Kapal Pinisi sebagai Simbol Hedonisme Berpolitik di Lembata
Foto Rakatntt.Com-Kapal Pinisi |
RAKATNTT.COM – Secara luas dan umum dalam pengetahuan publik, hedonisme selalu dikaitkan dengan tindakan yang mementingkan kenikmatan sesaat. Orang mengejar kebahagiaan dengan jalan kenikmatan tubuh, misalnya minum mabuk, pesta pora pada suatu waktu tertentu. Tentang ini, ada dua tokoh memberi catatan berbeda yakni Aristippos (435-355) dan Epikurus (342-270).
Aristippos
menjelaskan hedonisme jangka pendek yakni tindakan yang mencari kesenangan
sesaat: carilah kesenangan sepuas-puasnya hari ini. Epikurus menegaskan
hedonisme jangka panjang yang lebih berorientasi rohaniah yakni ketenganan
batin. Dua pendapat tersebut, dapat dibaca pada Frans Ceunfin (Bahan Kuliah di
STFK Ledalero, 2019).
Dari
dua pandangan tersebut, terlihat jelas bahwa hedonisme tidak semata-mata negatif
karena orang punya versi kenikmatan yang berbeda. Misalnya seorang pendoa atau
pertapa akan menempuh kenikmatan batin dengan cara yang khusus. Demikianpun
orang yang suka mabuk-mabukkan akan menilai bahwa tindakannya positif karena ia
mau menemukan kebahagiaan versi dirinya. Namun, tentu saja secara etika,
mayoritas manusia akan menilai bahwa hedonisme jangka pendek lebih mengarah
kepada yang negatif.
Nah,
judul tulisan apa adanya ini mau mengaitkan hedonisme jangka pendek dengan
situasi politik di Kabupaten Lembata dengan titik tujuh pada keberadaan kapal
wisata atau Pinisi yang diberi nama Aku Lembata. Kapal yang pada masa hidup
Bupati Lembata, (Alm) Yentji Sunur dinilai oleh para pengagumnya sebagai salah
satu bukti progresivitas pembangunan dan bukti politik yang tulus dari beliau,
kini terlihat seperti gubuk tua yang tak terurus. Sungguh miris!
Kapal
dengan harga mahal didatangkan hanya untuk dinikmati sesaat yakni jalan-jalan
ke pulau Meko, di Kabupaten Flores Timur. Sungguh jelas bahwa para pembesar yang
ngotot membeli kapal ini ingin mengejar kebahagiaan jangka pendek. Tubuh mereka
akan diberi kenikmatan ketika bersama-sama menumpang kapal mahal tersebut
sambil bernyanyi bersama atau apalah, intinya mereka bahagia.
Padahal,
sesuatu yang barangkali luput dari akal budi mereka yakni bahwa kapal tersebut
bukan milik pribadi mereka. Kapal tersebut milik semua orang Lembata. Maka
mestinya, manfaatnyapun untuk umum bukan untuk hedonisme sesaat bagi golongan
di dalam lingkaran kekuasaan pada masa Yentji Sunur.
Pertanyaanya
siapakah mereka yang pernah mencari kebahagiaan di dalam kapal tersebut?
Pembaca bisa lacak foto wajah mereka pada om Google atau media sosial lainnya. Kapal tersebut menjadi simbol hedonisme sesaat. Setelah para penikmat menikmati tubuh kapal untuk bersenang-senang, kapalpun kemudian dilepaskan begitu saja.
Orang-orang
model itu mesti diberi catatan merah dalam sistem politik di tanah Lembata oleh
warga di pulau kaya raya ini bukan sebaliknya dipuja-puji, apalagi pada momen
politik 2024 mendatang. Politik 2024 mesti menyadarkan rasionalitas warga
Lembata bahwa politisi atau para pembesar yang mengejar hedonisme sesaat tidak
layak mendapat gaji dan pendapatan besar lainnya di atas kursi kekuasaan.
Proses Hukum Harus Jalan
Kapal
tersebut, diketahui bermasalah setelah ada kabar gembira yang datang dari
kantor Aparat Penegak Hukum sebagaimana diteruskan oleh media massa yang ada di
Lembata. APH mulai meyakinkan publik bahwa kapal tersebut bermasalah – selama masa
Yentji Sunur, barangkali APH masih tidur?
Warga
Lembata tentu menginginkan ada keadilan dalam proses penegakkan hukum untuk
memberi rasa takut dan tobat pada para pembesar pencuri uang rakyat dan para
penikmat hedonisme sesaat yang bersenang-senang di atas penderitaan orang
Lembata. (Admin)