Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Gali Lebih Dalam Makna Sebutan Molan Maren di Kedang, Lembata


Pada artikel sebelumnya tentang wawancara dengan Molan Amo Hola penulis sudah menyinggung sepintas tentang arti dari sebutan molan maren. Namun, artikel tersebut belum menjawabi secara dalam arti dari sebutan molan maren di Kedang, Lembata, NTT. Oleh karena itu, artikel ini akan melengkapi yang masih kurang.



 

Molan maren adalah tetua adat Kedang yang memiliki kemampuan mitis-magis. Mereka dipercayakan untuk memimpin ritual keagamaan tradisional di Kedang. Mereka juga bisa menyembuhkan orang  sakit. Selain itu, mereka juga memiliki banyak pengetahuan tentang sejarah Kedang dan ungkapan-ungkapan lokal yang sangat berkaitan erat dengan tema tulisan ini.

 

Menurut Molan Amo Hola, molan memiliki tugas pokok yakni membantu orang tanpa mengharapkan imbalan. Ia juga menjelaskan bahwa molan mendapat petunjuk dari Wujud Tertinggi melalui leluhur Kedang yang namanya dirahasiakan oleh masing-masing molan. Artinya, tugas yang diemban oleh molan sangat luhur karena berasal dari Wujud Tertinggi.

 

Dari segi bahasa, menurut penulis, Molan barangkali berasal dari kata moleng, “sembuh atau menyembuhkan.” Jadi, Molan artinya tabib atau mengobati yang sakit. Juga arti lain, moleng berarti lembek (buah yang matang), halus dan lembut. Maka, molan diartikan sebagai orang baik yang lembut hatinya dan selalu siap melayani orang lain.

 

Selain itu, kata maren berarti sesuatu yang “sakral atau suci.” Maka, menurut penulis, molan maren berarti orang yang memiliki kharisma suci untuk membantu orang lain baik sebagai dukun/tabib maupun sebagai pemimpin ritual tradisional.

 

Dalam bahasa Lamaholot, Molan paralel dengan kata molang yang memiliki dua arti berlawanan yaitu tukang sihir dan dukun. Baca Paul Arndt, Agama Asli Kepulauan Solor, Penerj. Paulus Sabon Nama (Maumere: Penerbit Puslit Candraditya Maumere, 2003), hlm. xv. Tukang sihir dalam bahasa Kedang disebut Ma’ Molan.

 

Molan maren juga dianalisis oleh Barnes. Baca R. H. Barnes, Kedang: A Study of The Collective Thought of an Eastern Indonesia People (London: Oxford, 1974), hlm. 97-98. Yang berbeda dalam tafsirannya terletak pada kata maren yang menurutnya barangkali barasal dari kata marang, “Pembicara.” 


Pendapat ini, ia sesuaikan dengan versi budaya lamaholot yang diteliti oleh Vatter dan Paul Arndt tentang kata maran yang bisa berarti pembicara, pendoa atau deklamator nyanyian rakyat saat diadakan sebuah ritual adat. Di Kedang, ada juga sebutan marang wala atau orang yang ditugaskan sebagai pembicara adat. Selain itu, kata maren juga berarti larangan.


Dengan demikian, molan maren memiliki memiliki peran ganda, selain sebagai dukun atau tabib, ia juga adalah orang yang lembut hati (moleng tiku’) dan juga sebagai marang wala (pembicara/pendoa). Juga kata maren mau menegaskan kekhususan tertentu yang dimiliki oleh molan, misalnya ada tabu atau larangan-larangan (maren) tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh molan.