Sebuah Coretan untuk Ibu
Oleh: Beatrix Fransiska Anu, Siswi Kelas XI UPW SMK Swasta Syuradikara Ende
Sakit hati bisa datang tanpa kita
sadari, bahkan di saat hati sedang terpuruk. Untuk lolos dari pengalaman padang
gurun ini, setiap orang memiliki cara. Tulisan ini barangkali jadi luapan hati
saya. Membaca tulisan ini adalah bentuk kepedulianmu terhadapku, serentak
awasan bagimu untuk setiap langkah dan masa depanmu. Jadikan pengalamanku
sebagai pengalaman kita bersama.
Hidupku jauh berubah ketika ayahku
meninggal dunia. Ayahku meninggal ketika saya berada di bangku kelas tiga
Sekolah Dasar. Ia pergi terlalu dini. Langit membutuhkannya ketika saya belum
siap. Sekejam itukah hidup?
Kurang lebih lima tahun setelah
kepergian ayah, ibu menikah lagi. Mendengar hal itu, hatiku bertambah sakit.
Ibu pernah berjanji untuk tidak menikah lagi. Tapi itulah manusia. Lidah
manusia terlalu sering begitu.
Setelah menikah, ibuku ikut bersama
ayah tiriku ke Malaysia dan melanjutkan profesi sebagai seorang guru di sana.
Saya hidup bersama paman dan bibi. Hari-hari yang sepi dan malam-malam yang
panjang saya lalui seorang diri. Ibu jarang menelfon. saya hanya mampu
menerka-nerka kabar tentang dirinya. Hidup saya bagai di atas permainan ular
tangga. Serba ketidakpastian. Bertanya soal rindu, itu sudah pasti. Anak
manakah yang mampu bertahan tanpa kehadiran sosok ayah dan ibu?
Ibu sering menelfon. Tapi yang ia
tanyakan bukan tentang kabar, bukan tentang nilai ulangan. Ibu hanya
memberitahukan kalau uang sekolahku sudah terkirim. Bila hati ini terlalu rindu
dan saya ingin bercerita, jawabnya hanya singkat, padat, dan jelas. “Mama masih
sibuk. Nanti mama telefon lagi.” Sering saya bertanya, apakah ada cinta di
dunia ini? Jawaban yang kuterima selalu sama. Keraguan.
Saya mempunyai seorang adik. Ia
adik tiriku. Dibandingkan dengan diriku, ia selalu mendapat perhatian dan kasih
sayang yang lebih. Saya bukanya iri dengannya. Saya hanya merasa heran dan
aneh. Salahkah saya bila dicintai? Meskipun hati ini selalu sakit, saya tidak
pernah membenci mereka semua.
Tuhan menjadi satu-satunya tempat
curhatku. Bila beban terlalu menindih, saya biasa menghabiskan banyak waktu
bersamaNya. Saya bercerita tentang apa saja kepada Tuhan. Saya yakin dan
percaya, Ia selalu mendengarkan dan tidak pernah mengecewakan saya.
Ada satu pengalaman pahit yang
sulit kulupakan. Pengalaman itu terus menghantui saya hingga sekarang. Pada
suatu ketika, ibu menelfon paman. Tanpa sengaja, saya menguping pembicaraan
mereka. Suara ibu jelas terdengar dari speaker handphone. Saya mendengar semua pembicaraan mereka. Namun, ada satu
kalimat yang menjadikan saya menitikan air mata. Ibuku mengatakan kalau saya
ini menjadi beban keluarga. Duniaku seakan runtuh kala itu. Beban keluarga?
Itukah diriku?
Teman pembaca, jangan salahkan
ibuku. Saya tetap mencintainya. Cintailah dia seperti saya selalu mencintainya.
Mama...bila engkau juga membaca tulisan ini, saya hanya mau katakan, SAYA
MERINDUKANMU.