Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Siapa Kepala Desa Mahal Mendatang: Petahana atau Bukan?

Oleh Rian Odel, Warga Desa Mahal, Orang Kafir dari Timur

Menjadi seorang pemimpin (Rian Raya) pada hakikatnya adalah sebuah panggilan batin atau hati nurani bukan desakan banyak orang. Hal ini mesti menjadi kesadaran penting yang timbul dari lubuk hati terdalam masing-masing calon. 

Pemimpin yang maju atas desakan teman dekat atau keluarga bisa dipastikan tidak akan menjadi pribadi yang konsisten ketika terpilih menjadi pemimpin. Sebab pada mulanya, ia tidak memiliki kemauan pribadi. Namun, pemimpin yang maju karena desakan hati nurani adalah seorang pemimpin yang memiliki kemauan kuat untuk mengabdi. Ya, ini menurut pandangan penulis.

Dua kriteria berbeda di atas hanya bisa diketahui secara pasti oleh para calon pemimpin. Kita sebagai masyarakat hanya bisa menduga-duga jawaban. Walaupun demikian, pertanyaan seputar motivasi menjadi pemimpin sangat penting kita berikan kepada para kandidat. Sebab motivasi adalah energi atau mesin penggerak bagi sang calon.

Siapa Pemimpin Mahal?

Sesuai informasi yang beredar luas dari satu mulut ke telinga yang lain, sudah terdapat sekitar empat putra terbaik Desa Mahal yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung pada Pilkades Mahal periode 2021/2027. Walaupun demikian, sesuai informasi, belum ada satu calon pun yang mendaftarkan diri kepada panitia Pilkades Mahal – mungkin sekarang sudah ada?

Empat putra terbaik yang diisukan akan bertarung yakni Abdul Jamil Rajuni, Fransiskus Beni Orolaleng, Muhamad Lukman Laba, dan Felix Orolaleng. Keempat putra Leu Awu’ tersebut menjadi pembawa terang bagi desa Mahal mendatang. Oleh karena itu, masyarakat Desa Mahal yang akan memberikan hak suara diharapkan untuk mulai melakukan analisis rasional terhadap para kandidat yang akan bertarung.

Masyarakat mesti kritis melihat sepak terjang para calon baik dari aspek relasi sosial, motivasi maupuk moral pribadi. Dari aspek sosial; apakah dalam kehidupannya, sang calon menjalin hubungan baik dengan sesama warga lain atau memiliki banyak masalah yang menghambat relasi sosial di Desa? Apakah ia layak menjadi jembatan ketika ada konflik horizontal di Desa atau sebaliknya sebagai penylut api konflik?

Apakah sang calon memiliki moral pribadi yang baik sehingga bisa menjadi contoh bagi warga sekitar atau sebaliknya memiliki catatan hitam? Hal ini mesti juga menjadi pertimbangan kritis masyarakat. Mengapa demikian? Salah satu keyakinan kuno orang Yunani ialah seorang pemimpin masyarakat dilihat sebagai dewa yang nyata.

Sebagai dewa, sang pemimpin adalah orang suci yang layak menjadi panutan di sebuah daerah kekuasaannya. Demikian pun, pemimpin Desa Mahal mendatang – tentu suci bukan berarti tanpa noda dosa.

Selain itu, dari aspek profesionalitas kepemimpinan. Apakah, sang calon mampu mengurus Desa secara profesional baik soal transparansi keuangan, kejujuran dalam pengelolaan atau sebaliknya regulasi tentang keuangan dikabur-kaburkan? Tentu pertanyaan tentang ini lebih ditujukan kepada sang calon yang menjadi petahana di Desa Mahal. Masyarakat layak menilai juga soal ini.

Aspek profesionalitas adalah salah satu hal penting yang melekat dengan pribadi sang calon. Sebab dalam mengurus Desa, ia mesti memiliki potensi dalam mengatur lalu-lintas di Desa Mahal. Ia mesti mampu mengayomi semua penduduk Desa Mahal, ia tidak boleh menjadi bos tunggal di Desa.

Artinya, menjadi kepala Desa, ia tidak boleh mengambil alih semua tugas di Desa. Misalnya, dalam membangun proyek semenisasi jalan Desa, kepala Desa mesti terbuka juga harus melakukan konsultasi dengan rekan-rekan kerja yang lain seperti TPK bukan mengambil alih semuanya. Sebab, cara kerja seperti ini akan mendatangkan kecurigan negatif kepada Kepala Desa. Pertanyaan seputar ini tentu lebih banyak ditujukan kepada sang petahana dan juga bagi kandidat lain agar direfleksikan sejak dini.

Jangan Pilih karena Keluarga

Pemimpin yang terpilih adalah ia yang akan menjadi pelayan bagi seluruh warga Desa Mahal. Oleh karena itu, masyarakat mesti memilih sesuai hati nurani. Dalam politik isu-isu liar sepurat SARA adalah senjata mematikan yang sering dipakai oleh para kandidat untuk memenangkan pertandingan.

Namun, sebagai warga Desa Mahal, kita mesti kritis pada isu-isu liar semacam itu. Jangan pilih karena ia satu agama atau satu suku atau satu aliran politik! Sebab memilih dengan alasan demikian membuktikan tingkat kecerdasan demokrasi kita masih minim. Kita mesti memilih pemimpin yang bisa melayani secara transparan, adil, jujur, bijaksana, tidak towi’ (curi uang) dan juga mampu menghormati kearifan lokal Desa bukan memanipulasinya.

Dari semua ulasan ini, kita sebagai masyarakat pemilih mesti betanya; kira-kira siapa pemimpin Desa Mahal mendatang: Petahana atau bukan?