Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Apa yang Hilang dari Kampung Kita?

 

Gotongroyong di Kampung


Rakatntt.com – Apakah anda pernah berpikir, memilih lebih baik tinggal di kampung atau di kota? Apa yang anda rasakan ketika hidup di kampung dan di kota? Apa yang membedakannya?

Pada suatu zaman tertentu, orang masih beranggapan bahwa kampung identik dengan kekolotan, kotor, dan narasi minus lainnya yang membuat orang kampung menjadi inferior. Narasi-narasi tersebut seringkali disimpulkan dengan sebuah frasa “dasar orang kampung” atau dasar kampungan.

Padahal sesungguhnya kampung adalah rumah peradaban. Awal mula kita tinggal di kampung, kedamaian, kesejukkan, adat istiadat dan tradisi budaya, pangan lokal, bahasa daerah; semua itu perpustakaannya ada di kampung – termasuk konflik. Kota besar sekalipun pasti bermula dari sebuah kampung kecil.

Kampung juga menjadi tempat kita mengenal akar budaya dan tradisi bahkan asal-usul nenek moyang kita. Di kampung, kita masih memeroleh sayur gratis, ubi gratis atau pisang gratis karena semuanya ada di kebun. Hidup di kampung sudah pasti kita masih mengenal, mengalami dan mungkin masih mau mewariskan tradisi budaya nenek moyang kita.

Di kampung pula kita mendengar cerita-cerita masa lampau baik sejarah, legenda, mitos dan lainnya dengan pesan-pesan yang amat kaya melalui bahasa-bahasa sastra yang asali yang mengalir dari mulut para tetua kita.

Pokoknya kampung itu asyik, kita masih bisa menggunakan bahasa daerah kita – walaupun pendidikan seringkali menuntut orangtua mendidik anaknya harus berbahasa Indonesia sejak dini.

Sayang Kampung

Walaupun secara administrasi negara, kita sudah mengenal nama Desa tetapi di balik setiap nama desa, kita mengenal pula nama kampung kita. Orang-orang yang hidup di kampung tentu memiliki rasa sayang tersendiri; ada yang terpaksa harus keluar kampung untuk tuntutan mata pencaharian.

Namun, ada pula yang setia hidup di kampung bahkan para ASN yang pensiun, ada yang memilih untuk pulang tinggal di kampung. Artinya, kampung punya magnet tersendiri.

Orang yang tinggal di kampung tentu punya rasa sayang terhadap semua yang ada di kampung baik alam maupun budayanya. Kita tahu bahwa di kampung, masih ada tradisi-tradisi budaya yang dijalankan. Dengan semua kekayaan ini, kesimpulannya adalah kampung adalah hidup kita, kampung adalah gambaran diri kita.

Menjadi orang kampung berarti kita menunjukkan ciri khas kampung kita yang penuh dengan nilai-nilai toleransi, nilai budaya, nilai kebersamaan dan seterusnya. Sayang kampung artinya, kita mencintai dan mewariskan semua tatanan nilai baik adat pun agama yang positif dan menunjang kehidupan warga kampung untuk semakin maju dan damai.

Namun, semua kekayaan itu perlahan pudar dengan masuknya cara berpikir baru melalui politik maupun barangkali hukum buatan negara – yang tidak relevan dan kontekstual – yang meminimalisasi konsep musyawarah mufakat secara adat. Politik hadir melalui gaya divide et impera, beda partai memprovokasi beda suku dan melahirkan konflik; baku sindir di medsos tak tertahankan sehingga saya berpikir mungkin benar orang kampung lebih cerewet omong politik daripada orang kota.

Politik mendorong orang kampung untuk saling mencurigai dan baku jaga sehingga saling dendam terus dipelihara hingga anak-cucu. Inilah salah satu sumbangan para politisi yang menghilangkan nilai-nilai adab orang kampung dengan pemerintahan tradisionalnya. Apakah kita pernah merefleksikan hal ini?

Selain politik, kita juga perlahan-lahan kehilangan tatanan adat yang tersusun sejak lama untuk menopang keharmonisan anak kampung. Musyawarah mufakat untuk menyelesaikan sebuah persoalan dianggap tidak perlu lagi dan langsung digantikan dengan pengadilan negeri atau Kantor Polisi.

