I Love You Always
Oleh:
Marianti Weko
Siswi SMK Syuradikara Ende
Namaku
Ilya Putrawan. Panggilannya Ilya. Bagi kedua orangtuaku, nama Ilya diturunkan
dari kalimat “I Love You Always.” Indah bukan? Kuharap engkau tersenyum membaca
namaku ini. Tapi sabar dulu. Pengalaman hidupku tak seindah senyumanmu.
Baragkali ini menjadi syarat awal bagimu. Mata tidak utuh merangkum diri.
Saya
berasal dari keluarga yang sederhana. Kelimpahan harta bukan bagian dari hidup
kami. Kami hanya berlimpahkan cinta dan kasih sayang. Saya merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. Ayahku seorang pegawai pertanian. Ibuku seorang guru. Jangan
engkau bayangkan kebutuhan kami selalu terpenuhi karena pekerjaan mereka.
Pelajaran kedua bagimu, pekerjaan tak selamanya menjamin kesejahteraan. Ayahku
sering keluar kota, bahkan keluar negri karena tugas dari kantor.
Suatu
ketika, ayahku keluar kota dalam jangka waktu yang cukup lama. Kami harus
berjarak selama 4 tahun. Bukankah itu rentang waktu yang cukup lama? Apalagi
bagi saya seorang putrinya yang selalu mendapat kasih sayang dan perhatian
darinya. Barangkali syair Amir Hamzah bisa
mewakili perasaanku. “Aku manusia, rindu rasa, rindu rupa.” Meski sering
berkomunikasi secara online, lembut matanya dan halus suaranya tetap terasa
berbeda. Malam terasa semakin panjang. Hari pun berlalu tanpa makna tanpa sosok
ayah. Poinnya, kita selalu membutuhkan sosok kokoh dalam hidup.
Seiring
berjalannya waktu, tibalah saya untuk memasuki Sekolah Menengah Pertama. Saya
bahagia karena bisa mewujudkan salah satu impian saya. Saya menjadi bagian dari
siswi SMPK Maria Goretti. Rindu kepada ayah sedikit terobati pengalaman baru
ini. Apalagi saya tinggal di asrama. Banyaknya teman baru serta hidup kami yang
sudah tertata baik menjadikan rindu kepadanya semakin berkurang. Kebahagian
semakin sempurna ketika jadwal ayah untuk kembali telah tiba. Senyum khas
miliknya kini dapat kupandang lagi. Ia sering menghantar saya ketika masuk
sekolah. Hari-hari kami lewati dengan penuh sukacita.
Pada
suatu pagi yang biasa, aku sedang mengikuti pelajaran di sekolah. Pamanku tiba
di sekolah. Senyum merekah dibibirku menjemput kedatangannya. Ternyata ia
datang untuk menjemputku. Bahagianya hatiku. Siapa yang tidak rindu rumah?
Rumah adalah segala rindu dan kenangan terkubur. Tapi, ini tak biasa bukan?
Pertanyaan itu cukup mengganggu saya. Tapi pulang membuat pertanyaan itu
hilang.
Hatiku
berdebar ketika memasuki pekarangan rumah. Banyak orang ada di rumah kami.
Suara tangis memecah di udara. Ribuan mata seolah menghakimiku. Apakah yang
terjadi? Apakah hidup ini menyedihkan? Apakah manusia tidak layak bahagia?
Semua pertanyaan itu muncul tanpa bisa ku atasi.
Namun,
semuanya menjadi jelas ketika saya memasuki pintu rumah. Nafas saya tak lagi
beraturan. Langkah kaki terasa lemah dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi
setelah itu. Dunia menjadi gelap. Sosok ayah yang saya banggakan tidak lagi
mengedipkan mata. Senyumnya kini kaku. Tak ada lagi ucapan selamat datang buat
anaknya. Di dalam peti mati kini ia terbaring kaku. Entah sampai kapan? Ia
masih terus tertidur meski kuterus memanggil namanya. Hati ini hancur. Tulang
terasa remuk. Ibu yang duduk disampingku pun terus meneteskan air mata. Kekasih
hatinya telah dicuri langit.
Begitu
kejamkah Tuhan? Mengapa Ia membiarkan ini terjadi? Apakah Tuhan juga sudah
mati? Hidupku terasa hambar. Kemanakah lagi segala rindu dan duka akan
bersandar?
Hingga
saat ini, di bangku SMK Syuradikara ini, saya hanya mampu duduk mengumpulkan
segala kenangan indah kami dulu. Saya bahagia memiliki sosok seperti ayah,
meski kini ia hanya bisa memandangku dari surga. Bersama mama, kami harus tetap
melanjutkan hidup. bukankah manusia itu fana? Saya bertekad untuk bisa menjadi
kebanggaan keluarga.
Kepadamu
yang telah berpulang, kutitip salamku. Semoga hangatnya doaku bisa
menghangatkan senyummu dalam keabadian.