KOMODIFIKASI SENI DAN JALAN TERJAL ESTETIKA (Catatan Lepas untuk Pergelaran Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa oleh SMAS Frater Don Bosco Lewoleba)
Defri Ngo, staf pengajar pada SMAK santo Yakobus Rasul Lewoleba |
Prolog
Ekosistem seni di Lembata mengalami perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu. Dalam setahun terakhir, para pegiat seni dari berbagai kelompok dengan rutin melaksanakan pentas teater, monolog dan deklamasi puisi, serta berbagai perhelatan lain. Pada bulan Oktober 2022, misalnya SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba mengadakan sebuah pementasan teater berjudul Chaos. Empat bulan berselang, tepatnya pada tanggal 03 Februari 2023, komunitas Teater Suara Lembata pernah memerankan sebuah lakon berjudul Rumah Kosong. Lakon ini disusun oleh Rinto Djaga, mahasiswa IFTK Ledalero dan calon imam dioses Keuskupan Larantuka. Terakhir, SMAS Frateran Don Bosco Lewoleba pada tanggal 01 April 2023 yang lalu menggelar sebuah pementasan berjudul Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa. Pementasan tersebut dibalut dalam suatu rangkaian acara dengan pameran kewirausahaan dan gelar karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Saya akan memberikan catatan terkait model pementasan terakhir sambil mengajukan alternatif pikiran untuk perbaikan orientasi berkesenian di Lembata pada masa depan.
Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa
Promotor utama penyelenggaraan kegiatan Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa adalah SMAS Frater Don Bosco Lewoleba. Kegiatan berpusat di aula sekolah dan melibatkan semua peserta didik, tenaga pengajar, tamu undangan dan sejumlah stakeholder. Dalam undangan tertulis yang disebarkan panitia, kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menyukseskan ujian akhir bagi para peserta didik kelas XII. Mereka diminta untuk menunjukkan kreativitasnya dalam berkesenian dan berkewirausahaan. Semua ditampilkan secara serempak dalam ruangan yang sama. Bagi hadirin yang terbiasa dengan model pementasan tunggal, konsep acara yang dirancang oleh panitia tampaknya hanya menjadi hiburan semata. Ia menjadi seperti bazzar yang menyajikan kuliner, barang kerajinan dan pameran yang murah meriah. Hadirin sulit menangkap makna dari masing-masing acara karena ketiadaan fokus pada satu mata acara tertentu.
Desain acara yang terlampau “sesak” diperparah dengan minimnya sarana pendukung. Kata-kata yang disampaikan oleh para pelakon teater, misalnya tidak dapat didengarkan dengan jelas oleh hadirin karena ketiadaan alat pengeras suara. Panggung yang semula dihuni oleh sejumlah pelakon hanya menjadi kerumunan massa tanpa arah dan tujuan. Situasi ini semakin tidak karuan karena fokus hadirin terbagi: antara hendak menyaksikan teater, membeli kuliner, atau justru memilih berfoto ria pada stand-stand yang disiapkan panitia. Persoalan tersebut, entah disadari atau tidak justru berpengaruh besar pada orientasi kita dalam memahami maksud kegiatan. Orang boleh jadi akan berpandangan bahwa teater merupakan aktivitas rekreatif yang murah meriah. Ia memiliki nilai yang sama dengan kuliner dan jasa sewa foto yang disiapkan panitia. Jika persoalan ini tidak segera diatasi, maka panitia memiliki tanggungjawab moril untuk meluruskan pemahaman peserta didik terkait esensi teater.
Sebagai hadirin, saya berani mengatakan bahwa kegiatan Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa sesungguhnya cacat secara konseptual. Selain disebabkan oleh desain acara yang “sesak”, panitia juga menyangkali tema utama kegiatan. Istilah kreasi (Latin: creare) yang dimaksudkan panitia dalam tema menunjuk pada daya cipta para peserta didik terhadap sebuah objek. Kreasi selalu lahir dari kebebasan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Dalam konteks kesusatraan, proses kreatif biasanya dimulai dari perjumpaan penulis dengan suatu pengalaman tertentu yang kemudian dikemas dalam bahasa. Ia menggunakan imajinasinya sendiri untuk menciptakan, menghidupkan dan membangun sebuah kerangka berpikir tentang objek kajian. Hal yang berbeda justru dibuat oleh panitia penyelenggara. Alih-alih menghendaki proses kreatif, panitia justru membiarkan para siswa meniru hasil karya orang lain untuk dipentaskan di hadapan publik.
