Agama dan Budaya Lembata di Tengah Gempuran Isu Pilkada
RakatNtt.com – Selain wilayah dan agama, budaya (juga suku) menjadi isu penyedap rasa yang dimainkan oleh para politisi dan tim suksesnya untuk mendapatkan restu masyarakat.
Di Kedang misalnya, narasi yang dibangun soal Kedang asli, Uyo Lewun dan Sina Lewun atau di Atadei kita membaca berita ada calon tertentu diangkat menjadi anak suku walaupun kemudian dibantah oleh tetua adat yang dapat dibaca pada berita susulan terbaru. Entah benar yang mana, dua tulisan berbeda ditulis oleh dua wartawan yang berbeda pula.
Artinya, budaya Lembata sedang diincar untuk menggolkan sebuah kepentingan yang kita sebut politik pada Pilkada 2024. Menoleh sedikit ke belakang, isu seputar budaya atau suku pernah dimainkan secara cantik oleh alm. Yance Sunur dengan Uyelewun Rayanya.
Masyarakat kemudian berdebat tentang perbedaan wilayah, suku dan budaya dan tak peduli lagi pada slogan ta’an tou. Isu tersebut semestinya menampar kita untuk mengubah cara pandang tentang Pilkada sebagai momen membangkitkan persatuan.
Bahwa benar, kita dilahirkan dengan latar belakang berbeda-beda tetapi jangan sampai kita mempolitisasi nilai perbedaan untuk politik yang cepat saji.
Agama dan Budaya sebagai Spirit
Politik atas nama agama untuk meraih kemenangan cepat adalah cara kerja yang perlu dibantah. Seyogyanya, agama mesti hadir sebagai spirit untuk melahirkan nilai-nilai politik.
Agama bukan bensin yang membakar semangat kemenangan tanpa refleksi. Jika agama dilegalisasi untuk mendukung kampanye politik maka jangan marah, Lembata akan terpecah belah oleh isu-isu parsial, agama A akan membenarkan diri, agama B juga demikian, maka konflik kepentingan parsial akan lahir di tubuh politik yang sebenarnya untuk kepentingan Lembata secara utuh.
Maka sebenarnya, agama juga budaya mesti dijaga otentisitasnya di tengah gempuran Pilkada Lembata. Edukasi positif kepada masyarakat tidak mesti membakar mereka dengan isu sama agama atau sama suku.
Sebab akan melahirkan sebuah egosentrisme baik dalam agama maupun etnosentrisme sehingga nilai politik akan jauh dari tujuan politik yang sebenarnya.
Kita mesti menggali nilai-nilai luhur baik itu dalam agama maupun budaya sebagai spirit untuk membentuk karakter para politisi kita dalam menjalankan tugasnya baik selama berproses maupun nantinya memenangkan kontestasi ini.
Nilai kedamaian, cinta kasih, kesantunan, ta’an tou, one’ ude’ laleng hama dll itulah menjadi spirit berpolitik bukan berteriak membakar semangat masyarakat dengan narasi sama agama pun budaya.
Masyarakat akhirnya gelap mata dan memilih pemimpin bukan karena kemampuan mengonstruksi konsep politik untuk Lembata lebih baik melainkan hanya karena kesamaan iman.
Akibat lainnya, rekam jejak tak lagi menjadi refleksi kritis untuk memilih pemimpin. Jadi, walaupun pemimpin itu buruk, pernah tinggalkan jejak kasus tetapi jika ia agama sama dengan saya, maka saya akan memilihnya. Inilah cara pandang yang sangat merusak kualitas politik Lembata. Tugas politisi adalah mengedukasi bukan merusak.
Sina Lewun Raya Lewun dan Maknanya
Ada sebuah kearifan lokal orang Kedang yang masih dipertahankan sebagai sebuah pengetahuan lokal.
Orang Kedang meyakini bahwa semua orang di Dunia ini berasal dari gunung Uyelewun atau lahir dari satu rahim yang sama. Bukan hanya bersaudara dengan manusia, melainkan juga dengan tumbuhan dan hewan.
Sebuah keyakinan purba yang belum lapuk, Uyo Lewun yang adalah moyang orang Kedang ini memiliki beberapa saudara yang lain yakni Eyeq Lewun (Afrika) Woka Lewun (tumbuhan) Behaq Lewun (Eropa), Raya Lewun (China/Sina Lewun), Gaya Lewun (Jawa).
Dari kearifan ini, sesungguhnya maknanya adalah orang Kedang melihat semua orang di dunia termasuk hewan dan tumbuhan sebagai saudara "kandung."
Namun, bukan berarti benar secara genealogis. Silsilah Orang Kedang tidak mungkin sampai ke China apalagi Eropa. Kearifan ini seringkali dimanipulasi dalam momen Pilkada atau politik.
Apropriasi budaya Kedang telah lama dimainkan dalam momen politik untuk sebuah kepentingan. Politik akhirnya mereduksi makna keluhuran budaya Kedang.
Artinya, para politisi kita paling kurang memahami budaya Lembata dengan segenap nilainya untuk mendukung politik yang lebih beradab. Para politisi dan timnya tak boleh memanipulasi budaya untuk kepentingan politik. Sebab budaya mengandung nilai kejujuran.
Jika berproses dengan memanipulasi budaya maka meragukan politisi bersangkutan adalah hal yang sangat wajar.
Kita mesti sama-sama melihat budaya kita sebagai spirit dengan nilainya yang universal. Oleh karena itu, mari berproses yang baik, berkampanye dengan jujur pada diri sendiri, pada identitas diri, sebab dalam politik terdapat banyak orang pintar tetapi minim orang jujur.
Justru di sinilah, masalah yang menjadi PR bagi partai politik dalam mendidik kadernya dan menjadi bahan refleksi bagi masyarakat Lembata untuk menentukan pilihan yang tepat.***
Post a Comment for "Agama dan Budaya Lembata di Tengah Gempuran Isu Pilkada"
Komentar