Tanggapan Atas Artikel Rian Odel, “Jalan Tengah Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan”
Tanggapan Atas Artikel Rian Odel, “Jalan
Tengah Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan”
Oleh Vallen Ukat Kontributor |
Di tengah menguatnya pengaruh kapitalisme dalam setiap segi kehidupan manusia saat ini, kehadiran kritik-kritik sistematis logis terhadap setiap kebijakan pemerintah menjadi suatu kompas penunjuk arah yang sangat diperlukan. Kritik-kritik seperti ini mengambil peran kontrol bagi pemerintah untuk tetap mawas diri dalam mengambil setiap kebijakan agar setiap kebijakan yang diambil tetap pro rakyat ketimbang kepentingan korporasi atau kelompok tertentu.
Artikel Rian Odel, “Jalan Tengah
Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan” merupakan salah satu kritik
sistematis logis yang turut menghadirkan suatu arahan kepada pemerintah untuk
mawas diri dalam mengambil keputusan, terkhusus soal berhadapan dengan
masyarakat hukum adat. Perlu diketahui bahwa kritik seperti ini selalu lahir
dari suatu keprihatinan akan dampak dari kebijakan pemerintah bagi masyarakat
tertentu sehingga seharusnya artikel Rian Odel ini relevan untuk dibicarakan,
ditelaah, atau bahkan diperhadapkan langsung kepada pemerintah untuk
ditindaklanjuti. Oleh karena itu, tanggapan saya ini akan berupa suatu telaah
yang diusahakan untuk turut mengafirmasi gaung waspada kepada pemerintah yang
terkandung dalam artikel Rian Odel sekaligus memperluasnya dalam suatu
pembahasan yang juga sistematis logis.
Masyarakat Hukum Adat vs Pemerintah
Masyarakat
hukum adat sudah diakui eksistensinya sejak lama dalam UUD 1945 Pasal 18, serta penjelasannya
tentang “zelfbestuurende landschappen”
(daerah-daerah swapraja) dan “volksgemeenschappen”
(masyarakat adat). Amandemen UUD 1945 menempatkan isu masyarakat adat pada pasal
18 B ayat 2 tentang pemerintahan daerah dan pasal 28 ayat 3 tentang Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM).[1] Dalam
undang-undang ini, pemerintah disebutkan berkewajiban untuk menghormati hak-hak
usul daerah-daerah bersangkutan.[2]
Meskipun
begitu, tampaknya seringkali terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat
hukum adat yang diakibatkan oleh kealpaan sikap hormat pemerintah dalam
kebijakannya terhadap hukum adat yang merupakan representasi dari “hak-hak usul
daerah bersangkutan” milik masyarakat hukum adat.
Sebagai
contoh, Rian Odel telah menunjukkan konflik yang terjadi antara masyarakat
hukum adat di desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Lembata dengan pemerintah
yang terjadi akibat kebijakan pengambilan tanah adat untuk kebutuhan
pariwisata.[3]
Contoh lain adalah konflik antara masyarakat Besipae, TTS dengan pemerintah
yang juga terjadi akibat kebijakan pemerintah yang menampilkan kealpaan rasa
hormat terhadap “hak-hak usul daerah bersangkutan”.[4]
Konflik
antara masyarakat hukum adat dan pemerintah pada dasarnya merupakan konflik
yang tidak seimbang. Seperti yang dijelaskan Rian Odel dalam artikelnya,
pemerintah memiliki semacam pendukung legal berupa undang-undang dan kekuatan
militer yang selalu membuatnya unggul dalam konflik dengan masyarakat hukum
adat yang sudah sejak awal terlihat kalah karena ”minim modal kekuasaan”.[5]
Ketidakseimbangan
inilah yang seringkali menciptakan-dalam bahasa Rian Odel-pemerkosaan terhadap
hak-hak masyarakat hukum adat oleh pemerintah sekaligus kealpaan rasa hormat dalam
pengambilan kebijakan pada “hak-hak usul daerah” milik mereka. Dalam tanggapan
saya ini, saya hendak melihat lebih jauh lagi mengenai konflik masyarakat hukum
adat melawan pemerintah ini untuk menemukan alasan logis di baliknya sekaligus
mencoba untuk memperluas pembahasaan Rian Odel melalui kacamata lain yang
mungkin dapat memberikan penjelasan yang sedikit lebih menukikpada inti
permasalahan.
