, agama, suku dan lain-lain. Persatuan berbasis kampung juga akan bermanfaat untuk keharmonisan warga kampung hari ini dan nanti.
Melalui rumah besar kampung, masalah-masalah internal kampung bisa diselesaikan dalam nuansa kekeluargaan. Perbedaan-perbedaan yang seringkali melahirkan konflik bisa menemukan ruang yang berwibawa untuk diselesaikan tanpa berafiliasi dengan provokator berniat liar dan kotor.
Masalah di kampung akan lebih terhormat untuk diselesaikan di rumah adat kampung yang menjadi rumah besar ketimbang di Kantor Desa yang menjadi simbol Pemerintahan Negara.
Dari Dolu juga kita bisa belajar menjaga warisan leluhur yang dipertegas lagi dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017. Ada situs budaya yang menjelaskan sejarah di masa lalu yang barangkali ditelantarkan oleh warga kampung dan Pemerintah Desa; ada ritus adat yang menjadi kesempatan warga kampung berkumpul bersama; ada cerita lisan, dongeng, mitos dll yang bisa dikembangkan menjadi muatan lokal bagi anak-anak sekolah dan lain-lain.
Pemerintah Desa, Kecamatan dan masyarakat adat kolaborasi jaga budaya |
Hal-hal seperti ini sejatinya bisa menjadi bahan untuk dipikirkan bersama baik tetua adat maupun Pemerintah Desa dan generasi muda yang berwawasan ke depan. Kita mengharapkan agar Kementerian Kebudayaan RI bisa melahirkan gebrakan-gebrakan baru untuk pemajuan kebudayaan sekaligus menjadi daya dorong bagi warga kampung untuk menata kampungnya tanpa egois dengan perbedaan politik, agama, kepentingan suku dan aneka bentuk lainnya.
Salam hormat dan apresiasi untuk warga kampung Dolu, tetap jaga warisan leluhur yang bermanfaat untuk kehidupan bersama.