Sehari Menjadi Orang Belobatang, Rasakan Tantangan Infrastruktur di Lembata
RakatNtt.com – Selain jalur menuju pantai Bobu dan Lerek, infrastruktur terparah lainnya yang saya rasakan sepanjang bertualang di Lembata ialah jalur menuju Desa Belobatang di Kecamatan Nubatukan – barangkali masih ada yang lain.
Awalnya saya berpikir bahwa
Belobatang masuk Kecamatan Nubatukan, berarti sudah pasti infrastrukturnya
tidak jauh berbeda dengan kota Lewoleba. Kesimpulan sementara tersebut ternyata
sangat meleset jauh, infrastruktur menuju Desa Belobatang ternyata masih banyak
titik yang amat parah. Namun, sebagiannya sudah dalam proses perbaikan sehingga
sedikit mempermudah akses menuju Desa yang terkenal potensial dengan tanaman
kemiri tersebut. Bayangkan saja, beberapa tahun sebelumnya ketika belum
tersentuh perbaikan, pasti parahnya minta ampun.
Bersama dua orang teman dari Dinas PMD, Iren dan
Arso, kami menembus medan yang menguji adrenalin tersebut demi menjalankan
program dari Dinas PMD tentang 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan. Saya diminta oleh
Dinas PMD sebagai pemateri untuk menggambarkan sedikit tentang 10 OPK.
Di tengah jalan, rasa putus asa mulai menghantui
semangat saya sebagai seorang yang bergiat di bidang budaya Lembata. Sebab,
akses jalan menuju Belobatang tak pernah terbayangkan dalam diri saya sebagai
jalan yang sangat parah. Di sebuah tikungan dengan jalan menurun tajam, motor
tak bisa melaju dengan lancar sebab jalannya sangat licin. Apalagi saya
mengendarai motor Blade yang umurnya
sudah tua. Ban motor terseret ke samping, uhh nafas mulai terganggu. Tepat disini
pula mulai muncul tanda tanya; apakah saya harus lanjut atau berhenti di tengah
jalan?
Walaupun demikian, tujuan mesti dicapai. Arso
dan Iren melaju pelan di depan saya. Arso terpaksa harus turun dari motor dan
berjalan kaki sampai di tempat rata. Iren mengendarai motor pelan-pelan dengan
kaki kiri harus tertikam di jalan untuk menopang motor. Akhirnya, tantangan
pertama ini terlewatkan. Sampai di tempat rata, kami beristirahat beberapa
menit sambil memandang jalur neraka tersebut lalu menggeleng-geleng kepala
pertanda heran – ternyata di Lembata masih ada jalur yang memprihatinkan. Di samping
kiri-kanan jalan, tampak para pekerja serius bekerja. Jasa mereka luar biasa.
Kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di
Desa Belobatang dan diterima oleh Kepala Desanya, bapak Paskal Udak beserta
masyarakat yang sudah ada di Kantor Desa menanti kedatangan kami.
Relevansi 10 OPK untuk
Masyarakat Desa
10 OPK yang dimaksudkan sebagaimana terdapat
dalam UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaaan ialah Bahasa, Adat
istiadat, ritus, permainan tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi
tradisional, seni, manuskrip, olahraga tradisional dan tradisi lisan. Pada kesempatan
ini, saya hanya menggambarkan beberapa OPK untuk direfleksikan bersama. Misalnya
kami bicara tentang pengetahuan tradisional, maka kami fokus berbicara tentang
obat tradisional dan pangan lokal.
Atau yang lain misalnya, kami bicara tentang
ritus, maka kami menekankan tentang pentingnya mentransfer makna ritus dari
orangtua kepada para pemuda. Hal ini juga ditekankan oleh Budi Kleden dalam
bukunya Teologi Terlibat (2003). Artinya, ritual yang ada di Belobatang tidak
boleh dijalankan hanya oleh generasi tua dan generasi muda menjadi pasif,
melainkan generasi tua mesti menjelaskan makna dari ritaul adat yang
dipraktikkan. Hal ini bertujaun sebagai ilmu tetapi juga supaya orang tidak
sembarangan mencap bahwa ritual adat adalah praktik keagamaan yang salah atau
berhala.
Selain 2 OPK itu, ada beberapa hal lain yang
dibahas untuk menggali potensi budaya yang ada di Belobatang. Tindak lanjut
dari kegiatan ini yakni penyusunan Dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa bersangkutan.
Antuasias warga cukup terbukti melalui kehadiran dan juga respons mereka
terhadap kegiatan tersebut dalam bentuk tanya jawab.
Sehari menjadi orang Belobatang, hal yang saya
rasakan adalah tantangan melewati jalur neraka. Namun, terlihat bahwa semangat
orang Belobatang dan sekitarnya tak pupus walaupun melewati jalur yang
memprihatinkan. Semoga proses perbaikan jalan cepat selesai agar akses bisa
lancar dan keadilan pembangunan di Lembata bisa merata. Setelah kegiatan ini,
kami pulang ke Lewoleba. Pikiran mulai kacau karena dihantui dengan jalur
neraka yang akan kami lewati sebelum tiba di Lewoleba.