Cerpen: Cinta Terhalang Adat
Oleh : Sudarjo Abd Hamid
RAKATNTT.COM - Tatapan bola mata
mengulum rasa, terpana oleh deretan anugerah sempurna pada dirinya, membuat
ratusan mata memandang, dengan penuh hasrat memiliki, melaju cepat berlomba
untuk curahan rasa yang terpendam oleh beberapa pemuda, yang berdiam di
seberang pulau ingin berterus terang pada bulan, untuk menitip segala rindu
dalam relung jiwa.
Serasa pertemuan yang singkat namun
melekat dari ubun hingga ke jari kaki. Terbayang oleh raut bersinar, dengan
sedikit lesung pada pipi kiri. Kokoh mancung hidung, dengan juntaian mahkota
ikal sesekali tertiup hembusan angin dermaga, menutup sebagian kemolekan
wajahnya. Sesekali ku tatapnya di ujung jembatan kayu, tersimpuh malu seakan
ada rasa yang bergejolak menanti kabar untuk memulai lembaran baru.
Lambung bahtera mulai merapat pada
badan dermaga, kaki mungil mulai beranjak pada deretan tangga, menuju sofa kayu
berjejer oleh ratusan penumpang arus balik liburan semester.
Sontak terbangun oleh alaram nahkoda,
ayunan tangan melambai sebagai ucapan selamat tinggal, air mata bening alir tak
terasa, jatuh berderai hingga ujung bahtera, terpele di balik bukit pulau
Lomblen.
Ku ayunkan langkah layu seakan remuk
tungkai otot, membisu menyusur bakau kelam di pinggir pantai Wulen Luo. Tanam
kaki berhambur pasir putih, melekat membungkus telapak tak terasa. Jauh
menerawang, terbayang sosok putri kota Reinha Larantuka. Setiap motor pagi yang
sandar, aku pasti sempatkan untuk hadir sebatas melihat bekas duduk, dan aroma
parfum pucel, mungkin masih terasa disana.
Ku usap busa sofa seakan engkau hadir
kembali, namun bayang itu sirna seketika oleh lalu lalang pengais rejeki,
diatas ruang bahtera penumpang. Ingin aku titipkan sehelai amplop pada ABK,
namun rasa meronta akan lambat terbalas oleh kesibukan menggapai cita-cita.
Ingin aku hadir biar terobat segala gundah gulana, namun aku rasa pesimis, akan
mengganggu konsentrasi untuk memulai tahun ajaran baru.
Kalbu kian meronta panjang, untuk
paksa berlayar menghampiri, namun rupiah untuk ongkos dan traktir ketika
sampai, belum bisa mencapai estimasi, apalagi oleh rasa untuk berkurban demi
keutuhan cinta, bagiku belum bisa untuk
dipersembahkan.
Aku hanya bisa bersurat, melengkapi
sarak yang panjang. Ku tulus dalam temaram, merangkai kalimat untuk meyakinkan
akan rasa, sebagai wakil untuk bersua, walau hanya sebatas coretan dawat biru. Aku
sadari akan takdir dan kuasa Tuhan. Semua berjalan beriring waktu, target untuk
menyudahi masa pacaran terbentuk oleh akad, menuju berkat dan memohon restu
Tuhan dan orang tua, untuk memulai hidup seatap dan tidur sebantal dalam
mahligai rumah tangga.
Waktu terus beranjak dan berkisah
sesuai almanak, kisah dua sejoli yang tak mampu dipisahkan oleh apapun. Harapan
kehendak Tuhan untuk bersatu, terus terpatri dalam setiap bisikan doa, impian
menjalani penuh canda tawa terbayang, merasuk dalam hati, hasrat waktu berputar
cepat hingga masa perjanjian, untuk bersama tak terbendung.
Takdir memang tak awal hadir untuk
berkabar. Serpihan rasa harus berhambur, menuang tumpah rasa yang telah terjaga
berpuluh bulan. Kaku raga nista batin oleh kabar yang seakan sesak asupan paru,
tersayat rasa oleh luka derma yang terberi. Sekian purnama penantian, dengan
segudang perubahan rasa. Namun aku harus menuai segala berita yang terwarta
oleh mu, harus ikhlas memikul segala kecewa, berlapang dada menerima segala
kondisi.
Kau harus lupa oleh sekian cerita,
kau persembahkan wujud kecewa untuk, hadirmu hanya mampu mencabik rasa yang tak
mesti kau lakukan. Apalagi yang harus ku tawarkan untuk mempertahankan segala
harapan ini? Sejujurnya, segala telah aku korbankan dari segala yang kau minta,
namun semua tak terbalas bahagia. Dari awal ku dorong oleh rasa ketika kau
jatuh putus asa, pupus harap oleh ekonomi yang kurang berpihak untuk memiliki
ijazah, aku menjadi penyanggah kuat untuk menyeka air matamu, aku menjadi pandu
penyemangat untuk terus berkarya. Dan hatiku telah menyatu, bersatu untuk
selamanya.
Namun...
Asa yang tertanam pada galian panjang
sehasta, mengulur jauh terhitung mil rasa. Kau campakkan oleh tuntutan pemangku
rumah adat. Aku hanya berbekal Gong dan siri pinang, aku hanya miliki sehelai
sarung tua untuk mengademkanmu dikala dingin. Aku hanya punya sepeda panjul
yang tak bisa sejajar seharga gading. Karena gading bagiku adalah mahar yang
tak sanggup aku panggul, hadir di rumah suku. Cinta mu hanya sebatas lipstik
pemerah bibir, janjimu hanya mainan lidah, karena untuk mempertahankan
kesejatian cinta, hanya bisa dilihat dari kesanggupan memiliki gading.
Seandainya pusaka peninggalan itu ada, pastinya
kubawah dua walaupun disebut satu.
Di ujung jalan aku hanya bisa
menerjemahkan, bahwa jalan kita berbeda, oleh adat serta budaya.
Post a Comment for "Cerpen: Cinta Terhalang Adat"
Komentar