Mencari Pemimpin Desa Berjiwa Jaga Leu Saka Awu’
Mencari Pemimpin Desa Berjiwa Jaga Leu Saka Awu’
Ungkapan
popular yang sering terdengar yakni pemimpin disebut sebagai pelayan
masyarakat. Maka, tak heran, seorang pemimpin selalu dihormati. Ketika ia mengunjungi
suatu tempat tertentu misalnya, tari-tarian dan sapaan adat dengan kalimat
puitis selalu disiapkan untuk menyambut sang pemimpin.
Baca Juga: Bangun Desa dengan Spirit Ka Le' Matan
Tak
lama lagi, masyarakat Lembata, Nusa Tenggara Timur akan menggelar Pemilihan Umum di Desa-Desa dalam
rangka memilih seorang putra terbaik Desa menjadi pemimpin atau kepala. Dalam bahasa
Kedang, seorang pemimpin sering disebut sebagai rian leu, “pemimpin kampung/desa.” Sejak zaman prakemerdekaan
Indonesia, sudah terdapat ungkapan-ungkapan untuk menggambarkan eksistensi
seorang pemimpin kampung misalnya, sogang biti’
te’ rian leu, tara tude’ tubar boni woi’, tara jaga leu saka awu’. Tentu masih
ada ungkapan lainnya yang tertuju pada seorang pemimpin.
Baca Juga: Gagalnya Silaturahmi Para Elit demi Bola Kaki
Dengan
demikian, seorang calon kepala desa maupun yang nantinya akan terpilih sebagai
kepala desa mesti juga mampu memahami konsep-konsep lokal sebagaimana salah
satu ungkapan di atas. Pemimpin desa adalah milik semua masyarakat desa. Ia mesti
hadir untuk semua lapisan masyarakat – baik dari sahabat dekat sealiran politik,
tetangga, suku, agama – dan mampu menyelesaikan persoalan sosial di tengah
masyarakat. Ia juga mesti mampu menjadi pelindung (jaga leu saka awu’).
Baca Juga: Status Adat Wilayah Noni', Desa Mahal I
Menjadi
pelindung berarti, pemimpin mesti hadir di tengah-tengah untuk melindungi semua
masyarakatnya. Misalnya, ketika ada masalah sosial di desa yang terindikasi
melahirkan konflik horizontal, maka seorang kepala desa mesti mampu
menggerakkan rekan-rekan dalam lingkaran Pemdes untuk terlibat aktif di
lapangan sampai menemukan solusi terbaik dan final.
Kepala
desa tidak boleh bermental profokatif. Dalam arti, ia membiarkan begitu saja
masalah-masalah sosial yang terjadi. Ketika dua orang warga desa terlibat
konflik karena batas kebun misalnya, kepala desa mesti hadir dengan seluruh
jiwa-raga untuk menjadi jembatan menyatukan keduanya, bukan sebaliknya lari
dari persoalan dan membiarkan masalah tersebut terus ada tanpa solusi.
Baca Juga: Obat Tradisional untuk Batuk, Asam Lambung dan Pilek
Akibatnya,
konflik horizontal pun tetap terjadi, baik fisik, lisan, maupun terlebih secara
psikologis. Keduanya tentu merasa berat hati (bara’ we’) untuk saling tegur
sapa dan mengunjungi. Ketika masalah seperti ini, dibiarkan terus bertumbuh
subur tanpa intervensi kepala desa sebagai pengayom, maka akan lahir akibat
negatif lanjutan bagi generasi berikutnya yang dilahirkan oleh kedua warga yang
berada dalam lingkaran konflik tersebut.
Oleh
karena itu, berkarakter sebagai pemimpin yang tara jaga leu saka awu dan juga tara
tude’ tubar boni woi’ mestinya dipahami dan mampu diwujudnyatakan dalam
konteks pembangunan desa. Selain itu, sebagai pengayom, pemimpin desa juga
tidak hanya memfokuskan strategi pembangunan fisik, misalnya jalan dan kantor
desa. Ia mesti juga mampu membaca peluang lain di desa, misalnya ekonomi
kreatif anak-anak desa. Bagaimana mendukung mereka dalam hal ekonomi?
Bukan
hanya itu, kepala desa juga mampu menjadi penggerak dalam hal-hal yang lain. Misalnya
melalui pertanyaan; bagaimana membangkitkan kembali rasa cinta dan keingintahuan
warga desa tentang adat dan budaya lokal setempat? Sebab, di dalam adat-budaya
lokal terkandung banyak nilai dan ajaran sosial kemasyarakatan yang mestinya
diadopsi dan dimodifikasi sesuai kontek kekinian di Desa bersangkutan.
Tentang
hal ini, lembaga adat di desa mesti diberi arahan agar bisa berpikir sampai
kesitu. Lembaga adat berarti, ia berkaitan dengan adat-istiadat, sopan-santun
konteks lokal di desa, ia juga berkaitan dengan sejarah lokal dan lain-lainnya.
Sejarah berdirinya desa misalnya, menjadi salah satu hal penting yang mesti ada
dalam wawasan seorang peminmpin desa. Sebab, tanpa sebuah wawasan sejarah desa,
spirit historis dalam pembangunan desa menjadi absurd.
Misalnya,
semangat perjuangan para pendiri desa, para leluhur desa yang menjadi perintis
kampung, mestinya terus dikenang dalam konteks pembangunan desa. Memberi nama
lorong sesuai nama para leluhur perintis desa adalah salah satu alternatif. Sebab,
membangun desa bukan hanya soal membagi BLT dan pembangunan fisik lainnya,
melainkan juga aspek historis, hubungan sosial dan tentu saja masih banyak yang
lain.
Hal terakhir yang juga penting ialah Pemimpin Desa harus berkarakter, bertingkah laku dan bertutur kata baik agar marwah atau nama Desa tetap terjaga kemurniannya.