Tatanan adat yang rapuh akan membuat kampung mudah digoyang angin. Tak hanya itu, hadirnya hukum positif seringkali ingin menguasai hukum adat yang tertanam bisu dalam kalbu orang kampung.

Dunia semakin maju, orang-orang semakin banyak mengumpulkan ijazah dan lupa pada hukum adat yang berlaku di kampung. Akibatnya, hukum saling menguasai dan lagi-lagi masyarakat akan terbentur karena dua konsep yang berbeda tanpa musyawarah mufakat gaya kampung yang lebih halus sebagai satu keluarga.

Oleh karena itu, penting bagi orang kampung untuk tahu diri, mengenal identitas sejati kampungnya, tatanan nilai yang terkandung dalam konsep adat. Hal ini juga penting diketahui oleh Pemerintah Desa agar menjadi pegangan dalam membangun kampung.

Kepala Desa mesti juga mengambil spirit dari kekuatan kampung untuk membangun desa jangan sampai dengan keangkuhan berpikir sehingga yang namanya tatanan adat tak lagi penting di otak kepala desa.

Hal ini akan bertentangan dengan kampung itu sendiri. Maka lahirnlah konflik horizonal berkepanjangan, warga desa saling curiga, kekeluargaan retak dan saling jaga badan. Orang yang dianggap berseberangan, tak perlu mendapat bantuan dari desa

Kampung yang dulu sudah berbeda dengan kampung yang sekarang terkontaminasi dengan politik praktis yang amat kasar. Sebenarnya, masalah-masalah seperti ini adalah tanggung jawab anak-anak kampung baik Pemdes maupun yang punya wawasan pendidikan.

Namun, seringkali saling curiga membuat orang kampung tak lagi seakrab dulu. Padahal, yang namanya masalah di kampung, konsep musyawarh mufakat adalah jalan keluar terbaik. Di ebang misalnya bagi orang Kedang, menjadi tempat untuk menyelesaikan persoalan, saling bicara jujur dan menghindari minum tuak sebelum bicara.

Inilah beberapa refleksi saya tentang kampung baik dari sisi positifnya maupun sumbangan negatif yang masuk karena lajunya kemajuan zaman. Namun, semua ini bisa dihindari jika cara berpikir manusia di kampung diatur secara baik tanpa rasa dendam, iri hati, dengki dan lain-lain.

Kembali ke Kampung

Dengan program makan siang gratis, orang Jakarta mulai lirik kampung. Mereka mulai turun ke kampung-kampung untuk mengajak kita mengonsumsi pangan lokal – apakah mereka juga tahu makan ubi dll?

Terlepas dari itu, kita mesti bangga karena wawasan kita dibuka dan disadarkan kembali tentang identitas sejati kampung kita. Melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, kita diajak untuk kembali menggali potensi desa kita; situs-situs sejarah yang ditelantarkan, ritual adat yang punya kaitan dengan persatuan kampung dan keberlanjutan pangan lokal, tradisi lisan dan lain-lain.

Kita diajak untuk kembali menggali potensi yang ada di kampung kita. Artinya, cara berpikir bahwa kampung itu terbelakang, kotor dan lain-lain telah dipatahkan dengan hadirnya Undang-Undang Pemajuan kebudayaan.

Orang Jakarta datang ke kampung dan mengajak kita untuk sama-sama makan ubi agar menghemat uang untuk membeli beras. Dengan hadirnya program makan siang gratis, Presiden mengajak kita untuk membudidayakan banyak pangan lokal sebab akan menjadi modal untuk mendukung program makan siang gratis dan terutama karena pangan lokal adalah makanan sehat kaya gizi.

Pangan lokal ubi gembolo


Kampung yang telah lama dilirik sebelah mata kini justru sebagai lokus utama mendukung program nasional. Kampung justru sebagai lumbung pangan. Nah, sebagai orang kampung, kita mesti bangga dengan identitas kampung kita dengan mulai menjaga situs-situs budaya kita agar tidak hilang oleh ingatan generasi.

Kita harus mulai menanam banyak pangan lokal kita dan tidak malu mengonsumsinya dan tentu saja ada banyak lagi pesan untuk kita yang barangkali tak habis tertulis melalui artikel ini.

Namun, perlu kita ingat, jika potensi alam dan budaya kita kaya tetapi SDM kita, cara berpikir kita masih saling dendam, saling curiga maka akan melahirkan benturan. Pada titik dilematis ini, apa yang harus kita buat?