Mengenang Seminari Hokeng dan Gunung Lewotobi
RakatNtt.com – Gunung Lewotobi
laki-laki dan perempuan merupakan pemandangan indah yang selalu ada dalam
tatapan mata para seminaris di pagi hari. Ketika masih menggali ilmu di Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur, (saya
tamat tahun 2015) setiap pagi saya dan teman-teman selalu menikmati panorama
gunung Lewotobi. Salah satu gunung Lewotobi, pada puncaknya terlihat sudah
gersang atau botak, sedangkan salah satunya yang lain masih ditumbuhi
pepohonan. Lembah Hokeng yang sejuk merupakan bagian lain dari cerita di
Seminari Hokeng.
Tentang gunung Lewotobi ini, saya masih ingat
sebuah cerita. Barangkali sekitar tahun 2012, pernah ada informasi bahwa
gunung Lewotobi akan “meletus”. Waktu itu, kami para seminaris, apalagi yang
berasal dari daerah yang tidak punya gunung api, sangat merasa ketakutan. Setiap
malam ketika hendak tidur, kepala kami selalu dihantui dengan abu vulkanik gunung
Lewotobi. Ketika hari sudah pagi, usai misa pagi dan menuju kamar makan untuk
menikmati nasi dan kacang hijau, biasanya kami berkumpul di depan kamar makan
dan melihat ke arah gunung Lewotobi. Dari informasi ini pula, kami mendengar
informasi lain lagi bahwa para seminaris
yang berasal dari Dekenat Lembata akan dipulangkan jika Lewotobi erupsi.
Ada dua perasaaan yang timbul yakni senang dan
takut. Senang karena bisa pulang kampung dan libur dari aktivitas harian di Sesado.
Ada pula rasa takut; jika sebelum pulang ke Lembata, tiba-tiba Lewotobi “mengamuk”.
Dua rasa yang berkecamuk.
Ada pula cerita lain yang masih berkaitan, suatu
malam, saat jam rekreasi, ada teman yang masuk ke asrama dan menemukan seekor
ular. Memang tak biasa kami menemukan ular masuk asrama. Pikiran kami mulai
dihantui dengan erupsi Lewotobi. “Barangkali di puncak Lewotobi amat panas
pertanda mau erupsi sehingga binatang hutan tak tahan panas dan lari mencari
kesejukan di asrama Sesado. Ya ini pikiran yang timbul didorong oleh rasa takut
dan penasaran. Namun, bukan gara-gara itu. Beberapa hari kemudian terlihat api
menjalar di tubuh gunung Lewotobi membakar pepohonan yang hijau. Ini pertanda
ada kebakaran hebat ulah tangan manusia bukan karena erupsi.
Hingga tamat Sesado tahun 2015, gunung Lewotobi
baik-baik saja. Kami tetap mengikuti aktivitas di Sesado sebagaimana biasanya. Semua
kisah ini teringat kembali saat erupsi Lewotobi akhir 2023 dan berlanjut hingga
awal 2024 yang menurut informasi sudah dinaikkan pada level awas. Saya membayangkan
betapa sulitnya orang-orang di Hokeng, Dulipali, Padang Pasir, Goloriang,
Klatanlo, Boru, Suku Tukan dan daerah terdampak lainnya.
Saya juga membayangkan betapa sulitnya aktivitas
pendidikan di sana; teman-teman tak bisa sekolah secara normal, apalagi para
seminaris. Pohon pisang, pepaya, advokad, nenas, rambutan di kebun Sesado (yang
dulu biasa kami petik lalu sembunyi di semak-semak) pasti berubah warna menjadi putih karena abu
vulkanik Lewotobi. Semoga Lewotobi cepat membaik dan warga bisa beraktivitas
kembali.***
Post a Comment for "Mengenang Seminari Hokeng dan Gunung Lewotobi"
Komentar