Hubungan Uyolewun dan Kedang pada Situs Huna Lelang
Sampai
saat ini, asal-usul nama Edang (Kedang) masih kontroversial. Sebab bukan hanya
satu versi. Salah satu versi yang penulis temukan berdasarkan hasil wawancara
yakni Kedang berasal dari nama Edang Eor yang merupakan nama istri dari Uyolewun (Wawancara dengan Beda Pati di Hule).
Sumber Foto: Facebook Lacers Benihingan |
Oleh
karena itu, sebagai rasa hormat, nama Edang disematkan pada nama suku bangsa
Kedang, Lembata secara umum sebagai ibu yang melahirkan (tanah kedang yang datar sebagai
perempuan). Sedangkan suaminya (Uyolewun) disematkan pada nama gunung Uyelewun
yang menjulang tinggi (sebagai laki-laki).
Baca Juga Asal-Usul Nama Suku Kedang
Uyelewun
sendiri jika dianalisis dari segi bahasa berarti hujan dan kampung atau tanah-air.
Uye dari kata Wuya, “hujan” dan lewun
dari kata leu, “Kampung”. Maka,
Uyelewun berarti hujan dan kampung (Wawancara
dengan Abdul
Redjad Raya Wulakada).
Menyebut
kampung selalu berkaitan dengan tanah atau tempat tinggal. Hujan menurut orang
Kedang adalah berkat dan tanah adalah kehidupan. Hujan dan tanah adalah dua
kekuatan yang menjadikan orang Kedang tetap eksis.
Versi
ini menegaskan hubungan nama gunung Uyelewun dan wilayah Kedang dengan dua
tokoh sentral dalam kisah asal-usul orang Kedang, maka secara simbolis,
makrokosmis tersebut juga memiliki simbol mikrokosmis yang dapat ditemukan pada
ritus-ritus sakral di Kedang. Salah satu ritus yang dimaksud yakni Lete’ Huna Paheng Ahar. Simbol
mikrokosmis dalam ritus ini dapat ditemukan dalam bentuk Huna Lelang atau huna hale
(Rumah adat mini) yang menegaskan rumah kehidupan.
Pada
bagian ini, penulis menyadur ulang penjelasan dari Emanuel Ubuq tentang ritus lete’ huna paheng ahar, sebagai berikut:
Di dalam rumah adat mini (huna lelang/huna
hale) tersebut terdapat lapa’ (batu
sakral) sebagai simbol leluhur laki-laki dan huna lete’ (kayu yang
ditancap pada tanah atau ai uru ara)
sebagai simbol leluhur perempuan. Dalam tradisi Kedang, seorang wanita yang
masuk menjadi istri resmi dalam suku tertentu – setelah dibelis tuntas – dan
setelah ia meninggal dunia, maka keturunannya wajib melakukan ritus lete’ huna paheng ahar untuk
mengabadikan leluhur perempuan (istri) tersebut dengan leluhur laki-laki
(suami).
Makna lain dari ritus ini menegaskan
bahwa dalam tradisi patrilinear Kedang, seorang wanita (istri) akan dinyatakan
sah sebagai leluhur yang mengayomi, memberi kehidupan bagi anak cucunya jika sudah
dilakukan ritus tersebut. Karena itu, ritus tersebut juga mau menegaskan
hubungan kekal antara anak cucu dan keluarga leluhur perempuan atau istri (epu
pu’en).
Mesbah batu (lapa’) yang menjadi simbol
leluhur laki-laki dan huna lete’
(perempuan) menjadi situs sakral yang dipercaya memiliki kekuatan metafisis
untuk melindungi, memelihara dan memberi kehidupan kepada anak cucu dalam suku
bersangkutan. Dalam struktur sebuah rumpun suku, huna hale dan lapa’ tarang
tersebut, dipasang berurutan sesuai silsilah keturunan, hingga bersambung
dengan rumpun lainnya yang berasal dari satu turunan yang sama.
Dalam sistem perkawinan tradisional
Kedang, seorang perempuan yang berpindah klan mengikuti suaminya tetap memiliki
hubungan kekal dengan saudara-saudaranya. Ketika saudari (istri) tersebut
meninggal, tugas saudara-saudaranya yakni bersama anak cucu dari saudari mereka
(istri) melakukan ritus lete’ huna paheng
ahar sebagai tanda bahwa arwahnya diantar untuk menemukan kehidupan kekal
(semua penjelasan tentang ritus lete’ huna paheng ahar ini merupakan hasil
wawancara dengan Emanuel Ubuq, pegiat budaya Edang).
Dari penjelasan tersebut di atas, mari kita menelusuri makna hubungan antara Uyolewun dan Kedang. Setelah mereka membuat rumah adat mini, maka rumah tersebut akan disiram dengan air buah kelapa muda yang menjadi simbol kesuburan. Dengan menyiram air segar dari kelapa muda tersebut, maka diharapkan sebuah kehidupan subur ada pada suku atau klan bersangkutan.
Selain itu, jika dianalisis secara serius, hubungan antara makrokosmis dan simbol mikrokosmis, dapat ditemukan juga makna kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dalam makna makrokosmis, Uyolewun (laki-laki) disimbolkan sebagai gunung yang menjulang tinggi (di atas) dan Edang (perempuan) sebagai tanah Kedang seluruhnya (yang datar/ di bawah).
Kemudian, dalam simbol mikrokosmis (lete’ huna) justru kayu yang ditancap (tegak lurus/ di atas) menjadi simbol perempuan sedangkan batu lapa’ berbentuk ceper (datar) menjadi simbol laki-laki. Jadi ada hubungan timbal balik bahwa tidak selamanya laki-laki berada di atas dan perempuan di bawah tetapi keduanya setara.
Makna substansial dari ritus tersebut mau menegaskan bahwa persatuan antara laki-laki dan perempuan berbuah kehidupan yang subur dan terus berlanjut. Karena itu, perempuan dan laki-laki harus saling mangasihi dan melengkapi agar sebuah kehidupan tetap dan terus ada bagi manusia.
Menurut penulis, selain ritus tersebut, simbol mikrokosmis juga dapat ditemukan pada bentuk rumah adat Kedang (ebang huna hale) yang atapnya berbentuk menjulang tinggi seperti gunung Uyelewun dan tempat duduknya datar serta tidak ada pintu atau jendela.