Baca! Perempuan, Media Sosial, Kaum Berjubah
Oleh Helena L. Beraf (sumber foto Facebook) |
Rakatntt.com - Akhir-akhir ini, saya melihat banyak sekali postingan, tulisan dari penulis-penulis muda, (mereka yang gemar menulis) di wall facebook. Memang, menulis puisi, cerpen, bahkan membuat buku di era sekarang tak lagi sulit seperti zaman dulu.
Ketersediaan informasi, teknologi membuatnya menjadi mudah. Guru
saya pernah cerita, penulis zaman dulu itu militan. Mereka berlatih tiap hari,
membaca banyak buku dan tidak cepat puas dengan hasil. Sebuah refleksi bagus
untuk saya yang juga mencintai dunia tulis menulis.
Tapi itu bukan point yg ingin saya sentil. Ada sesuatu yang
mungkin "cukup sensitif" saya lihat di beranda facebook akhir-akhir
ini. Banyak bertebaran tulisan baik itu dalam bentuk puisi, cerita pendek dan
lain-lain yang kurang lebih menceritakan tentang romantisme, rasa kagum yang
menjurus ke cinta, rasa suka dengan kaum berjubah (khususnya mereka yang sedang
sekolah meniti panggilan).
Celaka. Tak segan-segan secara terang-terangan perempuan menulis
surat cinta (entahlah, mungkin saja imajinasinya yang sangat kaya) untuk
seseorang frater di biara. Atau menuliskan kisah romantis dengan seseorang yang
sering ia temui di kapela dan sebagainya. Pertanyaannya, ini imajinasi? Jangan
karena berpikir imajinasi tak terbatas lantas berbuat sesuka hati, menulis
apapun tanpa menggunakan nalar. Ini koq seperti trend yah. Menyedihkan. Yah,
kembali lagi. Bisa "dilegitimasikan" dengan alasan imajinasi.
Pikirkan juga jika ibu, ayah, saudara, sahabat dari orang yang kalian tulis itu tak sengaja membacanya. Tidak bermaksud mengkultuskan kaum berjubah. Tidak sama sekali. Hanya saja, sebagai awam yang baik, dukunglah mereka. Narasi-narasi yang dibangun seperti itu bisa saja membuat pandangan orang banyak/umat yang seharusnya menghargai, menghormati malah menganggap biasa, kesannya jadi berubah.
Kita tidak mengkultuskan, tapi menghargai mereka sebagai kaum
yang menjalani panggilan khusus. Tulislah sesuatu yang membuatmu berkembang,
maju tiap hari. Keluar dari zona nyaman, temui masalah sekitar, hal-hal unik
lain yang bisa dijadikan inspirasi untuk menulis. Menyedihkan, jika panggilan yang
seharusnya sakral dijadikan ajang, bahan tulisan yang kurang elok.
Tak hanya menyedihkan, tapi kualitas pribadi dan tulisannya pun bisa diukur dari situ. Pikiran yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar. Tidak usah jauh-jauh dulu kita teriakan kesetaraan gender, kekerasan pada perempuan dan lain-lain kalau isi kepala, pikiran, mindsetmu belum dibenerin. Sepele sih, tapi cukup merisaukan.
STOP terus-terusan menulis rasa kagummu, rasa suka, kangen,
cinta-cintaan, romantisme yang LEBAY dengan embel-embel kaum berjubah. Norak.
Jadi perempuan jangan mau terlihat lemah. Apalagi sampai mempublikasikannya.
Sebelum jadi kebiasaan, stop.***