3 Motivasi Orang Ingin Jadi Politisi
3 Motivasi Orang Ingin Jadi Politisi
Menjadi politisi itu panggilan nurani untuk melayani banyak
orang. Begitulah kira-kira ungkapan popular yang terdengar dari penjelasan para
politisi saat kampanye politik. Namun, apakah benar keinginan tersebut bertolak
dari dorongan nurani murni atau dorongan yang lain?
Kita tidak bisa mengetahui secara jelas isi hati
setiap orang yang ingin menjadi politisi. Rasa penasaran tersebut akan terjawab
ketika seseorang sudah menjadi politisi baik wakil rakyat, bupati, gubernur,
presiden, ketua partai dan lain-lain. ada yang bertingkah laku kotor saat sudah
sukses menjadi politisi.
Para koruptor kelas wahid di negri ini misalnya,
mayoritas adalah politisi dengan gelar akademis lebih dari satu. Ada yang sudah
bergelar Doktor tapi masih rakus. Sudah punya banyak harta tapi tamak akan harta
rakyat. Akibatnya korupsi berjemaah terjadi terus-menerus tanpa ada kata habis.
Dari pengalaman seperti itu, maka tak jarang
masyarakat kecil di kampung-kampung menyebut politik sebagai sebuah pekerjaan
yang kotor, busuk dan menjijikkan. Masyarakat sudah mengidentikkan politik
sebagai upaya tipu daya, manipulasi suara masyarakat demi mendapatkan setumpuk
uang. Dari sedikit penjelasan ini, mari kita lihat tiga hal yang menjadi
motivasi bagi orang-orang yang getol menjadi politisi.
Pertama, dapat banyak harta dengan mudah. Hampir tidak pernah
ditemukan politisi masuk daftar golongan kelas bawah yang miskin harta. Ia menjadi
miskin sebelum menjadi politisi, tetapi menjadi sultan yang punya banyak harta
setelah jadi politisi.
Hal ini sudah sangat jelas secara kasat mata. Banyak politisi
yang motivasinya hanya untuk mengejar harta. Akibatnya, tujuan untuk melayani
masyarakat ditempatkan pada nomor terakhir. Motivasi ini beralasan karena
pendapatan per bulan bagi seorang politisi, baik wakil rakyat, bupati dan
seterusnya bernilai fantastik.
Jutaan rupiah akan mereka peroleh secara instan ketika
sudah menjadi politisi. Kemana-mana harus menggunakan mobil kelas atas,
walaupun daerah yang dipimpinnya sangat rusak infrastrukturnya. Ini menjadi
contoh kasat mata yang bisa dibuktikan bahwa harta menjadi motivasi utama bukan
pelayanan.
Kedua, cari popularitas. Motivasi kedua yakni mencari
popularitas baik untuk nama personal, keluarga, golongan maupun untuk
membesarkan nama partai politiknya. Politisi jenis ini tidak akan pernah
bosan-bosannya duduk di atas kursi empuk.
Walaupun barangkali ia tidak berguna dalam melayani
masyarakat tapi dengan kekuatan modal, ia bisa membeli apa saja termasuk suara
masyarakat. Dengan popularitas dalam
karir politiknya, maka ia bisa buat segala sesuatu dengan mudah.
Selain itu, politisi jenis ini juga akan selalu menjaga nama baik untuk personal dan rekan setim dalam partai. Walaupun misalnya, rekannya melakukan kejahatan Politik, ia akan mati-matian membela dengan dalil-dalil tertentu.
Kemudian, ketika ada hajatan Pemilu, politisi berkarakter ini akan berjuang mati-matian mencari kader potensial (terlebih dari segi modal) untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Akibatnya, kejahatan politik yang dibuat baik oleh diri sendiri maupun rekan separtai bisa dijaga kerahasiaannya. Sebab kekuasaan adalah kekuatan untuk menyembunyikan kejahatan politik. Hal ini sudah lumrah di negri ini.
Ketiga, melayani banyak orang. Motivasi ketiga ini adalah
motivasi yang sesuai dengan harapan masyarakat banyak. Ada politisi yang
berjuang sungguh-sugguh melayani masyarakatnya. Bahkan dengan dasar ini, ia
bisa melawan rekan separtainya yang berbelok haluan. Ia bisa juga dengan
lantang melawan ketua partai bahkan keluar dari partai demi menjawab motivasi
melayani masyarakat.
Motivasi ini mestinya dimiliki oleh setiap politisi. Banyak
masalah sosial mesti segera diatasi secara tegas. Berani katakan benar dan
salah walaupun berada dalam satu partai. Motivasi melayani terlihat dari
kejujuran menyampaikan dinamika politik, transparansi, berani melawan kejahatan
politik dan lain-lain.
Menjadi pelayan berarti, ia sungguh merasakan apa yang
dirasakan masyarakat. Ia mesti tinggal bersama masyarakat bukan membangun
istana pribadi atau rumah yang jauh dari masyarakat. Ia tidak boleh memperalat
masyarakat dengan iming-iming jabatan atau PNS demi menjawab kerakusan
pribadinya. Ia mesti tulus.
Melayani masyarakat berarti turut terlibat bersama masyarakat dan polisi membongkar kejahatan-kejahahatan politik yang terjadi bukan sebaliknya bungkam dan cuci tangan seperti Pilatus.
Kita mengharapkan
momen Pemilu 2024 mendatang, para calon politisi atau yang sudah menjadi
politisi memiliki motivasi yang ketiga yakni melayani dengan tulus.