Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Nasib Pangan Lokal Ubi Gembili dan Gembolo di Lembata, NTT

 


RakatNtt.com - Ubi merupakan salah satu jenis makanan lokal yang ada di kampung Hoba’matan, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Pada zaman lampau, ubi dijadikan sebagai makanan pokok oleh masyarakat setempat. 


Mama Peni Lawe, Warga Desa Mahal dan Ubi Gembolo


Oleh karena itu, di setiap kebun warga, selalu tersedia umbi-umbian. Masyarakat Hoba’matan merupakan salah satu komunitas adat yang terbagi atas beberapa suku kecil/klan yakni klan Orolaleng, Odel Wala, Umen Ebon, Botung raba, Peuuma, Peuobu’, Lobe’mato dan Hoba’matan. 

Secara administratif Pemerintahan Desa, masyarakat kampung Hoba’matan sudah terbagi menjadi dua Desa. Ada yang masuk Desa Mahal dan ada yang menjadi warga Desa Mahal II, Kecamatan Omesuri, Lembata, NTT. 

Pada bagian berikut, saya akan menjelaskan 2 jenis ubi di kampung Hoba’matan yakni aleu' au dan leu' yang juga tersebar hampir di seluruh wilayah Kedang dan Lembata secara umum. 

Ubi Gembolo (Aleu’ au)

Aleu’ au terdiri atas dua kata dalam bahasa Kedang, Lembata, yakni aleu’ (ubi) dan au. 

Berdasarkan referensi terpercaya, aleu’ au dalam bahasa Indonesia disebut ubi Gembolo (Discorea bulbifera). 

Ubi Gembolo disebut juga kentang udara, umbi udara dan kentang gantung karena batang tumbuhan ini juga bisa menghasilkan umbi. Tumbuhan gembolo merambat dan rambatannya berputar ke arah kanan.

Aleu’ au di Hoba’matan terdiri atas beberapa macam antara lain au lolon weri’ dan Lolon Rian (daun kecil dan besar). 

Ubi gembolo biasanya ditanam dan akan dipanen sekitar 7 bulan/satu tahun setelah ditanam. Cara menanamnya amat sederhana yakni memotong bagian ujung dari ubi gembolo – setengahnya untuk dimakan dan sisanya ditanam. 

Setelah dipanen, ubi ini bisa bertahan hingga berbulan-bulan lamanya. 

Intinya, saat dipanen atau digali, tofa atau parang tidak boleh melukai tubuh dari aleu’ au. Karena itu, seorang petani yang mau memanen ubi ini dibutuhkan kehati-hatian dan kesabaran penuh. 

Menurut para narasumber yakni Maria Nurak (62), Dominika Dorce (62) dan Peni Lawe (70), sudah terjadinya perubahan ukuran aleu’ au pada zaman dulu dan sekarang. 

Menurut pengakuan mereka, zaman sekarang ukuran aleu’au cenderung kecil dan rasanya tak senikmat seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Hal ini, menurut mereka disebabkan oleh Herbisida atau bahan kimia yang digunakan oleh para petani untuk mudah membasmi rumput liar di kebun. 

Walaupun mudah, tetapi dampaknya sangat terasa pada kesuburan tanah dan ubi. Walaupun demikian, keprihatinan itu tak pernah dieskpresikan kepada Pemerintah. Mereka hanya mengeluh dalam hati.

Pada sisi yang lain, mereka beranggapan bahwa ubi bisa habis intinya beras tetap ada. 

Pergeseran pola makan dari umbi-umbian kepada beras sudah amat terasa. Masyarakat bahkan lebih memuliakan beras dari pada ubi yang adalah makanan sejak dulu. Sekarang, beras sudah menjadi makanan pokok di kampung Hoba’matan.

Aleu' au



Ubi Gembili (Aleu’ Leu’)

Ubi Gembili (Dioscorea Esculenta) dalam bahasa Kedang disebut aleu’ leu’. Ubi ini masih banyak terdapat di kebun warga kampung Hoba’matan. 



Namun, sama seperti aleu’ au, ubi Gembili juga jarang dikonsumsi khususnya oleh anak-anak muda yang lebih berminat pada makanan instan. 

Aleu’ leu’ atau ubi gembili ini terdiri atas dua macam yakni leu’ mei’ dengan leu’ pole lapan. 

Perbedaannya dapat dilihat pada isi dan juga kulit. Kalau leu’ mei’, isinya lebih halus dan berkulit tipis sedangkan leu’ pole lapan sebaliknya berkulit lebih kasar dan isinya lebih keras.

Ubi gembili ini bisa direbus dan langsung dimakan tetapi ada yang dijadikan kolak atau dibakar. 

Dikutip dari manfaat.co.id, ubi gembili memiliki protein sebesar 1,5 gram, lemak: 0,1 gram, energi: 95 kilogram, karbohidrat: 22,4 gram, fosfor: 49 miligram, zat besi: 1 miligram, kalsium: 14 miligram, vitamin A: 0 IU, vitamin C: 4 miligram dan vitamin B1: 0,05 miligram. Hal lain yang perlu diketahui ialah ubi gembili dapat mengurangi kolesterol jahat dalam tubuh.

Walaupun kaya manfaat untuk tubuh manusia, tetap saja ada pemasalahan terkait dengan eksistensi ubi gembili.

Permasalahan yang ditemukan di lapangan terkait ubi gembili sama persis dengan ubi gembolo yakni warga mulai berpikir bahwa ubi merupakan makanan kelas bawah yang hanya dijadikan makanan sampingan. 

Lebih miris lagi, anak-anak muda merasa rendah diri atau malu jika mengonsumsi ubi di hadapan tamu atau menyuguhkan ubi kepada tamu yang datang dari kota.

Permasalahan lain menurut 3 orang narasumber di atas yakni penggunaan bahan kimia di kebun warga amat memengaruhi kesuburan tanah dan kualitas ubi gembili. 

Pertanyaan yang muncul; apakah Pemerintah Daerah dalam hal ini dinas terkait pernah memberikan sosialisasi tentang bahaya penggunaan atau dampak herbisida bagi kesuburan tanah dan ubi? Ataukah Pemda hanya mempromosikan hal-hal positif tentang manfaat bahan herbisida?


Catatan Penegasan

Dari dua hasil identifikasi terhadap ubi Gembolo dan gembili dapat dicatat beberapa hal yakni sebagai berikut:

1.  Keberadaan ubi gembili dan ubi Gembolo di Hoba’matan sudah mulai terancam kepunahannya.

2. Penggunaan bahan herbisida di satu sisi bermanfaat karena evektivitasnya tetapi pada sisi lain memberi dampak buruk bagi kesuburan tanah dan ubi.

3. Masyarakat tak pernah mengeluh secara terbuka terkait permasalahan tersebut apalagi pemerintah dikhawatirkan belum atau tidak akan pernah memberikan sosialisasi seimbang terhadap dampak positif dan negatif penggunaan bahan pestisida dalam relevansinya dengan pangan lokal ubi gembili dan ubi Gembolo di Hoba’matan. Pemerintah juga terkesan apatis atau tidak serius berbicara tentang permasalahan pangan  lokal.

4. Ubi dianggap sebagai makanan kelas bawah yang membuat orang tidak percaya diri atau merasa rendah diri kalau mengonsumsi ubi khususnya di hadapan tamu yang datang dari kota.

5. Ada harapan agar Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat adat berbicara tentang pangan lokal dari banyak sudut pandang.(RO)