Inferioritas Politik Pilkada Lembata, antara Isi Tas, Isi Hati dan Isi Otak
RakatNtt.com – Inferioritas berkaitan dengan pola pikir dan rasa menikmati sesuatu yang datang dari luar dan biasanya cenderung instant – ini tentang makanan. Inferioritas terbentuk karena sesuatu yang baru memiliki tampilan yang lebih menarik, lebih modern walaupun sebenarnya kualitas atau isinya diragukan – ini juga tentang makanan.
Lebih sederhana, inferioritas dapat terbaca dalam hubungan pola pikir dan rasa kita terhadap pangan instant atau beras dengan pangan lokal; kita lebih suka melihat lokalitas atau milik kita menjadi lebih rendah nilainya jika dikomparasikan dengan yang memiliki tampilan modern tanpa menimbang gizi atau kualitas isi.
Akibatnya, kita lebih memilih makanan dengan mengandalkan tampilannya walaupun harga mahal ketimbang yang isinya sehat walaupun tampilannya sederhana. Lantas bagaimana kita melihat dan menghubungkan inferioritas dalam konteks Pilkada Lembata?
Saya tidak sedang menggiring opini agar masyarakat membandingkan calon pemimpin yang berasal dari Lembata atau yang bukan berasal dari Lembata.
Namun, inferioritas politik yang dimaksudkan adalah bagaimana kita mengukur kecenderungan masyarakat (diri kita) yang melihat pemimpin hanya dari aspek tampilan, bisa dalam bentuk editing foto dan video yang cantik, atau melihat kandidat dari sisi bentuk tubuh, warna kulit, umur, senyum lebih manis dan visi-misi yang bombastis-tidak realistis pada kondisi terkini daerah, punya rumah elit dll.
Aspek-aspek seperti ini menegaskan bahwa kemungkinan inferioritas sedang tumbuh di kalangan masyarakat, walaupun kita belum mampu mengukur secara detail kecenderungan ini.
Semuanya kembali pada refleksi masyarakat. Pemimpin yang memiliki latar belakang teruji, isi otaknya berisi dengan paparan visi-misi dan penjelasan rasional-realistis dalam kampanye dan debat akan kalah bersaing dengan pemimpin yang memiliki senyum paling manis di mata masyarakat (relatif), berpakaian lebih keren, visi-misi bombastis sehingga dilihat punya otak pintar dan sebagainya, yang bisa diajak selfie dan diupload pada reel facebook misalnya.
Tantangan inferioritas ini mesti menjadi refleksi masyarakat untuk mengukur kecenderungan dirinya dalam mengidolakan seorang calon pemimpin. Pada sisi lainnya, inferioritas juga akan lahir dari cara kampanye dengan menonjolkan materi-materi yang bukan menjadi substansi dari perjuangan politik.
Ada yang mengemas keunggulan calon dari sisi kemapanan finansial dan dapur rumah yang elit. Sadar atau tidak, ini adalah jebakan inferioritas yang membuat kita buta terhadap kondisi kita sendiri. Kita akan melihat orang yang kaya uang sebagai yang memiliki posisi lebih tinggi dan cocok menjadi pengatur kehidupan kita.
Akibatnya, calon pemimpin yang lahir dari dapur mama yang ekonominya sama dengan mayoritas mama di Lembata dilihat sebagai calon yang tidak perlu dipilih karena miskin, rumah sederhana, tidak mapan dll.
Akibat lanjutnya, akan lahir cara berpikir bahwa pemimpin yang datang dari desa, dari keluarga sederhana walaupun punya kualitas leadership yang tidak perlu diragukan, yang punya latar belakang perjuangan yang konsisten, yang tidak punya dosa politik tidak layak dipilih, karena tampilannya tidak menarik, yang sakunya tidak tebal, yang rumahnya hanya satu lantai dan tidak punya kolam ikan, dst.
Apa yang Harus Kita Buat?
Kita mesti memahami dulu, apa itu politik? Kesejahteraan bersama adalah tujuan utama Politik, melampau sekat-seka parsial, suku, wilayah dll. Dengan demikian, kampanye mesti menjadi kesempatan mengukur kualitas calon pemimpin; apa yang ditonjolkan; apakah kulit luar atau isinya? Kampanye juga menjadi kesempatan bagi politisi untuk memberikan pendidikan politik yang rasional, bukan mewartakan isu buruk untuk menekan kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan terbaiknya.
Yang paling penting bagi kita sesuai konteks tulisan ini adalah, mari kita melihat calon pemimpin dari latar belakang hidup pribadi, perjalanan politiknya dan riwayat-riwayat sosial lainnya. Apakah calon pemimpin kita secara etikabilitas baik, tidak meninggalkan jejak masalah; apakah secara intelektual baik? Intelektualitas ini bukan soal siapa yang bisa menguasi “bahasa inggris” tetapi siapa yang bisa menguasai “bahasa daerah” milik masyarakat Lembata.
Maksudnya, otak pemimpin mesti cerdas membaca potensi apa yang dimiliki oleh masyarakat, bukan janji bombastis seolah-olah mau menampilkan diri sebagai orang pintar.
Intelektualitas bukan soal kemampuan menghafal undang-undang belaka, melainkan bagaimana membuktikan jejak konsistensi perjuangan, tidak meninggalkan masalah yang menimbulkan kegaduhan panjang, berbicara yang realistis dengan tawaran visi-misi yang memiliki kemungkinan dominan untuk bisa direalisasikan.
Artinya, masyarakat tak perlu lagi terkecoh dengan cara kampanye yang mengidolakan kemapanan ekonomi, isi tas dan sejenisnya, sebab cara kampanye tersebut sesungguhnya adalah jebakan inferioritas politik dan bentuk penghinaan terhadap masyarakat yang tidak pernah mengenal kemapanan isi tas dan kuantitas materi pribadi.
Kita hidup apa adanya dari kesederhanaan; kualitas kita ada pada kemampuan menentukan pemimpin yang punya isi hati dan isi otak rasional, bukan isi tas. Apakah kita tak pernah merefleksikan bahwa di negara ini, kebenaran seringkali dibeli oleh yang punya isi tas? Politik isi tas dan pamer kemewahan juga adalah bentuk lain dari tidak menghormati masyarakat kita yang terindikasi masih hidup di rumah tak layak huni; ini adalah kesombongan personal yang jelas-jelas menampilkan jurang ekonomi tetapi dikemas seolah-olah sebagai pembawa berkat.
Apakah kita tidak pernah merefleksikan bahwa orang yang berjuang membantu masyarakat miskin – katakanlah Komunitas Taman Daun – sering dikritik dengan dalil biblis, “apa yang dibuat tangan kanan, tak boleh diketahui tangan kiri.” Namun, dalam politik justru pamer-pamer kekayaan harta dan menonjolkan isi tas dilegalkan dan dianggap lumrah dan disanjung-sanjung di hadapan masyarakat.
Mari, tentukan pilihanmu yang tepat kepada pemimpin yang punya isi otak dan isi hati, yang bisa membawa kita keluar dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dll (ukur melalui jejak dan visi-misinya) bukan pemimpin yang memamerkan kekayan di sebuah kampung yang dilanda tanah longsor dan banjir.***