Naskah “Rumah Kosong” yang dibawahkan oleh peserta didik kelas XII IPS 1, misalnya merupakan garapan dari Rinto Djaga yang pernah dipentaskan oleh Teater Suara Lembata. Secara singkat, naskah tersebut berisi pergulatan hidup sebuah keluarga yang terhimpit oleh persoalan ekonomi. Situasi demikian mendesak seorang wanita yang berperan sebagai ibu untuk merantau. Namun, nasib naas justru terjadi. Ia dikabarkan meninggal dunia. Jasadnya dibawah pulang ke kampung halaman. Isak tangis mendera anak dan anggota keluarga yang ditinggalkan. Dalam situasi dilematis seperti ini, Rinto melalui “Rumah Kosong” hendak menggambarkan sisi lain dari kehidupan merantau yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai jalan keluar untuk menjawabi persoalan ekonomi. Perantauan bagi Rinto dapat memberikan dampak negatif yang membahayakan hidup manusia. Perantauan tidak saja menyebabkan “kosongnya situasi rumah”, tetapi “hilangnya kehidupan”.
Cuplikan adegan “Rumah Kosong” yang dipentaskan oleh peserta didik kelas XII IPS 1 memiliki keserupaan dengan pementasan yang pernah dibuat oleh Teater Suara. Gestur tubuh, vokal suara dan eskpresi wajah memiliki kemiripan. Bahkan, kostum sebagai materi yang bisa berubah di atas panggung pentas juga meniru jenis kostum yang pernah dipakai para pelakon Teater Suara. Saya berpikir, tidak ada sesuatu yang baru dan adaptif dari model pementasan yang dibuat oleh peserta didik kelas XII IPS 1. Mereka mengambil seluruh format dan model pementasan yang dibuat oleh Teater Suara. Pertanyaannya, apa bentuk kreativitas yang mereka buat? apakah memainkan lakon yang sama dengan model pementasan yang juga sama masih bisa disebut kreatif?
Komodifikasi Seni
Catatan saya pada bagian terdahulu akan ditambahkan dengan ide seputar komodifikasi seni. Bagi saya, seluruh rangkaian acara yang diselenggarakan oleh panitia kegiatan akan berimbas pada kenyataan tentang adanya mekanisme komodifikasi seni. Theodor W. Adorno (1903-1969), pemikir dari Mazhab Frankfurt memperkenalkan istilah komodifikasi seni dalam kaitannya dengan kecenderungan modernisme untuk “membendakan” (reifikasi) seni. Dalam bahasa Jerman, reifikasi (Versachlicung) secara literel berarti “objektifikasi”, yakni aktivitas mengobjekkan sesuatu seolah-olah mereka mempunyai eksistensi dan kemampuan manusiawi padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian (Sungkar, 2022:43). Adorno melihat bahwa pencerahan yang dibawah oleh modernisme justru memberi dampak negatif terhadap perkembangan seni. Orang tidak lagi memandang seni dalam otonominya yang luhur, tetapi telah menjadi benda yang diperjualbelikkan dengan murah.
Dalam bukunya berjudul Aesthetic Theory, Adorno (1997:1) menyebutkan bahwa di tengah cengkraman kapitalisme, seni cenderung diperlakukan secara salah. Orang menggunakan seni semata-mata untuk meraup keuntungan. Seni hanya menjadi hiburan yang memiliki nilai jual ekonomis. Keuntungan diperoleh kapitalis, tetapi derajat seni kehilangan maknanya yang benar. Konsep komodifikasi seni yang dibangun Adorno memiliki implikasi rasional-moral. Orang dituntut untuk menghargai kreativitas individu yang telah menciptakan karya seni serempak pula berpartisipasi secara serius untuk menghasilkan sebuah karya. Dengan konsep tentang komidifikasi seni, Adorno sesungguhnya sedang mengutuk keras perilaku masyarakat yang menggunakan seni sebagai media untuk mencari keuntungan.
Jika kita menggunakan konsep komodifikasi seni Adorno, maka terdapat setidaknya dua hal yang perlu dikritisi dari kegiatan Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa. Pertama, reduksi nilai seni. Proses reduksi telah dimulai oleh panitia dengan melakukan objektivikasi terhadap seni. Mereka menjadikan seni sebagai “dagangan” untuk memuaskan libido penonton dan penyelenggara kegiatan. Seni menjadi hiburan untuk mengisi ruang kosong kuliner dan jasa foto. Lakon dipentaskan dihadapan undangan yang entah “nonton tak nonton”, “suka tak suka”, “mengerti tak mengerti” diharuskan untuk memenuhi lokasi kegiatan. Hadirin yang kembali ke rumah hanya membawah kesan meriah, heboh dan ramai tanpa ada sedimentasi terhadap isi teater. Adorno sendiri mengkritisi kecenderungan ini sebab baginya seni harus sampai pada realitas dan membawah perubahan dalam hidup masyarakat. Dengan kata lain, jika seni hanya menjadi hiburan semata, ia sesungguhnya telah menjumpai ajalnya sendiri.
