Tunas yang Patah, Puisi untuk Beribin
Beribin, Aku Mengenalmu pada Mawar Plastik yang Kau Ciptakan dari Jiwamu yang Teduh |
Tunas itu telah menguning, layu lalu jatuh
Itulah kau, Beribin, berbunga penuh duri menyayat segala rasa yang entah
Sepanjang perjalanan rindu melewati arus watowoko, mengarungi gelombang ganas
Kau selalu ada bak pelabuhan teduh, pencipta segala rindu bagi mereka yang bertualang mencari cinta.
Aku mengenalmu Beribin, lewat puisi-puisi berbentuk bunga, dari plastik bekas tercecer di selokan-selokan kotor, di lorong-lorong kota Maumere,
Kau mengukir semua jiwamu pada pucuk bunga plastik, mawar merah yang tumbuh dari nadi-nadi jarimu yang indah.
Itu dulu. Ya dulu, saat aku melihat diriku di matamu yang masih jujur
Namun, tunas itu telah patah.
Kau pergi tanpa melewati pintu masuk yang kita ciptakan bersama
Ketika aku berjalan kaki melintasi kerikil masa lalu yang menikam dadamu
Kau bilang, bunga akan tetap bertunas dan putih pucuk indah bentuk
Di atasnya kita akan mendirikan rumah dua lantai
Hayalan goblok! Semua telah selesai, kau pergi tanpa pamit
Kau tak mau mengingat semua jejak saat kita bersatu di sebuah rumah cinta
Kau ingat, malam itu bintang bersinar lebih terang dari cinta masa lalumu.
Nasi ayam bergelora menambah romantisme saat kau melahapnya pada bibirmu merah delima
Sebotol air yang kupesan pada seorang penjual di pinggir jalan tak sebening jiwamu kini. Terimakasih.
Kau hanya prank. Itulah kesimpulan dari semua puisi yang kita bangun di atas kesadaran bersama.
Terimakasih Beribin. Pergilah, di sana ada ruang rindu yang lebih dahyat menantimu.
RO, Lembata 2022