Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Bangun Desa dengan Spirit Ka Le’ Matan

Ka le’ matan merupakan sistem birokrasi tradisional yang disusun secara sistematis oleh orang Kedang, Lembata sebelum adanya pemerintahan formal yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sistem tradisional tersebut dipakai di setiap kampung di Kedang. 

Namun, saat ini, sistem ini sudah jarang dipakai oleh orang Kedang dalam mengatur kehidupan bersama karena semuanya sudah diatur oleh Pemerintah Desa.

Sistem ini menjadi kekhasan dalam proses pengambilan kebijakan politis demi kesejahteraan sosial di suatu Kampung tertentu. 

Dengan demikian, pernyataan dari Soekarno bahwa salah satu sistem kekeluargaan masyarakat desa ialah ikatan kekeluargaan yang dipimpin oleh beberapa orang tua atau sesepuh yang memediasi sebuah keputusan sosial lewat musyawarah mengarahkan dan melindungi kepentingan bersama sangat relevan dengan konsep birokrasi tradisional di Kedang. Adapun pembagian tugas dan fungsi dalam konsep ka le’ matan sebagai berikut:

Pertama, Tubar

Secara harafiah, tubar berarti “kepala.” Tugas atau fungsi dari kepala yakni sebagai pemimpin, pembicara dan pengambil keputusan terakhir atau dalam bahasa daerah disebut sebagai buka’ nute loeng toye’, tutu’ wula loyo, bading leu awu’, tebe’ lipu mutung, bara’ mapa’, bading kahin, tehe’ hoing.

Tubar juga disebut sebagai meker mukur lubi lalung atau pemegang hak kesulungan. Tubar yang dimaksudkan ditujukan kepada salah satu klan yang ada di sebuah Kampung. Klan tersebut diakui sebagai pemilik duli uhe (ulayat) di kampung tersebut. Oleh karena itu, klan tersebut berhak menjadi tubar. Salah satu tetua adat dalam klan bersangkutan akan menjadi pembicara yang mengatur kehidupan sosial masyarakat pada satu kampung tertentu.

Sebagai tubar berarti, ia memiliki tanggung jawab kepemimpinan dan dalam kaitan dengan keadilan, ia membagi tugas-tugas kepada klan-klan lain. Dalam sistem pemerintahan ini, yang bertugas sebagai tubar harus benar-benar bertanggung jawab terhadap keputusannya. Sebab, keputusan tersebut memiliki konsekuensi adat.

Hal ini sangat diakui oleh orang Kedang karena sebagai tubar, ia sudah melekat dengan leu awu’ (kampung dan tanah), leluhur (tuan wo’) dan wujud tertinggi (wula loyo). Bahkan proses pelantikan dalam mengemban tugas-tugas ini dilakukan dengan melewati seremonial sakral yang disebut sebagai hala’ sayin.

Seremonial ini dilakukan di tengah kampung (leu puhe alang aya’), di sebuah tempat strategis. Untuk menandakan tempat tersebut, maka mereka akan menanam salah satu pohon rita (ite sayin) dan di sekitar pohon tersebut, diletakkan batu-batu sesajian yang sangat sakral. Ungkapan untuk menegaskan bahwa leu puhe alang aya’ merupakan tempat sakral yakni leu utin tene ramu’ uli’ or wowo tali eu’, nute todi tohe’ hen.

Oleh karena itu, tugas yang diterima khusus oleh tubar harus dijalankan dengan penuh kebijaksanaan dan rasa tanggung jawab. Orang Kedang sangat mentaati ritual hala’ sayin, karena ada sumpah dengan mengurbankan hewan. Setiap tetua yang dipilih dalam birokrasi ka le’ matan akan menyatakan kesiapaannya secara total pada momen hala’ sayin tersebut.

Kedua, Hikun Wanan

Tugasnya sebagai aya’ laing “pelayan” atau kaleka bote bei, oli tubar owe lein, potal wowo hobel eu’. Selain bertugas sebagai pelayan, ia juga sebagai penimbang sebuah keputusan sebelum tubar meratifikasi keputusan final.

Jadi, sebuah keputusan dianggap sah jika sudah mendapatkan catatan kritis dari hikun wanan. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi tradisional sudah dihayati oleh orang Kedang sejak dulu. Dalam sistem ini, bukan hanya tubar yang menjadi pengambil kebijakan tunggal melainkan ia juga mendengarkan aspirasi dari pihak hikun wanan.

Secara harafiah, hikun wanan berarti “bagian kanan atau tangan kanan.” Misalnya, mereka mengurbankan seekor sapi atau hewan kurban lainnya, maka kepala bagian kanan dari hewan kurban tersebut akan menjadi milik hikun wanan tubar akan mendapatkan bagian rahang hewan sebagai simbol pembicara atau pengambil keputusan.

Ketiga, Hikun Weri

Secara harafiah, hikun weri berarti “bagian kiri atau tangan kiri.” Tugasnya sama dengan hikun wanan sebagai pelayan dan penimbang sebuah keputusan.