Kedua, matinya kreativitas. Komodifikasi seni berdampak lebih lanjut pada matinya daya cipta individu. Dalam Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa, matinya kreativitas ditandai dengan adanya okupasi terhadap lakon “Rumah Kosong” yang dipentaskan oleh Teater Suara. Naskah tersebut dipakai tanpa adanya proses adaptasi yang kontekstual dengan situasi. Para siswa tidak diajar tentang cara membaca, menerjemahkan, dan merekonstruksi maksud naskah. Mereka menjadi seperti “kerbau” yang diminta untuk tunduk terhadap pakem yang ditetapkan oleh penulis naskah atau keinginan sesat para guru pendamping. Ketaatan buta para peserta didik tentu menyulitkan mereka untuk memahami entitas seni, berikut orientasinya bagi pribadi dan publik luas. Jika demikian jadinya, bagaimana nasib estetika sebagai basis seni?
Jalan Terjal Estetika
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (2005) mendefinisikan estetika sebagai cabang filsafat yang bertugas menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Konsep estetika mulai dikenal luas sejak zaman Yunani Kuno dan memperoleh tempat istimewa pada periode filsafat romantisme. Meskipun demikian, para pemikir modernisme seperti Kant dan Hegel juga seringkali berbicara tentang estetika. Kontribusi Kant pada tradisi estetika, misalnya terletak pada gagasannya tentang kritik transendental. Dalam buku berjudul Critique of Judgment, Kant (1952:15) mengungkapkan bahwa penilaian merupakan fakultas pengetahuan yang tak lekang oleh waktu. Ia berfungsi sebagai kemampuan untuk berpikir partikular seperti yang terkandung dalam sesuatu yang universal. Ketika kita menilai suatu bentuk keindahan, kita akan mencari standar keseluruhan secara sendiri (apriori), dan kekuatan penilaian estetis mengesahkan penilaian bahwa sesuatu itu indah atau tidak (Sungkar, 2022: 45).
Gagasan Kant tentang estetika berhubungan erat dengan orientasinya untuk menempatkan rasionalisme sebagai lokus utama pengetahuan. Kant ingin berbicara tentang pentingnya pikiran manusia dalam menilai seni dan keindahan. Sebagai sesuatu yang bersifat terberi, seni dan keindahan lahir dari sebuah universalitas. Tugas manusia kini adalah menarik nilai-nilai partikular yang berguna bagi kehidupan dan masa depannya sendiri. Berbeda pandang dengan Kant yang mengedepankan aspek subjektivitas, Hegel justru menghendaki adanya model penilaian yang bersifat objektif. Estetika tidak boleh dinilai berdasarkan selera (taste) pribadi, tetapi perlu menggunakan pertimbangan-pertimbangan objektif-ilmiah. Pengetahuan terhadap sejarah, dinamika, dan konsep seni harus menjadi kebutuhan yang dipenuhi individu ketika berhadapan dengan penilaian estetik.
Perbedaan gagasan tentang estetika oleh Kant dan Hegel lalu dipelajari oleh Adorno untuk membuat semacam “jembatan penghubung” yang mentematisasi makna estetika. Ia membangun dialektika untuk menjembatani sifat estetika yang partikular dan universal di satu pihak atau estetika yang subjektif dan objektif di pihak lain. Tesis utama Adorno menyebutkan bahwa estetika harus dikembalikan kepada seni itu sendiri dan tidak boleh ada konsep-konsep lain dari luar yang mencampuri dunia seni (Sungkar, 2022: 54). Seni harus otonom. Ia menjauhkan dirinya dari segala bentuk kepentingan ekonomis individu. Otonomi seni menghendaki agar seni memiliki posisinya sendiri terhadap individu. Dengan pemahaman demikian, estetika harus membiasakan dirinya berorientasi pada proses karena hal itu lebih mencerminkan “realitas-menjadi” yang terpecah-pecah (Sungkar, 2022:55).
Bertolak dari gagasan yang disampaikan Adorno, terdapat setidaknya dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami estetika. Pertama, estetika hidup dalam dialektika yang seimbang antara subjek-objek. Kedua, estetika akan menjumpai jalan terjal kalau tidak melalui proses kreatif yang benar. Jika terhadap yang pertama, Adorno menghendaki hubungan yang relasional antara individu yang memahami seni dan seni per se seni, maka terhadap yang kedua, Adorno justru menitikberatkan pada aspek proses. Seni yang benar tidak lahir dari selera individu semata, tetapi hidup dalam sebuah proses yang berkelanjutan. Aktivitas seni menghendaki agar setiap individu mampu secara tekun melihat, merasakan, mempelajari, dan menciptakan sesuatu. Hal itu berarti bahwa individu dituntut untuk terbuka terhadap dinamika relasional antara dirinya sendiri dan lingkungan, serta dirinya dengan hasil karyanya sendiri. Lalu, bagaimana nasib Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa?
