Panorama Eksotis Batu Poho dan Legenda Unik di Baliknya
RAKANTT.COM - Batu Poho atau dalam bahasa Kedang Lembata
disebut Wa’ Poho tampak tegak berdiri
di ujung mata ketika anda mulai memasuki area pantai selatan desa Mahal,
Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT.
Bukit batu ini luasnya sekitar satu hektar, berdiri persis di
bibir pantai Noni’. Di atasnya tumbuh ribuan pohon dengan daun hijau segar
layaknya sebuah hamparan hutan lindung yang memproduksi oksigen bagi nafas
panjang kehidupan manusia. Gelombang ganas laut Sawu datang bergulung-gulung,
terdengar deruhnya saat menambrak batu Poho yang kokoh.
Selain panorama eksotis dan keindahan lain yang menempel
pada batu Poho, ada juga aspek unik lainnya yang berkaitan erat dengan batu
tersebut, yakni soal legenda terjadinya Poho.
Legenda Poho
Dikisahkan oleh Bapak Pulang Lewo Leu Ape, Senin (22/11),
mulanya batu poho merupakan bagian dari daratan bukit Leu Napo’ yang secara
administratif masuk pada bagian pedalaman desa Mahal, Kecamatan Omesuri. Namun,
ada kisah pahit yang dialami oleh orang-orang yang pernah menetap di puncak
bukit Leu Napo’. Mereka yang pernah menetap di tempat itu yakni leluhur suku
(marga) Leu Napo’ dan Leu Ape.
Suatu hari pada ratusan tahun lalu, leluhur dari Suku Leu
Napo’ dan Leu Ape merayakan pesta bersama dengan mengonsumsi hasil laut yang
dibawa oleh Leluhur Leu Napo’. Di tengah pesta – mereka menari hamang, sebuah tarian pemersatu –
tiba-tiba seekor anjing pun kelihatan berekspresi layaknya seorang manusia yang
sedang ikut menari hamang. Maka, salah seorang yang sedang menari hamang
mengatakan kepada anjing tersebut untuk ikut menari bersama manusia.
Seketika itu, turunlah hujan deras diikuti angin kencang,
banjir besar mulai muncul dan tanah mulai retak. Kemudian, sebagian daratan
dari bukit Leu Napo’ pun terbelah dan dibawa banjir sampai ke bibir pantai
Noni’. Daratan yang terbawa banjir tersebut, tiba-tiba berhenti di bibir pantai
saat matahari pagi terbit. Makanya, warga setempat memberi nama daratan yang
juga disebut batu tersebut dengan nama poho
yang secara harafiah berarti menarik nafas atau istirahat sejenak.
Pantai Wata Ana' Dilihat dari Atas Batu Poho |
Para penari yang dikisahkan tersebut di atas, sebagiannya
melakukan migrasi karena bencana. Mereka kemudian ke wilayah pesisir utara
Kedang. Sedangkan leluhur Leu Ape tidak melakukan migrasi ke wilayah yang jauh.
Buktinya, hingga kini turunan dari Leluhur Leu Ape masih menetap didesa Mahal
dan Mahal II, salah satunya bapak Pulang Lewo, narasumber kunci tulisan ini.
(Rian Odel/Admin)