Keempat, Ebon

Secara etimologis, ebon berasal dari kata ebo yang secara harafiah berarti “ekor.” Ebon juga sering disebut sebagai lein. Kata lein berasal dari kata lei “kaki” yang menggambarkan sebuah klan sebagai anak bungsu atau dalam proses dorong dope’ (migrasi), suku tersebut datang terakhir ke kampung tersebut.

Sebagai ebon atau bungsu, ia dijuluki sebagai tu’u wutu’ lama uring (Dalam wawancara dengan Emanuel Ubuq, ia juga menegaskan bahwa ebon bertugas sebagai tutu’ wutu’ atau pembicara kritis yang terakhir. Artinya, setelah klan lain berbicara memberikan masukan, mereka juga akan mendengarkan masukan dari klan ebon).

Ia akan mendapatkan tugas sebagai do’ duli atau ewa saka ne duli uhe pali ara, do’ nulo keu dei. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ebon bertugas sebagai bala tentara penjaga Kampung. Jadi, ketika ada perang misalnya, maka, ebon ditugaskan untuk lebih dulu maju ke medan perang dan menjadi yang terakhir kembali ke rumah atau Kampung.

Ia juga bertugas sebagai humas. Jika ada kegiatan besar di Kampung, maka ebon akan menjalankan tugasnya sebagai humas yakni memberitahukan pesan dari tubar kepada semua klan lain di Kampung tersebut.

Dari semua pembagian tugas tersebut, bisa disimpulkan bahwa sistem demokrasi tradisional orang Kedang sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan kekeluargaan. Masing-masing klan saling mengakui otoritasnya dan menjalankan tugasnya sebagaimana janji yang dikukuhkan pada ite sayin di leu puhe alang aya’.

Namun, dalam penelusuran penulis, sistem seperti ini juga seringkali dipolitisasi oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki kepentingan lain. Biasanya, klan yang berperan sebagai tubar (leu murun awu’ wala: pemegang ulayat) tidak dihormati sehingga melahirkan perpecahan dalam tubuh ka le’ matan. Hal ini merupakan dinamika sosial yang hampir dialami oleh semua Kampung di Kedang.


Spirit untuk Bangun Desa

Terlepas dari dinamika sosial tersebut di atas, sesungguhnya, makna kerakyatan sangat nampak dalam sistem ka le’ matan. Sebab, semua klan atau masyarakat dalam kampung tertentu dilibatkan dalam proses musyawarah-mufakat demi cita-cita bersama. Menurut Soepomo, pandangan hidup masyarakat tradisional tidak dapat diabaikan dalam proses membangun sistem masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, orang Kedang mesti menimbah spirit dari konsep ka le’ matan. Misalnya, gotong-royong, tanggung jawab terhadap tugas-tugas sosial, demokrasi dan seterusnya, dalam membangun kampung atau Desa.

Setiap pemimpin yang mengatur Desa mesti juga memahami kearifan lokal yang ada di Desa tersebut untuk mempermudah melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat – termasuk aspek sejarah. Pemimpin Desa harus memahami betul latar belakang sejarah suku-suku dan Kampung atau Desa yag dipimpinnya.

Salah satu poin penting dalam sistem ka le’matan yakni bo’ bati’ lekan doro’ (keadilan sosial). Karena itu, sebagai orang Kedang, prinsip keadilan mesti dijunjung tinggi. Poin lainnya yakni, adanya hala’ sayin atau sumpah-janji.

Tentu saja maksud dari hala’ sayin agar setiap pemimpin Desa dan jajarannnya memiliki komitmen yang konsisten, memberikan diri kepada Wula Loyo-Leu Awu’, Leluhur kampung, juga alam semesta. Karena itu hala’ sayin atau pelantikan resmi untuk para pemimpin Desa tidak boleh dilihat sebagai hal yang sepele.

Selain itu, setiap peimpin Desa mesti memiliki empat peran sekaligus dalam mengatur Desa yakni peran sebagai tubar, liman wanan, liman weri, dan ebon. Selain sebagai pembicara atau pengambil keputusan (bading wala), juga mental melayani (aya’ laing), pelindung desa (ebon) dan seterrunya.

Dalam sistem ka le’ matan juga cara kerja birokrasi yang transparan sangat dianjurkan karena sesuai dengan kearifan lokal Kedang. Maka, keuangan Desa, visi-misi, dan lain-lainnya, mesti diketahui publik Desa, salah satunya yakni melakukan sosialisasi kepada semua masyarakat, bukan hanya kepada orang dekat atau yang dianggap hanya membeo.

Sosialisasi dimaksud paralel dengan konsep musyawarah-mufakat atau bongan we’ dalam bahasa Kedang. Bongan (leher) merupakan penghubung antara kepala (otak) dan dada (hati). Maka, dalam konsep bongan we’, kecerdasan otak dan pertimbangan jernih hati nurani mesti disatukan agar sebuah keputusan bisa dilahirkan secara bijaksana, bukan sekadar wowo rai (pintar omong karena ada dasar pendidikan formalnya).

Oleh Antonius Rian Odel

Sumber: Hasil wawancara dengan Emanuel Ubuq dan Yohanes Teheq. Baca juga buku Pancasila Kekuatan Pembebas (2012).