Mengenal 5 Jenis Lapa’ Tarang, Batu Sakral dalam Kepercayaan Orang Kedang, Lembata
RakatNtt.com – Batu merupakan simbol kekuatan. Rumah yang dibangun di atas batu pasti terkenal kokoh dan kuat. Konsep seperti ini pula yang dimaknai dalam kepercayaan lokal orang Kedang di Kabupaten Lembata, NTT.
Ilustrasi lapa' tarang, batu sakral dalam kepercayaan orang Kedang |
Dalam
kepercayaan lokal mereka, diketahui bahwa setiap kali diadakan sebuah ritual
sakral, batu merupakan benda yang selalu diandalkan. Batu yang dimaksudkan sering
disebut sebagai Lapa’ Tarang (batu
berbentuk ceper). Lapa’ barangkali
berasal dari kata lapa “memangku”
bermakna melindungi dan Tarang
berarti “yang paling kuat”, maka dalam bahasa keseharian orang Kedang dikenal
ada sebutan Lere Tarang “Paling Kuat”.
Maka dapat disimpulkan bahwa Frasa Lapa’
Tarang bisa berarti “batu yang paling kuat menopang dan melindungi/fondasi.”
RakatNtt
kembali menyuguhkan kepada pembaca sekalian informasi tentang Lapa’ Tarang dalam kepercayaan lokal
orang Kedang.
Bagi
orang Kedang yang masih memercayai kebenaran dari warisan leluhur terkait
batu-batu sakral pasti selalu melakukan ritual adat di kampung lama (Leutuan) –
bagi yang tak memercayainya pasti menganggapnya sebagai kepercayaan sia-sia
belaka.
Di dalam
area pusat dari kampung lama biasanya terdapat beberapa Lapa’ Tarang yakni Lapa’
Suku, Lapa’ Koda, Lapa’ Mi’er, Lapa’ Wowo Toye’ dan Lapa’ Uhe.
Berikut
penjelasan singkat dari 5 jenis Lapa’ Tarang tersebut
Lapa’ Suku
Ibarat
Fondasi Rumah, lapa’ suku adalah
kekuatan dasar berdirinya sebuah suku
atau klan di Kedang. Tanpa lapa’ suku,
klan bersangkutan dianggap tak memiliki dasar atau disebut bao – mengapung begitu
saja atau tidak tetap.
Lapa’ suku
terletak di pusat kampung lama atau Leutuan. Jika ada ritual-ritual besar di
dalam suku bersangkutan, maka biasanya akan diadakan di Lapa’ suku; darah ayam atau tuak putih mesti diteteskan pada lapa’ suku. Ritual tersebut misalnya Poan Keu Leu, Poan wating huna dan masih banyak lagi.
Lapa’ Koda
Jika
sudah ada lapa’ suku, maka otomatis
harus ada lapa’ koda. Lapa’ suku dan koda adalah dua batu sakral yang wajib dimiliki oleh suku-suku yang
secara garis keturunan bermula dari moyang Uyolewun. Menurut sejarahnya, lapa’ koda dibawa dari puncak Uyolewun
oleh moyang yang mendirikan suku tersebut.
Pada
mulanya, di puncak gunung Uyelewun, moyang orang Kedang hanya memiliki satu lapa’ koda atau lapa’ taran (batu tua) tetapi sejak proses migrasi maka
masing-masing leluhur yang berpencar wajib membawa lapa’ kodanya sendiri (kaban be oro’ laleng, dongo’ be obi lolo’).
Ketika
moyang bersangkutan menemukan sebuah wilayah aman dan berkomitmen untuk menetap
di wilayah tersebut (awu’ werun) dan mendirikan sukunya sendiri, maka ia akan
meletakkan lapa’ koda di wilayah
tersebut; biasanya diletakkan di bawah pohon rita (pating be ite koda-tilo
kiing pating manga).
Lapa’ Uhe
Lapa’ Uhe
akan mengungkap relasi manusia (suku) dengan kekuatan bawah tanah (uhe awu’,
uhe ria ara bara’, uhe ara niku niwang). Biasanya, ritual sakral akan diadakan
di Lapa’ uhe jika anggota suku
bersangkutan bersepakat untuk memberi makan ibu bumi yang telah memberikan
hasil alam yang melimpah (iu uhe bei ara).
Lapa’ Wowo Toye’
Wibawa
sebagai seorang pembicara adat yang disegani, maka suku bersangkutan mesti
memiliki lapa’ wowo toye’ (batu yang
memberi simbol kekuatan berbicara/ wowo
pana hunga lati – tapi mesti
dibedakan dengan istilah wowo ria
yang bisa juga memberi makna negatif misalnya orang sombong, suka mengklaim
tanpa dasar, suka memanipulsi kebenaran sejarah dll).
Lapa’ wowo toye’
dalam sebuah suku biasanya dijaga oleh aman meker atau aman aya’ (pewaris kesulungan suku atau yang kedua dari sulung). Maka
yang menjaga lapa’ wowo toye’ wajib merawatnya dan jika ada
ritual maka bisa dilakukan di lapa wowo
toye’.
Lapa’ Mi’er
Yang
terakhir yakni lapa’ mi’er, batu yang
menjadi simbol kekuatan suku pada bidang keamanan atau bala tentara (mi’er
renga/panglima perang penjaga suku). Jika suku bersangkutan sedang dalam bahaya
peperangan (nu atan ai ramu’), maka bisa dilakukan ritual di lapa’ mi’er memohon bantuan mi’er renga (panglima perang dalam wujud
lain, misalnya binatang buas) untuk turut serta membantu laki-laki suku
menghadapi musuh.
Mi’er renga deye’ derung atau panglima perang dalam kepercayaan lokal orang Kedang
hadir dalam rupa-rupa wujud misalnya burung-burung di udara, binatang malata,
binatang buas, anjing, atau dalam wujud manusia bertubuh raksasa dengan telapak
kaki menyeruapai gajah. Demikian, mohon maaf jika ada yang salah. (RO)