Pilkades Peusawa: Momen Pendidikan Politik
(Sekadar Sharing dan Catatan Reflektif)
Oleh Romaldus Belalawe |
Barangkali ada baiknya
bila terlebih dahulu saya perkenalkan diri. Nama saya Romaldus Molan Belalawe
dan asal dari Desa Peusawa di Kecamatan Omesuri. Terakhir bekerja sebagai
Konsultan Program BLOOM/GOH di Yayasan PLAN Internasional Indonesia PIA
Lembata. Bersama saudara/adik Bruno Boli (sekarang sedang cuti sebagai Kepala
Desa Peusawa). Kami saat ini terdaftar sebagai Bakal Calon Kepala Desa Peusawa
periode 2021-2027.
Sejak proses Pilkades
Serentak di Kabupaten Lembata resmi digelar, tensi politik di hampir semua desa
mulai memanas. Berbagai strategi dan intrik politik mulai dibangun untuk
memenangkan figur pilihan dalam ajang kompetisi politis ini – yang tidak jarang
mencederai demokrasi dan persaudaraan antarfigur dan massa pendukung.
Agak sedikit berbeda
dengan desa-desa lain (mungkin) sudah sejak lama desa kami (Desa Peusawa)
selalu ‘tenang-tenang dan biasa-biasa saja’ dalam moment Pilkades. Tensi
politiknya tidak pernah panas dan jauh dari hingar bingar dunia politik. Begitu
tenang dan biasa-biasa saja sampai-sampai desa ini digelari ‘desa perempuan’
(bahasa Kedang: leu are’ rian).
Baiklah, desa kami memang
“desa perempuan” namun bukan perempuan dalam kekurangan dan kelemahan tubuh
atau fisik namun jauh lebih dalam yakni perempuan dalam hakikatnya sebagai
figur atau sosok yang senantiasa tenang mengayomi, yang selalu memberi rasa
aman kepada anak-anaknya, ibu yang selalu memberikan contoh dan teladan baik
dalam kehidupan.
Semangat atau
spiritualitas keibuan inilah yang hendak dibangun oleh kami berdua, Bruno dan
saya, dalam konteks Pilkades di desa kami. Melalui moment Pilkades ini kami
hendak memberikan sedikit pembelajaran atau pendidikan politis yang baik, yang
mungkin sederhana namun kami yakin dapat memberi pemahaman baru kepada
masyarakat kami dalam dunia politik. Beberapa hal atau praktek baik yang kami
lakukan antara lain:
● Relasi. Hubungan atau
relasi kami berdua selalu baik. Kami menyadari bahwa Pilkades tidak boleh
memisahkan (apalagi merusak) relasi
kekerabatan atau hubungan persaudaraan kami yang telah dibangun sejak dahulu
nenek-moyang dan leluhur kami. Oleh karena itu, dari awal kami sudah ‘saling
baku ajak’ untuk mengikuti moment ini. Kami juga pergi mengurus berkas syarat
administrasi di Balauring dan Lewoleba secara bersama-sama (di Kantor Camat,
Rumah Sakit, Polres, Kantor Inspektorat dan Kantor Pengadilan).
Hal ini sempat menjadi
tanda tanya dari teman-teman bakal calon dari desa lain. Pernah saat mengurus
Surat Kesehatan di RSUD Lewoleba ada teman bakal calon dari desa yang lain
dalam nada gurau bertanya: “Kamu dua ini benar tidak eee, masa sama-sama calon
tapi bisa pergi urus berkas sama-sama?” Kami dua hanya tertawa dan saudara saya
menjawab: “Kami dari Peusawa memang dari dulu sudah begini leee.”
Kami juga mendaftar ke
Panitia Pilkades Desa secara bersama-sama (kami berdua berkumpul di rumah salah
satu tokoh masyarakat – mendengar peneguhan dan nasihat dari orang-orang tua di
desa kemudian diarak dengan gong gendang menuju Kantor Desa Peusawa dimana
Panitia Pilkades sedang menunggu kami memberi masuk lamaran). Memang terkesan
sederhana dan biasa-biasa saja, namun melalui praktek sederhana ini kami mau
mengajarkan kepada masyarakat kami dan masyarakat luas bahwa meskipun Pilkades
adalah sebuah kompetisi politis namun hubungan baik harus tetap lestari.
● Lamaran. Untuk
pertama kalinya di Desa Peusawa Pilkades dilakukan melalui pengajuan lamaran
oleh bakal calon. Praktek yang ada di tahun-tahun Pilkades sebelumnya adalah
‘pendekatan’ dari panitia dan tokoh-tokoh masyarakat kepada figur yang hendak
dicalonkan. Dengan mengajukan lamaran, kami hendak memberikan pemahaman baru
kepada masyakarat kami bahwa tahapan Pilkades adalah demikian adanya –
sekaligus bukti komitmen kami untuk mengabadi untuk kampung halaman atau desa
kami.
● Isu politis. Sesudah
mendaftar kami tidak saling menyebar isu-isu politis yang mendiskreditkan satu
sama lain. Kami tidak saling mencari kesalahan, kekurangan dan kelemahan hanya
untuk memenangkan kompetisi politis ini. Kami juga tidak saling mengklaim
keberhasilan di desa atau apa yang sudah dilakukan di desa – karena kami
menyadari setiap kami mempunyai bentuk kepedulian dan partisipasi yang
berbeda-beda dalam membangun kampung halaman kami selama ini. Bila ada
pertanyaan dari masyarakat (yang umumnya bertolak dari ketidakpahaman) maka
akan diberikan penjelasan dengan mengacu pada regulasi atau aturan, kebijakan
maupun tradisi sosial kemasyarakatan yang telah dibangun. Dengan ini kami mau
mengajak kepada masyarakat kami bahwa politik yang baik sesungguhnya tidak
perlu dengan menjatuhkan satu sama yang lain.
● Strategi politis.
Kendati Pilkades merupakan kompetisi (yang memang memerlukan strategi politis)
namun kami tidak mencederai moment ini dengan praktek-praktek politik kotor,
misalnya money-politics (karena kami memang tidak punya uang, hehehehe…),
black-campaign (kampanya hitam) karena kami berkomitmen untuk menjaga kemurnian
pilihan masyarakat kami. Kami juga tidak ingin menciptakan gesekan-gesekan di
tengah masyarakat. Benar bahwa setiap kami sudah tentu mempunyai ambisi akan
tetapi ambisi kami adalah ambisi untuk mengabdi (bahasa kedang: galeka bote
bei) bukan ambisi untuk mendapat kedudukan apalagi kuasa.
Catatan akhir: Isi
postingan ini sebenarnya tampak sederhana, tidak ada yang luar biasa
sebenarnya. Hanya ada hal-hal kecil, praktek-praktek baik sederhana dari desa
yang digelar ‘desa perempuan’ – yang mungkin juga sudah sedang dilakukan di
desa-desa lain di Lembata. Meskipun demikian berangkat dari hal-hal kecil dan
praktek-praktek sederhana inilah, dalam semangat taan-tou, kita sesungguhnya
sedang membangun budaya politik baru yakni Pilkades yang bersih dan bermartabat
di Tanah Lembata.***