John Locke dan Utilitarisme
Seperti
yang dijelaskan oleh Rian Odel dalam artikelnya, John Locke mendukung hak a prima facie yang merupakan hak yang
sudah dimiliki individu sebelum adanya negara (hak pra-negara). Hal ini
dikaitkan dengan pendapat Locke mengenai keadaan alamiah manusia yang
sebenarnya penuh kedamaian. Kedamaian ini juga mengartikan kepemilikan individu
atas hak-haknya (Locke menyebutnya sebagai natural
life yakni right to life, health,
freedom and property preservation).
Keberadaan hak-hak individu ini berpotensi untuk menghancurkan keadaan alamiah yang penuh kedamaian sehingga dibentuklah negara sebagai suatu entitas yang diperuntukkan sebagai pengatur penggunaan hak-hak alamiah sehingga keadaan damai yang merupakan keadaan alamiah manusia bisa tetap terjaga.[6]
Karena
negara sebenarnya dibentuk untuk menjaga keadaan alamiah manusia, maka negara
sudah seharusnya menjaga dan memperjuangkan hak masing-masing individu untuk
dipenuhi. Di sini, hak individu menjadi lebih penting dibandingkan dengan
kepentingan negara. Dalam kaitan dengan hak masyarakat adat, pemikiran Locke
memberikan suatu afirmasi yang mengharuskan pemerintah untuk memperhatikan
hak-hak mereka (sekaligus menghormati setiap kearifan yang terkandung dalam tubuh
masyarakat hukum adat termaksud) dalam mengambil suatu kebijakan tertentu
termasuk pembangunan.
Di
sini, pemerintah harus sadar akan fungsinya sebagai penyelenggara fungsi negara
yang seharusnya menjaga hak-hak individu (hak pra-negara) masyarakatnya. Pemikiran
Locke, seperti yang dijelaskan oleh Rian Odel dalam artikelnya, bertentengan
secara tajam dengan paham utilitarisme. Paham utilitarisme menekankan prinsip
kegunaan atau manfaat. Suatu tindakan menjadi benar jika tindakan itu berguna
atau mendatangkan manfaat.
Kegunaan
atau manfaat yang dimaksud adalah mendatangkan kebahagiaan (happiness) sebesar mungkin bagi sebanyak
mungkin orang (the greatest good to the
greatest number).[7]
Yang diprioritaskan di sini adalah “sekian banyak orang” yang tentu saja tidak
akan mencakupi “semua orang”. Oleh karena itu, paham utilitarisme mengizinkan
pelanggaran hak beberapa orang/individu (minoritas) demi pencapaian kebahagiaan
“sekian banyak orang” (mayoritas). Suatu kebijakan dianggap berhasil jika
kebijakan itu mendatangkan kebahagiaan (menjauhkan penderitaan) bagi sebanyak
mungkin orang, meskipun kebijakan itu malah mendatangkan pederitaan bagi
beberapa orang. Di sini, tujuan untuk menghadirkan kebahagiaan dapat melegalkan
segala cara termasuk pelanggaran hak-hak dasariah individu.
Meski
paham utilitarisme secara garis besar menekankan prinsip manfaat dari suatu
tindakan yang mendatangkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang, tetap perlu
ada suatu pemahaman yang jelas akan perbadaan dari paham utilitarisme milik
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Bagi Jeremy Bentham, hak individu hanya
dapat terbentuk jika ada pemerintahan. Hak itu dilegalkan oleh hukum yang
diciptakan oleh negara sehingga hak individu tidak boleh lebih tinggi dari
kepentingan negara.
Bentham
menyebut hak-hak asasi sebagai dangerous
nonsense, rhetorical nonsense yang mana menjadikan penggunaan terhadap
hak-hak asasi sebagai sebuah kejahatan moral dan tidak ramah terhadap kedamaian
publik.[8]
Hal ini berarti penggunaan terhadap hak-hak asasi oleh individu hanya akan
menghambat negara (pemerintah) untuk mengusahakan kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin orang, sehingga hak-hak tersebut seharusnya tidak digunakan atau bahkan
ditiadakan saja.
