Kucing Sudah Bertanduk, Apa yang Mesti Kita Perbaiki di Lembata?
Kanisius Tuaq dan Muhammad Nasir berpotensi memenangi pertarungan Pilkada Lembata 2024. Tugas kita sebagai masyarakat adalah menjaga Tuaq agar tidak mabuk dan Nasir agar tidak menjadi kasir. Siapapun pemenangnya rakyat tetap harus berpikir kritis di tengah euforia kemenangan ini.
Sebelum pencoblosan, media sosial dipenuhi dengan diskusi rasional maupun irasional. Ada oligarki, suku atau wilayah, agama, dan lain-lain yang selalu menjadi bahan perdebatan di medsos.
Pertanyaan kritis kemudian adalah apa itu oligarki atau siapa itu oligark lokal di Lembata; siapa yang masih berkutat pada isu SARA tanpa memberikan pertimbangan rasional sebagai manusia berakal sehat?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat penting agar kita tidak terjebak pada tuduhan buta terhadap lawan politik kita. Secara sederhana tentu oligarki yang dimaksudkan adalah para calon pemimpin yang maju dibiayai oleh pemodal besar yang tujuan di baliknya yakni ingin menguasai atau memonopoli ekonomi Lembata.
Oligarki yang dipahami juga sangat dekat dengan konsep dinasti, hanya orang kayalah yang bisa memimpin Lembata atau bupati harus lahir dari satu keluarga kaya. Lalu bagaimana dengan calon bupati yang terkategori ekonomi pas-pasan?
Apakah Tunas Bebas dari Oligarki dan SARA?
Tuaq dan Nasir mesti diberikan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Apakah keduanya bebas dari perintah oligarki dan SARA? Pertanyaan ini harus menjadi catatan penting bagi seluruh masyarakat Lembata. Barangkali untuk sementara kita sepakat bahwa Tunas bebas dari oligarki tetapi politik SARA yang digoreng untuk memenangkan Tunas amat sangat kental.
Politik atas nama suku atau wilayah masih sangat kuat pada Pilkada Lembata kali ini. Lantas siapa yang harus kita persalahkan?
Yang bertanggung jawab terhadap cara berpolitik seperti ini adalah para calon pemimpin di masa lampau sebab merekalah yang telah mewariskan stigma politik identitas yang bertujuan pecah-belah, misalnya Kedang bodoh bayang wato, sampai kucing bertanduk orang Kedang tidak menjadi bupati. Kini orang kemudian membalas dengan ungkapan baru: sampai tai kucing berubah jadi emas baru Kedang berhenti jadi bupati.
Semua ini adalah dinamika yang terjadi di Lembata. Politik identitas menekankan pada emosi pemilih bukan pada rasionalitas pemilih. Akibatnya, seorang pemilih teralienasi dari kemampuan otaknya untuk menilai kualitas calon; intinya satu suku, wilayah atau agama. Itu prinsip politik identitas.
Walaupun demikian, hal tersebut mesti terus diedukasi agar masyarakat tidak terkotak-kotak karena politik.
Dari kronologi politik identitas di Lembata, sebenarnya, hal ini sudah terjadi sejak dulu dan menurut saya orang Kedang juga bagian dari korban politik identitas ini. Karena itu, kemenangan Tunas mesti mampu menghilangkan stigma Kedang bodoh bayang wato dan kucing bertanduk.
Menghilangkan stigma buruk ini bukan sekadar sampai pada Tuaq dilantik jadi Bupati Lembata melainkan kualitas leadership yang ditampilkan nanti sesuai dengan janji dan visi-misi yang telah dipaparkan.
Kemenangan Tuaq juga mesti menghapus politik identitas di Lembata sebab orang Lamaholot sudah jadi bupati, orang Kedang sudah jadi bupati, orang Tionghoa dan Binongko mewakili suku-suku lain di Lembata pun sudah menjadi pemimpin.
Semuanya sudah mendapatkan jatah yang sama di rumah besar Lembata yang penuh dengan masyarakat majemuk. Namun, apakah dengan terpilihnya mereka menjadi Bupati, Lembata menjadi lebih baik?
Kucing Sudah Bertanduk
Kucing sudah bertanduk, lalu apa yang kita pikirkan tentang Lembata, apa yang kita harapkan tentang Lembata dan apa yang harus kita lakukan untuk Lembata? Kucing sudah bertanduk berarti, kita mesti terus mengedukasi masyarakat agar perlahan-lahan menghilangkan politik gaya tradisional atas dasar SARA.
Dosa masa lalu ini harus berubah menjadi doa untuk perubahan Lembata di zaman yang serba canggih ini. Kanis Tuaq sebagai yang bakal dilantik akan mengendalikan Lembata dengan penuh tanggung jawab.
Isu proyek geothermal di depan mata, grup facebook Bicara Lembata New yang secara moral bukanlah wadah yang tepat, pendidikan yang menurut informasi terbaru para guru dan siswanya malas membaca buku – termasuk mungkin para politisi dan ASN?
Nama-nama gedung umum yang hampir tak menggunakan bahasa Kedang mesti juga dipikirkan – sebab bisa menimbulkan perdebatan.
Tugas utama lainnya adalah Tuaq mesti bertanggung jawab dengan janji kampanye Tani, Ternak dan Nelayan. Bagaimana Bupati nanti menghubungkan proyek geothermal dengan pertanian.
Bagaimana mengidentifikasi pangan lokal di tengah dominasi jagung hibrida dan cara bertani modern menggunakan herbisida yang bisa mengancam umur panjang pangan lokal dan kesuburan tanah.
Tak lupa pula Tunas mesti mampu menghindarkan diri dari bisik-bisik setan atas nama jabatan dan politik kotak-kotak.
Kualitas leadershiplah yang akan membuktikan semua itu. Kualitas ini juga serentak pula akan menghilangkan stigma Kedang bodoh bayang wato.
Pawai kemenangan tak boleh menguasai rasionalitas kita sebagai manusia berpikir. Para pendukung dan kita semua tak boleh berhenti saat mencoblos tetapi harus kritis dalam mengontrol roda pemerintahan nanti.
Post a Comment for "Kucing Sudah Bertanduk, Apa yang Mesti Kita Perbaiki di Lembata?"
Komentar