Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ebang, Rumah Inklusif dan Spirit Filosofis, sebuah Catatan Kritis

 

Ebang adalah rumah khas suku Kedang di Lembata, NTT


RakatNtt – Rumah adat atau rumah khas di Nusantara amat beragam bentuk dan makna filosofisnya. Dari setiap rumah adat, masyarakat setempat bisa memetik nilai-nilai universal maupun parsial untuk menunjang kehidupannya.

Philipus Tule, dalam sebuah tulisannya, menguraikan, rumah sebagai tempat terbaik toleransi berbasis budaya. Artinya, di dalam rumah adat yang sama, warga suku atau etnis berkumpul, bersatu walaupun berbeda agama.

Rumah adat di setiap daerah selalu punya makna yang melekat dengan manusia setempat. Salah satu rumah khas milik suku Kedang di Lembata amat kaya makna filosofis yang mestinya didalami oleh setiap orang Kedang sebagai atedi’en herun – manusia yang baik dan manis “rasa”, manusia yang tidak egois dan tamak.

Rumah yang dimaksudkan adalah Ebang. Dalam karya tulis skripsi yang saya garap tahun 2022, saya mengambil satu kesimpulan sementara bahwa kata Edang berasal dari kata Ebang yang memiliki dua makna.

Pertama, Edang adalah rumah kehidupan; ada tanah, air, hutan, makanan dan lain-lain. Hal ini selaras dengan salah satu fungsi ebang sebagai lumbung. Kedua, Edang sebagai rumah persatuan identitas heterogen. Hal ini pula selaras dengan fungsi ebang lainnya sebagai rumah adat, rumah persatuan untuk membicarakan adat dan menyelesaikan persoalan sosial.

Nah, bagaimana sebenarnya yang mesti kita gali dari kesederhanaan sebuah rumah Ebang. Tentu tugas ini menjadi urgen bagi setiap orang Kedang, baik itu pegiat budaya, mahasiswa, politisi, Pemerintah Desa maupun masyarakat secara umum.

Salah satu simbol ebang yang mesti kita dalami maknanya yakni rumah tanpa pintu. Ebang adalah rumah terbuka tak ada pintu atau dinding. Di dalam ebang ada satu bale-bale besar sebagai tempat pertemuan.

Dari nirpintu, tentu makna terdalamnya bisa kita simpulkan sebagai rumah inklusif, rumah untuk semua, rumah tanpa kelas, rumah anti etnosentrisme, kampungsentrisme bahkan mungkin agamasentrisme.

Makna ini mau menegaskan bahwa karakter orang Kedang adalah cerminan iklusivitas yang nyata dalam pengalaman empirisnya. Tak ada kelas sosial, semuanya  duduk lingkar bersama; tak ada agama atau kampung tertentu yang diistimewakan.

Semuanya menjadi satu di dalam ebang; menjadi satu sebagai orang Kedang. Tentu ketika kita menarik makna lebih luas, ebang sebagai Edang atau Kedang, maka orang Kedang mestinya menampilkan karakter inklusif dalam setiap perjuangan untuk mencapai kebaikan sosial, entah dalam politik, organisasi, kerja kebudayaan dan jalan juang lainnya yang berbasis dan berorientasi inklusif.

Namun, hal yang mestinya diwaspadai agar tak ada kekeliruan dalam penafsiran dan praktik adalah bahaya etnosentrisme. Jangan sampai orang Kedang menafsirkan secara ekslusif bahwa ebang hanya untuk orang Kedang, di luar Kedang adalah asing.

Cara berpikir kotor, entnosentris dan egosentris seperti ini mesti secepatnya ditanggalkan dalam diri orang Kedang.

Catatan pentingnya adalah pengetahuan mendalam akan kebudayaan sendiri adalah satu hal wajib dan bukan hanya berpura-pura, jika tidak kita hanya akan menonjolkan popularitas tanpa pengetahuan yang memadai. Nol pengetahuan budaya bisa membuat kita menjual budaya dengan orientasi kapitalistik.

Rasa berbudaya inklusif mesti benar-benar tumbuh subur dalam sanubari dan lahir melalui karakter kita yang tulus dalam pergaulan sosial demi mencapai kesejatian diri sebagai atedi’en edang di’en herun alu malan.

Spirit Politik

Menarik garis lurus dari penjelasan terdahulu, sebenarnya ebang anti politik identitas yang bisa melahirkan etnosentrisme. Salah satu dampak politik identitas adalah bisa melahirkan watak etnosentrisme. Ini akan berbahaya jika menular pada kebijakan publik.

Untuk mencegah hal ini, para politisi asal Edang yang memiliki otoritas di bidang politik mestinya menjadikan makna filosofis ebang sebagai bendera politiknya. Dari ebang untuk semua; politik untuk melayani semua tanpa mengistimewakan kampung, suku maupun agama dan golongan juga partai tertentu.

Selain itu, catatan kritis tentang ebang ini mestinya menjiwai semua orang yang bekerja pada bidang kebudayaan Lembata, pegiat budaya, dinas-dinas terkait agar menjadikan ebang sebagai spirit dalam memajukan Lembata berbasis budaya, bekerja inklusif demi Lembata yang satu.