Pemikiran
John Stuart Mill tentang konsep utilitarisme lebih pro hak prbadi dibandingkan
dengan Bentham. Mill menyebut suatu tindakan menjadi benar sejauh seimbang
dengan kecenderungan tindakan tersebut untuk mempromosikan kebahagiaan.[9] Menurut
Mill, negara yang menjamin manusia secara individual/kolektiktif sekaligus yang
menjamin kekuasaan atas orang/kolektif akan menciptakan konflik positif yang
mampu saling membatasi antara hak individu dan kepentingan negara sehingga
tidak ada yangg menjadi satu-satunya pembenaran.[10]
Mill
mengelaborasikan peran individu dari setiap manusia yang mampu bertindak egois
demi kepentingannya sendiri dan demi kebahagiaan banyak orang meskipun
kebahagiaannya sendiri ia korbankan demi kebahagiaan dari jumlah terbanyak yang
mendapat kebermanfaatan.[11]
Di sini, terlihat bahwa meskipun konsep Mill tentang utilitarisme sedikit lebih
pro hak individu dibandingkan dengan konsep utilitarisme Bentham, tapi pada
akhirnya hak individu itu akan dikorbankan demi kebahagiaan yang lebih besar
yaitu kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good to the greatest number), sebab pengorbanan
seperti itu merupakan suatu tindakan yang mempromosikan kebahagiaan terbesar
sehingga menjadikannya sebagai tindakan yang benar menurut Mill.
Konsep
utilitarisme tampaknya membahayakan eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat
apalagi jika masyarakat hukum adat yang dimaksud hidup sebagai minoritas. Di
sini, pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat akan menjadi lumrah
selama pemerintah mengenakan alasan “demi kebahagiaan sebanyak mungkin orang”
dalam setiap pengambilan kebijakan. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa
disalahkan apabila suatu pembangunan memperkosa hak-hak masyarakat hukum adat
di suatu desa karena pembangunan itu mungkin akan berguna masyarakat kebanyakan
dalam suatu kabupaten.
Konflik Antara Masyarakat Hukum
Adat dan Pemerintah dalam Kaca Mata
Marxisme
Setelah
membandingkan konsep Locke dan utilitarisme seperti yang dibuat Rian Odel dalam
artikelnya, saya menemukan fakta lain mengenai konflik antara masyarakat hukum
adat dan pemerintah yang justru tidak dapat dibahas dalam kerangka pemikiran
Locke maupun paham utilitarisme.
Fakta
tersebut ialah pengaruh kapitalisme yang juga turut mengambil bagian dalam
konflik ini (dan mungkin malah memainkan peran yang paling urgen). Oleh karena
itu, pada tahap ini, saya hendak membahas keterkaitan kapitalisme dalam koflik
masyarakat hukum adat melawan pemerintah dalam kerangka Marxisme.
Campur
tangan kapitalis dalam konflik masyarakat hukum adat dan pemerintah tidak
terlepas dari status Indonesia sebagai negara kapitalis pinggiran yang rentan
terpengaruh terhadap ekspansi kapital. Hal ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu, pertama, negara-negara pinggiran
cenderung memiliki posisi tawar yang lemah di hadapan kapital akibat
keterbatasan sumber daya ekonomi dan teknologi.[12]
Akibatnya
adalah keberpihakan pemerintah terhadap kapitalis terutama para pemilik modal
swasta negeri maupun luar negeri di atas penderitaan rakyatnya sendiri.[13] Kedua, di negara-negara kapitalis
pinggiran, organisasi rakyat tidak tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh intervensi negara yang mendisiplinkan warganya demi ekspansi
kapital di negaranya[14]
dan kemampuan kaum kapitalis untuk berkompromi dengan realitas dan mencoba
mendepolitisasi masyarakat baik secara langsung maupun tak langsung sehingga
membuat masyarakat merasa terikat dan karena itu, tidak punya kemampuan untuk
melawan ekspansi kapital yang eksploitatif itu.[15]
Karena
dua alasan di atas, pemerintah akhirnya “bersahabat baik” dengan kapitalis
sehingga justru malah sama-sama mengeksploitasi masyarakat termasuk masyarakat
hukum adat dengan dalil pembangunan. Di sini, persahabatan antara pemerintah
dan kapitalis malah lebih terlihat sebagai pegendalian kapitalis atas negara yang
mana negara dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan kapitalis.
