Cerita Kepala Manusia untuk Bangun Jembatan, Anda Percaya?
Ilustrasi |
RakatNt.com
– Pada
sekitar tahun 2000, cerita tentang turis atau orang asing yang merampok atau
menculik kepala anak-anak masih sangat viral terdengar. Pada musim jagung,
cerita seputar penculikan kepala anak manusia mulai terdengar.
Kami yang waktu itu masih SD, pulang sekolah harus
selalu jalan bersama atau kalau ke pasar Walangsawa harus jalan dengan teman. Saat
tiba di tempat sepi, misalnya di Obonghora, Desa Mahal, ketika ada “oto jeep”
lewat, maka sudah pasti kami lari bersembunyi di antara semak-semak.
Pada zaman lampau ini, cerita menyeramkan ini, kami
anggap sebagai sebuah sejarah yang benar. Bahkan pernah pada hari Senin, ada
kabar bahwa ada seorang anak dari Desa Mahal diculik oleh perampok; suasana
menjadi heboh, para tukang ojek selalu membentengi diri dengan parang panjang
alias kelewang.
Namun, cerita menyeramkan seperti ini, telah membuka
mata dan kesadaran saya setelah membaca buku Daya Hening Upaya Juang karya alm.
P. Jhon M. Prior, seorang pastor SVD asal Inggris yang telah lama bertugas di
Flores.
Ada beberapa hal janggal alias tidak logis dari
cerita yang pernah saya percaya sebagai kebenaran. Jika ada pelaku pembunuhan,
pasti masyarakat lokal kita sudah menangkap pelakunya, apalagi cerita itu
berlangsung bertahun-tahun, kok tidak ada satu pelakupun yang diadili?
Selain itu, nama para Pastor dan Bruder asal Eropa
pun diseret sebagai pelaku penculikan dengan iming-iming kasih permen ke
anak-anak. Loh, Pastor yang datang membawa Injil kok bertindak sebagai pembunuh
anak-anak? Mengapa mereka tidak ditangkap sebagai pelaku?
Dari buku Daya
Hening Upaya Juang inilah saya
tahu ternyata cerita kepala anak-anak dijadikan bahan untuk membangun jembatan
adalah dongeng alias fiksi. Cerita awal dibalik kelahiran dongeng ini berkaitan
dengan shock budaya antara masyarakat
lokal dengan para turis yang datang entah sebagai wisatawan atau juga para Pastor
dan Bruder Eropa yang datang bermisi.
Menurut Jhon Prior, pada zaman lampau nenek moyang
orang Flores amat fanatik dengan otentisitas budaya lokalnya. Budaya yang dibudidayakan
dalam kehidupan nenek moyang orang Flores-Lembata dianggap sebagai yang paling “sempurna”
sehingga tidak boleh dicampur dengan budaya lain atau asing yang hadir misalnya
melalui pendidikan atau bahasa asing dan seterusnya.
Untuk menjaga kesucian budaya atau tradisi lokal
dari pengaruh para turis yang datang maka diciptakan sebuah dongeng untuk
menakut-nakuti anak-anak agar tidak dekat dengan turis yang masuk ke kampung.
Pendidikan yang sebenarnya membawa orang keluar dari
kegelapan pernah dianggap sebagai hal baru yang akan merusak budaya lokal nenek
moyang orang Flores-Lembata pada zaman lampau.
Dengan demikian, maka orang asing atau turis
kemudian dimanipulasi identitasnya sebagai pelaku penculikan anak-anak. Dongeng
ini bertahan cukup lama dan berakhir
mungkin sekitar tahun 2000. Turis diceritakan keluar pada siang hari atau malam
hari menculik anak-anak yang pergi belajar pada malam hari atau yang bermain di
kebun jagung.
Terkait di kebun jagung ini, bisa jadi sebuah cerita
fiktif yang direkayasa untuk menakuti-nakuti anak-anak agar tidak bermain di
kebun jagung. Hal ini dengan tujuan agar tangan anak-anak tidak merusak jagung
yang sedang bertumbuh dan mau berbuah.
Walaupun hanya sebatas dongeng tetapi cerita ini
pernah dipercaya oleh banyak orang termasuk saya sendiri yang pernah mendengar
dan mengalami langsung kisah dari cerita ini di kampung saya.
Semuanya telah berubah, orang latin bilang waktu
berubah, manusiapun turut berubah di dalamnya. Pesan untuk kita tentunya agar
kita tidak cepat percaya pada cerita-cerita lisan; ada hal yang mesti kita
terima secara kritis. Cerita dari mulut ke mulut seringkali bertujuan positif tetapi
juga ada tujuan negatif. Tugas kita adalah mendengar dan menimbang bukan
menelan bulat-bulat.