Saatnya Sumpah Adat Masuk Politik
RAKATNTT.COM - Apakah Anda pernah melihat para pejabat berdasi bersumpah? Kapan dan dimana? Jika Anda pernah melihat atau menyaksikan, Anda pasti juga memahami isi atau maksud di balik ritual bersumpah.
Pada dasarnya,
bersumpah merupakan sebuah komitmen. Komitmen untuk menjalankan tugas secara
benar dan jujur; komitmen untuk bertanggung jawab terhadap tugas dan terhadap
orang-orang yang mesti dilayani dan juga komitmen terhadap dirinya sendiri.
Konsistensi terhadap komitmen ini seringkali diawali dengan sebuah ritual
bersumpah.
Di hadapan banyak
orang, seorang pejabat yang mendapat mandat pada jabatan tertentu menyatakan
kesediaanya untuk bertanggung jawab seutuhnya. Dalam ritual ini pula, subjek
yang bersumpah tidak hanya berjanji kepada diri sendiri dan orang banyak tetapi
juga terhadap Tuhan atau Wujud Tertinggi yang diimaninya. Pertanyaanya; mengapa
ia bersumpah kepada Tuhan?
Nah, dalam konteks ini,
ketika ritual bersumpah ditujukan juga kepada Tuhan, maka yang sering terlihat
yakni penampakkan wajah-wajah para pemuka agama. Mengapa harus mereka? Pertanyaan
ini tidak bermaksud meremehkan tugas para pemuka agama pada momen tersebut ya.
Justru pertanyaan tersebut mau mengajak pembaca untuk melihat kembali secara
kritis ritual bersumpah yang dijalankan menggunakan versi agama modern, Islam
dan Kristen misalnya. Apa kira-kira manfaat atau kekuatan dari ritual bersumpah
versi agama?
Apakah setelah
bersumpah, pejabat bersangkutan secara lurus menjalankan tugasnya atau
seringkali terjadi sebaliknya; misalnya korupsi meraja lela? Fakta yang tak
bisa dimungkiri ialah banyak pejabat yang pada mulanya bersumpah di depan Kitab
Suci dan pemuka agama justru tak punya tanggung jawab utuh sebagaimana isi
sumpahnya. Namun, bukan berarti kitab suci dan pemuka agama dijadikan kambing
hitam. Sebab yang bersalah adalah subjek yang pernah bersumpah.
Artinya, bersumpah bisa
menjadi sebuah peringatan terhadap pejabat tersebut dalam menjalankan tugasnya
melayani banyak orang tetapi pula bisa saja hanya dijadikan sebagai jalan
“menipu” banyak mata yang hadir menyaksikan ritual bersumpah tersebut. Agama
dan kitab sucinya dimanipulasi untuk kepentingan pragmatis tertentu.
Dengan kata lain, bersumpah
jenis ini tidak beda jauh dengan sebuah pementasan yang didesain sebagai barang
tontonan belaka.
Lantas, apakah
bersumpah seperti itu layak dijalankan terus? Tentu jawabannya bisa
berbeda-beda sudut pandang. Namun, sudah pasti bahwa bersumpah memakai ajaran
agama modern tetap dijalankan apalagi jika takut dicap “kafir”.
Pada momen-momen
setelah Pemilihan Umum misalnya, kita akan menyaksikan ratusan pejabat berdasi
bersumpah. Entah ada motivasi murni atau sekadar menipu, tergantung pribadi
masing-masing mereka.
Sumpah
Adat
Selain versi agama
modern dengan mengandalkan Kitab Suci dan pemuka agama, ada juga sumpah
tradisional yang ada di daerah masing-masing sesuai budaya dan kearifan
lokalnya. Sumpah yang dimaksud sering disebut sumpah adat.
Bagi orang NTT, sumpah
adat bukanlah pemandangan langka. Sebab hampir di setiap daerah atau suku yang
ada di NTT memiliki kearifan lokal model ini. Sumpah adat diyakini
kebenarannya. Bahkan, jika kita mewawancarai orang-orang yang meyakini sumpah
ini, rasa takut dan taat lebih kuat mengarah kepada sumpah adat ketimbang
sumpah versi agama.
Salah satu alasan
ketaatan radikal terhadap sumpah adat karena ada kekuatan yang diyakini kebenarannya
secara mutlak. Orang yang bersumpah versi adat akan sangat takut untuk
melanggarnya. Sebab diyakini ada akibat buruk termasuk merenggut nyawa manusia.
Karena itu, sumpah adat sangat dijaga kemurniannya.
Bayangkan saja jika
para politisi yang meduduki kursi kekuasaan dengan tunjangan berlimpah ruah
memberi diri untuk melewati sumpah adat, bisa mungkin terjadi roda kekuasaan
berjalan lebih lancar, tanpa kenakalan kiri-kanan.
Kesulitannya ialah di
Indonesia, pasca-Pemilu, sumpah yang dijalankan hanya memakai versi agama
dengan mengandalkan Kitab Suci dan pemuka agama bukan sumpah adat dengan
mengandalkan tetua adat dan darah hewan kurban. Padahal tujuan utama dari
sumpah yakni demi sebuah kebenaran yang harus ditaati bukan dipermainkan.
Sumpah
Adat Masuk Politik
Undang-Undang No 5
tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sesunggguhnya sangat benderang
menegaskan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki nilai-nilai luhur. Kearifan
lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia mesti dilindungi dan diwariskan
sejauh memiliki nilai-nilai luhur.
Dengan demikian, salah
satu warisan Nusantara yakni sumpah adat tidak boleh dipisahkan dari kehidupan
sosial-politik yang bertujuan untuk kebaikan umum. Sebab sumpah adat memiliki
nilai-nilai luhur dalam mengatur tingkah laku manusia khususnya para pejabat
berdasi yang akan menduduki kursi kekuasaan.
Sudah saatnya,
Pemerintah membawa masuk sumpah adat dalam dunia politik. Sumpah adat tidak
boleh dihilangkan oleh sumpah versi agama sebagaimana yang terjadi menjelang
pelantikan pejabat publik atau sumpah agama tidak boleh mendominasi sumpah
adat. Kearifan-kearifan lokal yang bernilai luhur patut dilestarikan, termasuk
sumpah adat.
Jalan yang mesti ditempuh
yakni Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat adat, misalnya Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk membahas kearifan lokal model ini.
Kehadiran masyarakat adat dan hukum adatnya tidak boleh disepelekan sebab
bagaimanapun juga masyarakat adat lahir pra-negara dan hukum adat bisa dibilang
fondasi hukum positif. (Rian Odel/Red)