Tentu
saja masyarakat yang dirugikan di sini. Hal ini lebih diperparah lagi dengan
adanya kecenderungan pemerintah untuk turut merasakan kenikmatan menjadi
kapitalis yang mengubahnya menjadi oligarki yang terus mengeksploitasi negara
tanpa memperhatikan warganya termasuk masyarakat hukum adat. Dengan demikian, “hak-hak
usul daerah setempat” milik masyarakat hukum adat yang tertera dalam UUD 1945
akan dengan mudahnya diperkosa demi mencapai kepentingan kapitalis dan juga
pemerintah (yang juga kapitalis).
Terkait
dengan pencaplokkan tanah adat demi pembangunan, seperti yang diangkat oleh
Rian Odel dalam artikelnya, Marx menceritakan pencaplokkan di Inggris sebagai
berikut:
Sedangkan
tempat kaum pegawai dan perwira rendahan telah diambil oleh para penyewa
sekehendaknya, para pengusaha pertanian kecil berdasarkan sewa-sewa tahunan,
suatu gerombolan menghamba yang tergantung pada kehendak sewenang-wenang para
tuan-tanah, pencurian wilayah-wilayah negara, dalam membengkakkan
perusahaan-perusahaan pertanian besar yang disebut perusahaan-perusahaan
kapital abad ke XVIII (Eden, xvii, xix), atau perusahaan-perusahaan pertanian
saudagar (Capital Farms) dan dalam
“membebaskan” penduduk agrikultural sebagai suatu proletariat untuk
keperluan-keperluan industri.[16]
Terlihat
bahwa kapitalis mencaplok tanah demi kepentingannya sendiri meskipun itu
dinegosiasikan oleh pemerintah dengan dalil pembangunan. Ironisnya,
pencaplokkan tanah ini akan menimbulkan koflik horizontal antar-masyarakat
kelas bawah (dalam hal ini masyarakat hukum adat). Kehadiran kapitalis di tanah
yang dicaplok akan menyediakan lowongan pekerjaan bagi sebagian besar
masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang memperoleh keuntungan dari pencaplokkan
tanah tersebut akan terlibat konflik dengan masyarakat lain yang tetap
memperjuangkan tanah milik mereka (tanah adat). Lebih parahnya lagi, hal ini
juga sering dipraktekkan pemerintah demi mencapai kepentingannya soal tanah.
Di
NTT sendiri, dengan berkembangnya industri pariwisata, koorporasi pariwisata
terus merangsek masuk mencari lahan strategis untuk menginvestasikan modalnya
di sektor pariwisata.[17]
Hal ini tidak jarang mengeksklusi masyarakat asli (masyarakat hukum adat) dari
beberapa tempat dan lokasi publik yang mungkin menjadi tanah pusaka milik
mereka yang mempunyai kearifannya tersendiri.
Di
Labuan Bajo, Lembata dan Timor sudah terdapat banyak tanah adat yang berubah
menjadi tempat hiburan untuk pariwisata. Di tengah situasi yang sulit seperti
ini, tidak heran jika banyak kali masyarakat adat selalu melawan pelbagai upaya
privatisasi lahan-lahan adat demi kepentingan perkembangan modal pariwisata.
Catatan Kritis
Setelah
melihat lebih dalam mengenai konflik antara masyarakat hukum adat dan
pemerintah, nyata bahwa konflik ini jauh lebih kompleks dari pada soal
penghargaan terhadap hukum adat yang diangkat oleh Rian Odel dalam artikelnya.
Saya melihat bahwa Rian malah kurang menukik dalam menjelaskan konflik antara
masyarakat hukum adat dan hegemoni kekuasaan. Pembahasan Rian masih pada
tatanan hubungan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah dengan sedikit
“senggolan yang hati-hati” pada keterlibatan kapitalis dalam konflik tersebut
(Rian memakai rumusan: “kekuasaan yang diduga berjubah kapitalisme”).
Menurut
saya, keterlibatan kapitalis dalam konflik antara masyarakat hukum adat dan
pemerintah harusnya dipertontonkan secara jelas dan blak-blakan, bukan hanya
disentil sedikit dengan penekanan yang sangat hati-hati. Mungkin hal inilah
yang membuat artikel Rian ini sedikit agak kabur arahnya.
