Situs Kubur Putih Sagu Wowo di Kalikur Lembata Ungkap Kisah Masa Lalu
RakatNtt.com - Situs
kubur putih (kubur buya’) atau yang disebut dengan kubur Kapitan Kedang merupakan
salah satu situs bersejarah yang ada di Desa Kalikur. Menurut penutur sejarah
bapak Damra Dato, situs kubur putih ini merupakan makam dari Kapitan Kedang
yakni Sarabiti Musa yang berada di atas sebuah batu besar tepat di tanjung Sagu
Wowo yang kemudian memperindah pemandangan laut dan menambah kharismatiK Desa
Kalikur, Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata.
Dalam sejarahnya,
Kalikur merupakan pusat pemerintahan 44 kampung di Kedang. Leu Aliur (Desa
Kalikur) terdapat 6 suku yang pada masa lampau menjadi 6 temukang (kampung)
yang masing-masing kepala kampung dijabat oleh ketua-ketua suku. Enam suku
tersebut yakni suku Leutuang, Suku Leuwerung, Suku Dapubeang, Suku Hunaero,
Suku Marisa dan Suku Leuto'ang.
Dari kelima anak Lawe
Erung, anak kedua yakni Sarabiti Lawe menjadi Raja atau rian bara’ Awu’ Edang
(Tanah Kedang) karena sumber dayanya agak lebih baik dari kakak beradik
tersebut di atas. Beliau (Sarabiti Lawe)
lebih cakap dan belajar ilmu agama islam; tempat belajarnya adalah ujung
pandang (Makassar) dan buton, Bau-Bau. Setelah masuknya pemerintahan kolonial
belanda yang masuk ke Indonesia di pelabuhan banten (Tanah Jawa), pemerintahan
pada saat itu di Leu Awu’ Edang dengan Leu Aliur (Kalikur) sebagai pusat atau ibu
kota di bawah pemerintahan Sarabiti Lawe.
Sejak tahun 1602 Belanda
dengan VOC melancarkan ekspansinya dengan politik "DIVIDE ET IMPERA"
atau politik memecah belah dan menguasai. Selanjutnya, sekitar tahun 1800-an, terjadilah fitnah yang dilancarkan oleh VOC kepada raja
Adonara bahwa di Awu’ Edang atau tanah Kedang
hidup seorang raja yang bernama Sarabiti Lawe yang berdiri sendiri dengan tidak
memihak kepada timur ataupun barat.
Dengan segala strategi
yang licik dari VOC maka Raja Adonara mulai melakukan perluasan wilayah
kekuasaan dengan segala strateginya dengan mengundang Raja Sarabiti Lawe ke
Adonara lalu mempersuntingkan saudari perempuannya untuk dikawinkan kepada Raja
Sarabiti Lawe yang bernama MEME BOTA. Dengan demikian maka Raja Kedang dibawa
Raja Sarabiti Lawe secara otomatis menjadi bagian dari pada Raja Adonara dengan
sebutan KAPITAN (RIANG BARA).
Sebagai bukti pengakuan
Awu’ Edang menjadi bagian dari Raja Adonara maka lahirlah kalimat sakti
perpaduan wilayah antara Kalikur dan Adonara yang ditandai dengan memadukan
darah dan diminum bersama. Kalimat sakti tersebut adalah "LEU ALIUR AWU’
ADONARA". Kemudian Raja Sarabiti Lawe kawin dua orang istri dan melahirkan
dua orang anak diantaranya MUSA SARABITI dan BAPA LAWE SARABITI. Dan politik
memecah belah Belanda yang membuat BAPA LAWE SARABITI diasingkan ke Kupang
(Timor) sehingga dipanggil dengan nama BAPA KUPANG.
Kedua saudara tersebut
yakni Musa Sarabiti dan Lawe Sarabiti belajar di Makassar, Buton dan Bau Bau.
Setelah Bapa Lawe Sarabiti kembali dari Kupang terjadilah perdamaian antara
kedua saudara tersebut untuk saling mengakui. Pada tahun 1945 Awu’ Edang atau
tanah kedang diperintah oleh RIANG BARA yang membawahi 44 kampung yang berada
diseputaran gunung Uyelewun. (Husein
Ratuloli dan Muhammad Algazali)
Catatan Tambahan dari Admin: Dari tulisan ini sudah membuka tabir kekuasaan masa lalu yang bermula dari Sarabiti Lawe (Tercatat memerintah sekitar 1850-an, silahkan baca di google tentang Raja Arakian Kamba).