Penutup
Kegiatan Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa belum selesai. Ia menyimpan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh panitia penyelenggara dan semua individu yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Catatan lepas yang dibuat penulis boleh jadi hanya merupakan nukilan yang sekali-kali hilang dari hadapan pembaca. Namun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa panitia perlu memperhatikan secara benar orientasi dan konsep utama kegiatan. Seni secara lebih khusus harus diakui otonominya agar kita tidak semena-mena mencampurinya dengan aktivitas kewirausahaan lain. Selain menyebabkan hilangnya fokus terhadap maksud pementasan, aktivitas mencampuri urusan kesenian dengan kewirausahaan hanya berdampak pada hilangnya esensi seni. Pertanyaannya, apakah kita bersedia menjadi generasi yang salah mewariskan pemahaman kepada anak-anak kita kelak?
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor. (1997). Aesthetic Theory. Terj. Robert Hullot-Kentor. USA: Continuum, University of Minnesota.
Kant, Immanuel. (1952). Critique of Judgment. Oxford: Oxford University Press.
Sungkar, Syakieb. (2022). Seni Sebagai Pembebasan: Sebuah Telaah tentang Estetika Adorno. Yogyakarta: Penerbit Circa.
Tulisan ini bukan mengandung kritikan tapi keiri hatian....kita tau bahwa konsep teater seperti apa n pameran projek sja seperti apa...pahami dulu apa yg dituliskan ...Bara suara siswa n pameran projek siswa....jadi semuanya berjalan satu kali ,,,TDK masalah org mau menonton sambil menikmati hasil projek...toh ini adalah konsepnya kmi....tarik Ama punya bahasa yg bilang cacat tu..tarikkkkkk
ReplyDeleteAma buat tulisan baru untuk kita terbitkan di rakatntt,, ayo
DeleteLalu kenapa yg anda highlight hanya IPS I? Kan banyak yang lain..
ReplyDeleteAma, silahkan buat tulisan sebagai pembanding,, ini dunia pendidikan,, mesti ada diskursus melalui tulisan. Itu baru jos,, rakatntt tunggu tulisan anda ya
Delete
ReplyDeleteJoss..keren..kritik yang bersifat konstruktif dan refleksif untuk tiap pembaca.
Seni punya nilai yang sangat tinggi. Meski kadang juga harus diakui bahwa seni bisa mensejahterakan pelaku seni jika ditinjau dari sisi ekonomis. Dengan kata lain, seni setidaknya harus memberi kehidupan bagi pelaku seni agar seni itu tetap hidup. Hanya mungkin caranya itu yg harus lebih etis๐
Terimakasih om wartawan dan bloger i love ntt๐
DeleteSaya sependapat dengan penulis, namun satu hal yang penulis mesti tau bahwa kegiatan yg diselenggarakan sebenarnya bukan pementasan namun menampilkan hasil ujian. Mungkin ini pendapat saya✊✊
ReplyDeleteSingkat padat dan jelas๐
DeleteIri ee
ReplyDeleteDampak negatif yang dapat mempengaruhi hidup manusia itu seperti apa pak? Mohon dijelaskan secara detail.
ReplyDeleteTeater rumah kosong yang dibawakan tentunya memiliki nilai dan makna yang positif pak
Trimakasih buat kritikan yang bapak berikan๐
Punya Hak Bersuara Hanya Tidak Mampu Menghargai
ReplyDeleteBagi saya, catatan Deff ini merupakan suatu catatan penting bagi perkembangan aktivitas kesenian di lingkungan SMAS Frater Don Bosco Lewoleba.
ReplyDeletesantuy aja bro... Inikan dlm rangka p5 itu jd nikmati sj sesuai selera masing-masing... kl keg ini dilaksanakan oleh SMK kesenian atau yg sejenisnya atau sanggar seni maka komentar anda sy beri ๐๐๐๐ tp inikn dlm rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan..para siswa & guru sudah berjuang keras dg segala kemampuan mereka yg terbatas jd kita hargai semua jerih payah mereka itu. gak perlu bawa2 filsafat segala macam,capek deh aku bacanya..puyeng...seni itu harus bisa menghibur penikmatnya jg menghidupi pelaku seninya..soal nilai pesan yg disampaikan tergantung respon masing-masing penikmat sih..yg jelas untuk ukuran lewoleba aku cukup terhibur btw jd pengamat itu selalu benar semua, sampai jumpa thn depan
ReplyDeleteSalam santun,, selamat pesta paskah
Deletemantap guru
ReplyDelete