Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Berburu Keindahan di Pantai Bobu dan Jatuh Bangun Melewati Jalur Neraka

Jembatan alam pantai Bobu di Kabupaten Lembata, NTT
Rakatntt.com – Seperti jalur neraka; begitulah yang dapat diibaratkan tatkala mengadakan perjalanan menuju pantai Bobu di kampung Dangalangu, Desa Lamalela, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perjalanan panjang dan melelahkan ini, membutuhkan keberanian dan mental baja. Sebab, medan jalan menuju pantai Bobu sebagian besarnya masih amat rusak; lubang menganga di segala sudut.

“Prakk.” Motor Mega Pro yang kami tumpangi jatuh terseret. Beberapa bagian tubuh motor lecet, spakbor bagian depan pecah dan terlihat Eman Lengary, sang pengendara motor yang selalu tampil percaya diri ibarat superhero itu gugup ketakutan.

Saya yang duduk manis di belakang sambil bertanya banyak hal sontak diam tak berdaya. Kisah ini terukir pada Rabu, 22 Februari 2023.

Walaupun nyawa tak terancam tapi peristiwa tak terduga ini masih membekas dalam diari kenangan perjalanan. Cerita lengkapnya sebagai berikut.

Ke Bobu Tak Seindah Harapan

Sebelumnya, kami menikmati jalan mulus sepotong-sepotong  yang dibangun menggunakan dana PEN. Mendaki bukit setelah melewati Lerahinga, perjalanan masih baik-baik saja; ada pemandangan gunung Ileape dan Boleng yang bersembunyi di balik Ileape; ada tanjung Nuha Nera dan panorama laut biru yang tenang dan memesona terlihat di bagian utara.

Pada puncak bukit yang tak tahu nama lengkapnya, saya dan Eman Lengary memotret pemandangan alam yang indah sambil berdiskusi tentang beberapa kampung di wilayah pedalaman Lebatukan yang masih jauh dari sentuhan kesejahteraan, khususnya infrastruktur jalan.

Menurut Eman Lengary, berdasarakan tuturan para tetua, terdapat enam kampung berpenghuni yakni Lebelang, Besei, Benalar, Hidalabi, Dangalangu dan Ilowutung. Warga penghuni 6 kampung ini disebut orang-orang Lamatuka. Dalam kisah tutur, leluhur orang-orang Lamatuka berasal dari Lepan Batan dan mengadakan migrasi ke Lembata hingga tiba di pesisir pantai Wainere, sekitar belasan Kilo di sebelah barat pantai Bobu. 

Kemudian, dari pantai Wainere, nenek moyang orang Lamatuka melewati sebuah lubang atau terowongan alam bawah tanah dan keluar di puncak bukit Nuba yang hingga kini dijadikan sebagai tempat sakral oleh orang-orang Lamatuka. Demikian sekilas cerita sejarah masa lalu. Mari kita berjalan terus ke Bobu.

Setelah melewati kampung Ilowutung di Desa Lamalela, kami menyinggahi kampung Dangalangu. Secara administratif, kampung ini merupakan salah satu dusun kecil yang masuk dalam lingkaran wilayah Desa Lamalela. 

Harapan untuk menikmati jalan hotmix tak seindah kenyataan saat melewati jalur menuju pantai Bobu. Memang sebagian jalur menuju wilayah ini sudah mendapat sentuhan dana PEN, khususnya dari Lerahinga ke Ilowutung, Desa lamalela. Namun, secara kualitas amat memprihatinkan. Jalan dibangun tanpa drainase sehingga jalur banjir masuk ke badan jalan; sebagian tubuh jalan sudah pecah-pecah bahkan berpotensi rusak berat dalam waktu-waktu mendatang.

Khusus untuk akses jalan dari Ilowutung ke Dangalangu dan Bobu sama sekali belum mendapat sentuhan dari dana PEN. 

Bahkan beberapa titik jalan dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat karena lelah menunggu sentuhan Pemerintah yang tak kunjung tiba.

Menurut Kepdes Lamalela, Rafael Kupang Lengary, sejak awal ia meragukan kualitas jalan. Sebab material batu dan pasir, menurutnya tak layak. Keluhan semacam ini sudah disampaikan kepada DPR dan pihak ke tiga tetapi tidak ada tanggapan.

“Mungkin karena jumlah pemilih atau DPT di daerah kami sedikit jadi perhatian Pemerintah terhadap kami selalu terlambat,” ungkap Eman Lengary.





Di Bobu, Ada Pelabuhan Alam

Hujan yang jatuh perlahan sempat membunuh harapan kami menuju pantai Bobu. Namun, karena sudah basah, perjalanan mesti dilanjutkan. Rindu untuk melihat langsung panorama alam Bobu, akhirnya tercapai.

Sebagai orang baru, saya mesti mendapat “izin” dari tuan tanah wilayah tersebut atau semacam beri restu agar perjalanan ini tidak membawa cerita miring. Dahi saya dioles dengan tanah berbentuk salib.

“Ini bagian dari Rabu Abu versi adat, hehe,” kataku pada Eman Lengary. Rasa percaya diri semakin memuncak. Kami pun tiba di Bobu. Pemandangan alam yang luar biasa ini sulit dilukiskan dengan logika kata-kata. Pokoknya wah!

Jembatan alam itu benar-benar seperti masuk dalam kehidupan dongeng para dewa. Ada terowongan alam yang terlihat mirip seperti hasil karya tukang banguanan hebat. Ini asli, luar biasa!

Pada sebuah sudut, terlihat dua orang yang adalah suami-istri sedang asyik memburu ikan laut Sawu. Laut yang indah, membuat kami berat untuk melangkan kaki pulang ke Lewoleba, Kota penuh masalah, mulai dari BBM, lampu jalan yang tak bercahaya yang seringkali membuat pengendara motor kecelakaan malam hari karena menambrak anjing-anjing milik warga Lewoleba yang bebeas tidur di badan jalan, beras yang kian mencekik leher ibu dapur, perdebatan politik ibarat orang kerasukan setan dan masih banyak tetek bengek persoalan sosial-politik lainnya.

Lubang batu berbentuk love

Bencana Waiteba dan Kuburan Massal

Setelah memuaskan mata, kami beranjak pulang ke Lewoleba. Pada sautu tempat yang tak jauh dari pantai Bobu, terdapat sebuah kuburan massal korban bencana alam yang berpusat di Waiteba sekitar tahun 1979-an. Dari semua korban, yang terdata pada tempat kuburan massal itu sebanyak 50 orang.

“Ini yang terdata, masih banyak yang hilang tak ditemukan,” jelas Eman Lengary, mantan Frater SVD yang suka pada penelitian antropologi dan suka sekali membanggakan kampung halamannya pada orang baru seperti saya, hehe.




Setelah menyinggahi kuburan tersebut, kami mengunjungi lagi keluarga dari Eman Lengary yang setia menjaga pondok, memasak arak dan mengiris tuak. Kami disuguhi tuak putih sebagai penambah daya keberanian mengalahkan kerasnya jalan rusak dari Bobu menuju Ilowutung dan seterusnya pulang ke Lewoleba. (Rian Odel)