Rian
seperti terperangkap dalam dilema antara kewajibannya untuk setia pada konflik
masyarakat hukum adat dan pemerintah sebagai pokok bahasan dan keinginannya
untuk membahas perihal Lembata. Maksud saya, apakah perihal konflik masyarakat hukum
adat dan pemerintah yang menjadi pokok bahasan dan perihal Lembata menjadi
contoh peristiwa yang menguatkan dugaan adanya pemerkosaan hukum adat oleh
pemerintah dalam konflik tersebut ataukah perihal Lembata-lah pokok bahasannya
dan pemerkosaan hukum adat menjadi simpulan yang diperoleh dari pengamatan atas
perihal Lembata? Di sini, Rian masih belum menunjukkan kejelasannya dalam
memilih alur yang pas.
Saya
juga melihat kurangnya penekanan Rian pada “jalan tengah” yang hendak dia usulkan
dalam artikelnya melalui rekomendasi penutup. Penekanannya pada ide Levinas dan
Habermas sebagai solusi tampaknya hanya akan menjadi suatu ide sambil lalu yang
tidak akan dimengerti karena minimnya penjelasan lebih lanjut yang bisa menjadi
panduan ke arah mana orang harus berpikir.
Lagi
pula, artikel Rian akan lebih relevan apabila dihidangkan kepada masyarakat
hukum adat sehingga kurangnya penjelasan lebih lanjut mengenai ide Levinas dan
Habermas sebagai solusi atau jalan tengah bagi konflik antara masyarakat hukum
adat dan pemerintah hanya akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat hukum
adat yang membacanya.
Meskipun
begitu, jalan tengah kedua yang Rian hadirkan dalam menghadapi konflik antara
masyarakat hukum adat dan pemerintah merupakan suatu solusi yang menurut saya
paling relevan dan konkret. Dengan adanya LSM atau organisasi sosial yang
membimbing dan memberdayakan masyarakat hukum adat untuk mengerti hak-hak
mereka, perjuangan mempertahankan hukum adat beserta segala kearifannya akan
lebih terarah dan terorganisasi.[18]
Hal
ini memberi kemungkinan kepada masyarakat hukum adat bahwa perjuangan mereka
tidak akan hanya habis sia-sia seperti perjuangan untuk menegakkan benang
basah. Di sini, haruslah dimengerti bahwa dalam memberdayakan masyarakat hukum
adat, organisasi massa tidak boleh bertindak sebagai subyek pengetahuan dan
subyek organisasi, sedangkan masyarakat hukum adat sebagai obyek pengetahuan
dan obyek organisasi yang didikte dan dicecoki pengetahuan dan tujuan-tujuan
tertentu.[19]
Dengan
kata lain, seperti yang dikatakan Freire[20],
organisasi massa tidak datang hanya untuk mengajarkan rakyat, tetapi juga
belajar dari rakyat sebab percuma masyarakat hukum adat itu digerakan
sedemikian rupa tetapi dari dirinya sendiri tidak lahir suatu kesadaran pribadi
untuk melawan ketidakadilan yang ia peroleh dan memperjuangkan haknya sendiri.
Akhirnya,
seperti yang sudah saya singgung di awal, terlepas dari semua hal yang telah
saya kritisi, artikel Rian ini merupakan suatu kritik yang sangat dibutuhkan di
zaman ini. Melalui kritiknya, Rian telah memenuhi hakekat dirinya sendiri
sebagai mahasiswa Filsafat yang mengabdikan dirinya pada realitas masyarakat.
Rian
juga tidak lupa mengakui jati dirinya sebagai putra Lembata yang selalu ingin
menjaga warisan budayanya dan membangun kampung halaman melalui
tulisan-tulisannya demi masa depan. Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila
pada titik ini saya menyebut Rian sebagai gembala tradisi dan nabi masa depan
yang sedang berproses menuju kesempurnaan.***
[1]John Haba, ”Realitas Masyarakat
Adat di Indonesia: Sebuah Refleksi” dalam Jurnal
Masyarakat dan Budaya, Vol.12, No.1, 2010, hlm. 257.
[2]Terdapat inkonsistensi dalam
pengalimatan di sini, sebab pasal 18 B ayat 2 menggunakan istilah “masyarakat
hukum adat” sedangkan pasal 28 ayat 1 merujuk pada masyarakat tradisional.
Kedua pasal ini sebenarnya merujuk pada entitas yang sama, yakni “masyarakat
adat”. Ibid.
