Pemda Lembata, Belajarlah pada Komunitas Taman Daun!
Pemda Lembata, Belajarlah pada Komunitas Taman Daun!
Beberapa
waktu lalu, seantero Lembata sempat dihebohkan dengan aksi gemohing – bahasa lamaholot yang berarti gotong-royong – yang dilakukan
oleh sekelompok masyarakat, terdiri atas Komunitas Taman Daun, TNI dan
masyarakat lain.
Kegiatan
luar biasa ini dikoordinasi oleh Komunitas Taman Daun yang selama ini sudah
sangat berjasa melakuan aksi-aksi sosial tanpa perlu menunggu dukungan atau intervensi
pemerintah daerah Lembata.
Pertanyaannya
ialah; mengapa Komunitas Taman Daun melakukan kegiatan semacam itu? Tentu saja
jawaban yang mungkin paling benar karena di Lembata masih terdapat banyak
caru-marut sosial yang bahkan tak mampu diselesaikan oleh Pemerintah Daerah
setempat.
Kita
ingat sebuah aksi sosial yang mereka lakukan di Tobotani Kedang, atau membantu
seorang mama yang rumahnya tidak
layak huni di Desa Leudanung, atau juga membantu para pengungsi korban erupsi
Ile Lewotolok dan masih banyak lagi.
Aksi-aksi
heroik berorientasi bonum comunne ini
mesti mendorong Pemerintah daerah setempat untuk lebih banyak mengevaluasi
diri. Apa yang salah dalam sistim pemerintahan Lembata sehingga masyarakat
sendiri mengambil inisitif untuk meraih cita-cita politisnya sebagaimana yang
pernah dikampanyekan oleh para politisi menjelang Pemilihan Umum?
Kita
juga merasa heran. Sebab sampai saat ini, pemerintah belum memberikan tanggapan
atas aksi-aksi sosial yang dilakukan oleh KTD khususnya perbaikan jalan di
jalur selatan.
Apa
tanggapan Pemda soal ini? Apakah merasa biasa-biasa saja, apatis, atau tidak
mau tahu? Mestinya, Pemerintah Lembata melihat kegiatan ini secara integral. Artinya,
Pemda mesti terlibat untuk mendukung kegiatan seperti ini agar beban yang
dipikul oleh masyarakat – yang direpresentasi oleh komunitas Taman Daun – bisa lebih
ringan.
Bukan
sebaliknya berdebat soal gaji, honor, tunjangan dan lain-lain yang bernilai
fantastis. Mau dapat uang banyak tapi jalan ke arah selatan dibangun oleh
Komunitas Taman Daun dan masyarakat lainnya. Apalah Pemda tidak merasa malu? Orang
larantuka bilang: malu dike ka. Merasa
malu, karena Pemda tidak mampu mengurus masyarakatnya. Titik.
Di
saat masyarakat bergotong-royong mamperbaiki jalan yang sebenarnya dan
seharusnya adalah tugas utama Pemda, kita mendengar isu soal peletakkan batu
untuk Rumah Jabatan Bupati. Lalu Rujab yang ada sekarang mau dibakar? Ah, Pemda
terkesan boros dan apatis terhadap kebutuhan primer masyarakat.
Belajar pada Taman Daun
Pada
sebuah kesempatan diskusi daring,
John Batafor sebagai pembicara mewakili Komuitas Taman Daun, mengatakan salah
satu poin yang menurut saya sangat penting. Menurutnya, menjadi pemimpin
politik berarti harus berani menjadi miskin.
Pertanyaanya;
apakah para politisi yang ada di Lembata saat ini berani menjadi orang miskin? Atau
sebaliknya menuntut tunjangan besar tanpa keseimbangan pelayanan publik? Memaksa
menaikan tarif di pelabuhan yang merugikan para buruh tanpa memerhatikan fisik
pelabuhan adalah salah satu contoh bahwa Pemda Lembata tidak peka dan tidak
berani menjadi miskin.
Menjadi
miskin berarti, setiap politisi khususnya yang ada dalam lingkaran meja
perjamuan Pemda Lembata mesti ber-gemohing
untuk menuntaskan masalah-masalah sosial di Lembata tanpa cengeng dengan gaji dan tunjangan yang fantastis.
Menjadi
miskin berarti Bupati harus berani menetap dengan nyaman di Rumah Jabatan Bupati
Lembata bukan mengungsi ke Kumaresort. Pindah ke Kumaresor yang jauh dari
masyarakat menjadi indikasi bahwa seorang pemimpin publik tidak berani menjadi
miskin dan tidak mau hidup bersama orang Lembata di tengah kota.
Oleh
karena itu, mau tak mau, Pemda Lembata mestinya belajar lagi cara berpolitik
yang benar pada Komunitas Taman daun yakni ber-gemohing. Dalam spirit gemohing,
Pemda Lembata diharapkan meninggalkan egoismenya yang menjadi barang haram
dalam membangun Lembata.
Dalam
spirit ini yang dibutuhkan adalah ketulusan melayani bukan dilayani,
bertanggung jawab terhadap pembangunan bukan menciptakan proyek mangkrak tanpa
merasa beban. Ya, barangkali tidak ada beban dalam diri Pemda karena mereka sudah
nyaman dengan segala harta benda yang diberikan oleh tanah Lembata. Hanya orang
yang bernurani
Lembatalah yang merasa dirugikan dengan proyek mangkrak, Awololong
misalnya.
Sekali
lagi, belajarlah pada Komunitas Taman Daun agar masyarakat Lembata merasakan
suatu pelayanan total bukan membuang-buang anggaran untuk proyek-proyek yang
bermasalah. Karena itu, tidak salah jika ada sebagian masyarakat menilai bahwa Lembata Negeri Kecil Salah Urus sebagaimana buku yang ditulis oleh P. Steph
Tupeng Witin, SVD.