Menelusuri Jejak-Jejak Gajah Mada di Pulau Pantar dan Lembata, NTT
Jawa Toda Wato di Pulau Pantar, Kabupaten Alor |
RAKATNTT.COM - Tokoh Gajah Mada dalam sejarah kerajaan majapahit memiliki banyak jejak, khususnya di Jawa. Walaupun demikian, sebagai tokoh yang mempersatukan Nusantara, jejak Gajah Mada juga ditemukan di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur. Itu berarti, Gajah Mada pernah ada di NTT.
Mari kita telusuri
jejak-jejak Gajah Mada di NTT satu per satu, khususnya di wilayah Kabupaten
Alor dan Lembata. Kita menelusuri jejak-jejak Gajah Mada mulai dari Pantar,
Kabupaten Alor. Di pulau ini, ada sebuah batu di pinggir pantai yang disebut
jawa toda wato. Diyakini, konon batu tersebut merupakan perahu layar yang
dipakai oleh pasukan majapahit, dipimpin oleh Gajah Mada untuk singgah di
pantar memenuhi undangan dari kerajaan Munaseli dalam sebuah misi penaklukkan.
Kedatangan pasukan Gajah
Mada ke kerajaan Munaseli di pulau Pantar, bermula dari perang antara kerajaan
Pandai dan Munaseli. Panglima perang kerajaan Pandai bernama Lako dan Bori yang
merupakan suami istri berasal dari Kedang, Lembata. Keduanya mampu menghabisi nyawa
dua panglima perang dari Munaseli yang bernama Pito Para dan Mau Para. Akibat
kekalahan ini, maka raja Munaseli meminta bantuan kerajaan Majapahit untuk
datang ke Pantar, tepatnya di kerajaan Munaseli.
Kedatangan pasukan Gajah
Mada ke Munaseli, diperkirakan sekitar abad ke-14. Menurut kisah asal-usul
orang Lamalera, nenek moyang mereka berasal dari Luwuk, Sulawesi, yang
diperintahkan oleh Raja Hayam Wuruk melalui Gajah Mada untuk datang ke arah
timur yakni, terakhir menurut beberapa sumber, mereka tiba di pulau Lepanbatan.
Di pulau ini armada pasukan Majapahit pernah menetap cukup lama.
Itu berarti, bisa
dimungkinkan bahwa kedatangan Gajah Mada ke Munaseli bersamaan dengan nenek
moyang orang Lamalera.
Setelah penaklukan di
wilayah sekitar Alor, belum diketahui persis perjalanan hidup Gajah Mada
selanjutnya; apakah pulang ke majapahit atau meninggal di seputaran daerah Alor
dan Lembata? Terkait masa akhir hidup ini, Ali Bao, warga Desa Tapolangu,
Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, menemukan sebuah fosil yang ia yakini
merupakan tengkorak Gajah Mada dengan semua pengalaman mistis yang ia alami.
Sejak ditemukan tahun
1992 hingga kini, fosil tersebut masih dijaga dan dikeramatkan dalam rumah Ali
Bao. Fosil tersebut juga sudah dikunjungi oleh para ahli, baik dalam maupun
luar negeri. Sebut saja Patty Seery dari Amerika Serikat, Muhammad Najib dari
Universitas Gadjah Mada (2016), Leo Watimena dari Yayasan Joyoboyo (2008) dan
beberapa pengunjung lainnya juga dari Geowisata Bandung, Hanang Samodra (2007).
Keris Pusaka Gajah Mada di Lamalera
Sebuah keris pusaka yang merupakan
peninggalan Gajah Mada terdapat di Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara
Timur (NTT). Informasi tentang keris Gajah Mada yang ada di Lamalera, merujuk
pada beberapa referensi tertulis yang dapat dipercaya.
Buku Pesona Lembata Tanah Baja, ditulis oleh
B. Michael Beding dan S. Indah Lestari Beding (2006:47) menjelaskan, ada dua
keris pusaka peninggalan Gajah Mada yakni di kerajaan Labala dan Lamalera. Dua
keris ini, memberi indikasi adanya pengaruh Gajah Mada di Lembata.
Michael Beding dan Indah Lestari Beding
menulis begini: Di Lembata, keris itu dijaga oleh suku Bataona. Penulis
(Penulis buku. Red) melihat dan menggunakannya bersama dengan Ubas Bataona
junior yang sudah meninggal.
Untuk mempertegas informasi tentang Keris
Gajah Mada di Lamalera, Lembata, referensi tertulis lainnya dapat ditemukan
dalam tulisan Yakobus Belida Blikololong.
Ia menjelaskan tentang kedatangan leluhur
orang Lamalera pada abad ke-14 dari Luwuk, Sulawesi atas perintah Raja Hayam
Wuruk, dipimpin oleh Patih Gajah Mada.
Mereka berlayar ke Seram, Ambon dan
terakhir tiba di Lepan Batan (sebuah pulau di antara Pantar dan Lembata-yang
kini tak berpenghuni karena dahulu kala pernah ditimpah musibah).
Sebelum pulang ke Jawa, Gajah Mada
menyerahkan keris tersebut kepada leluhur orang Lamalera. Sedangkan leluhur
Lamalera melakukan eksodus terakhir dan tiba di pulau Lembata.
Sejarah perjalanan ini dapat ditemukan
dalam syair tradisional orang Lamalera yang sudah diterjemakan sebagai berikut:
Demi kehendak bapa Raja Hayam Wuruk, terpaksa
kutinggalkan desaku di luwuk sana, atas perintahnya melalui Gajah Mada dari
Jawa, kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru.
Foto Diambil dari Buku Lembata dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya karya Thomas B. Atalajar (hlm. 58) |
Tulisan yang masih berkaitan dapat
ditemukan juga dalam sebuah tesis di
Universitas Sanata Dharma berjudul, Tradisi Lisan LiĆ Asa Usu sebagai Potret
Jati Diri Masyarakat Lamalera: Sebuah Kajian
Etnopragmatik (2017) ditulis oleh Bernardus Tube.
Dalam tesis ini dijelaskan bahwa nenek
moyang orang Lamalera bersama armada perang patih Gajah Mada pernah menetap
cukup lama di pulau Lepanbatan.
Dengan kisah sejarah ini, dapat diketahui
bahwa keterkaitan Gajah Mada dengan Leluhur Lamalera bisa dipercaya.
Perlu diketahui, Lamalera merupakan sebuah
kampung nelayan di Lembata yang terkenal dengan tradisi berburu ikan paus.
Selain itu, Munaseli merupakan sebuah kerajaan tua di pulau Pantar yang sudah
hilang karena ditimpah musibah tsunami. (RO/Red)
Narasumber: Zaid Bay, penutur sejarah
Munaseli
Post a Comment for "Menelusuri Jejak-Jejak Gajah Mada di Pulau Pantar dan Lembata, NTT"
Komentar