[3]Rian Odel, “Jalan Tengah
Masyarakat Hukum Adat dan Hegemoni Kekuasaan”, https://www.rianodel.online/2020/09/jalan-tangah-masyarakat-hukum-adat-dan.html?m=1,
diakses pada 15 Februari 2021.
[4]“Tetua Adat Buka Suara Soal
Konflik Lahan di Besipae NTT” dalam CNNIndonesia.com,
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20201017091722-20-559475/tetua-adat-buka-suara-soal-konflik-laha-di-besipae-ntt,
diakses pada 20 Februari 2021.
[5]Rian Odel, Op.Cit.
[6]Daya Negeri Wijaya, “John Locke
dalam Demokrasi” dalam Jurnal Sejarah dan
Budaya, Tahun VIII, No.1, Juni 2014, hlm. 18-21; Yosep Keladu, “Etika
Sosial”, Manuskrip, Maumere: STFK Ledalero.
[7]Atip Latipulhayat, “Jeremy
Bentham” dalam Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.2, No.2, 2015, hlm. 418; Matias Daven, “Pembangunan sebagai
Kebebasan Pandangan Amartya Sen”, Manuskrip, Maumere: STFK Ledalero; Yosep
Keladu, Op.Cit.; Yogie Pranowo,
“Prinsip Utilitarisme sebagai Dasar Hidup Bermasyarakat” dalam Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi dan Sosial
Budaya, Vol.26, No.2, 2020, hlm. 173.
[8]Yosep Keladu, Op.Cit.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Asep Saepullah, “Konsep
Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu-ilmu atau
Pemikiran Keislaman” dalam Aqlania:
Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol.11, No. 2, Juli-Desember 2020, hlm.
253.
[12]M. Habibi & B. H. Juliawan,
“Creating Surplus Labour: Neo-Liberal Transformations and the Develompment of
Relative Surplus Population in Indonesia” dalam Jurnal of Contemporary Asia, 2018, hlm. 1-22.
[13]D. N. Aidit, Dekon dalam Udjian (Djakarta: Jajayan “Pembaruan”, 1963); R.
Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Jakarta:
Equinox Publishing, 1986); R Robison & V. R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligachy in an Age of
Markets (London: Routledge Curzon, 2004).
[14]D. Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University
Press, 2005); W. Bello & S. Rosenfeld, Dragons
in Distress: Asia’s Miracle Economiesin Crises (The USA: The Institute for
Food and Development Policy, 1990); R. Robison, Op.Cit.
[15]B. White, “Nucleus and Plasma:
Contract Farming and Exercise of Power in Upland West Java”, dalam T. M. Li
(ed.), Transforming the Indonesian
Uplands: Marginality, Power and Production (Amsterdam: Harwood Academic
Publishers, 1999); J. C. Scott, Weapons
of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Heaven & London:
Yale University Press, 1985); M. Mamonova, “Resistance or Adaptation? Ukrainian
Peasants’ Responses to Large-Scale Land Acquisitions” dalam Jorunal of Peasant Studies, 42 (3-4),
2015, hlm. 607-634.
[16]Karl Marx, Kapital, Buku I, Frederick Engels (ed.), Oey Hay Djoen (penerj.), (Jakarta:
Hasta Mitra, 2004), hlm. 810.
[17]M. Erb, “Shaping a ‘New
Manggarai’: Struggles Over Culture and Tradition in a Eastern Indonesian
Regency” dalam Asia Pacific Viewpoint, 46
(3), 2005, hlm. 323-334; M. Erb, “Limiting Tourism and the Limits of
Tourism: The Production and Consumption of Tourist Attraction in Western
Flores” dalam Indigenous Tourism: The
Commodification and Management of Cultur, 2005, hlm. 157-181. M. Erb,
“Understanding Tourists: Interpretations from Indonesia” dalam Annals of Tourism Research, 27 (3),
2000, hlm. 709-736.
[18]H. Yaffe, Che Guevara: The Economics of Revolution (The UK: Palgrave
Macmillan, 2009).
[19]Emilianus Yakob Sese Tolo,
“Ekspansi Kapital dan Perlawanan Petani di Flores” dalam Mathias Daven dan
Georg Kircberger (eds.), Hidup, Sebuah
Pertanyaan, Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero (Maumere: Penerbit Ledalero,
2019), hlm. 441.
[20]P. Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1985).