Namun, menjadi pertanyaan
kita, apakah pada masa Sarabiti Lawe, kekuasaan di seluruh Kedang sudah
terbentuk ataukah masih sebatas dalam kampung dan atau membawahi juga beberapa
kampung di sekitarnya?
Ingat bahwa sebelum
terbentuknya 44 kampung – menurut banyak sumber terjadi pada masa kekuasaan Sarabiti Musa (kubur putih) sekitar tahun 1920-an – di Kedang sudah ada lebih dari 44
kampung. Rincian singkatnya bahwa dahulu kala setiap suku atau klan sudah menamakan
dirinya kampung (suku leu) atau disebut Leu
nore naya Awu; nore uli’.
Dalam tulisan singkat
di atas pula, kita bisa ketahui bahwa dahulu di Kalikur sendiri terdapat
beberapa tamukung atau kampung dengan pemimpinnya masing-masing. Pada saat
pembentukan 44 kampung (sesuai dengan jumlah gading yang diserahkan kepada
Belanda), beberapa kampung yang berdekatan digabung menjadi satu.
Kisah perjuangan
kekuasaan untuk menjadi Rian Bara’ Kedang pada masa lalu penuh dengan dinamika
bahkan pertumpahan darah. Salah satu sebabnya tentu karena politik divide et
impera dari Belanda. Ingatlah, Kedang pernah dilanda banyak perang saudara
seperti misalnya perang arabau, perang garam, meo dan lain-lain.
Namun, jika kita
kembali merujuk pada kisah tutur dan pada teks singkat di atas dapat
diraba-raba kembali bahwa kekuasaan penuh Rian Bara’ Kedang yang membawahi 44
kampung menjadi tonggak awal kekuasaan penuh terhadap Kedang.
Kita juga ingat akan
kisah kematian Sili Laka, yang jika dirunut dari Silsilah barangkali terjadi
pada awal 1900-an. Justru setelah kematian Sili Laka, Rian Bara’ Sarabiti Musa (kubur
putih) menjadi gampang memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke bagian
pedalaman Kedang. Dari sepotong kisah ini saja, kita bisa ketahui bahwa sebelum
kematian Sili Laka, Kedang secara utuh belum memiliki satu pemimpin tunggal. Menurut
saya pemimpin tunggal yang membawahi Kedang bermula dari Sarabiti Musa, usai
kematian Sili Laka. Sebab pada tahun-tahun sebelumnya, masih terjadi banyak
dinamika bahkan pertumpahan darah.
Mengapa Belanda harus
masuk lewat Kalikur? Jawaban yang mungkin benar karena Kalikur tempo dulu
adalah tempat perdagangan. Belanda VOC identik dengan perdagangan. Selain itu,
beberapa leluhur kalikur juga sudah mendapat pendidikan di luar Kedang. Hal
seperti inilah yang membuat Belanda mencari strategi untuk bisa meluluhkan hati
para leluhur Kedang di kampung Kalikur masa itu.
Seandainya tidak ada
intervensi Sagu dan Belanda, barangkali tak ada perang saudara hanya untuk
merebut kekuasaan di Kedang.
Akhirnya yang harus kita ingat, menelusuri sejarah
kekuasaan atau pemerintahan tradisional di Kedang memang amat rumit karena
terdapat variasi versi. Namun, saya sendiri – merujuk pada banyak kisah tutur –
bisa jadi kekuasaan sebelum Sarabiti Musa belum menjangkau seluruh Kedang secara utuh karena
pada waktu itu, bagian pedalaman (Leuhapu-Leutoher dan Demong 10 kampung) masih berada di bawah kendali Sili Laka yang
kemudian pecahlah perang Kerbau.
Mari kita meneliti
terus, menggali kisah masa lalu bukan untuk diperdebatkan melainkan untuk
memetik makna positif untuk hidup di masa kini. (Admin: Rian Odel)
Sedikit koreksi ame,,,wilayah pedalaman TDK semua di kuasai ole sililaka
ReplyDeleteLeuhapu-Leutoher ditambah dengan demong 10 kampung e, klo tidak salah
DeleteArtinya sebelum terbentuknya 44 kampung, terdapat beberapa pemimpin yang berjuang untuk jadi nomor satu. Ada sili laka, ohaq rahaq dan dari kalikur
DeleteDitunggu Episode selanjutnya Sejarah Perang Arabu, Perang Garam, Perang Meo. Gali terus sejarah Kedang untk Generasi mendatang.
ReplyDeleteSiap. Terimakasih
Delete