Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Studi Kasus Eksploitasi Fisik di Dalam Perusahaan Nike

 Oleh Admin: Rian Odel

  


1.     

 

Salah satu motivasi pertama kegiatan berbisnis ialah untuk mencapai keuntungan yang paling besar. Dalam proses berbisnis, sebuah perusahaan tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai hukum, ekonomi dan moralitas. Ketiga hal ini menjadi bagian penting dan melekat dalam tubuh sebuah perusahaan bisnis. Artinya, dalam usaha mencapai nilai ekonomis atau keuntungan yang besar, perusahaan bisnis bersangkutan juga perlu memerhatikan aturan hukum dan nilai moralitas sebab subjek dari sebuah perusahaan bisnis adalah manusia.

Oleh karena itu, kehadiran hukum dan nilai-nilai moral bisa menjadi pengontrol lajunya sebuah perusahaan bisnis. Hal ini perlu sebab seringkali perusahaan bisnis bersangkutan menggunakan tenaga para pekerja secara salah atau mengeksploitasinya. Ketidakseimbangan antara upah dan tenaga pengabdian para pekerja seringkali menjadi momok yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang beroh kapitalis.

Roh kapitalisme berarti roh yang mendorong perusahaan untuk mengejar keuntungan yang paling besar dan seringkali tidak memerhatikan kode etik dalam berbisnis. Ada ekspolitasi fisik para pekerja, pelecehan seksual. Upah yang tidak adil, pembatasan akses kesehatan bagi para tenaga kerja seringkali diciptakan secara gampang oleh para penguasa yang mengendalikan sebuah perusahaan bisnis. Anehnya, mereka seringkali lolos dari kontrol hukum.

Salah satu perusahaan besar yang mau saya bahas adalah perusahaan Nike. Popularitas perusahaan Nike sudah lama menjalar hingga ke sudut-sudut Indonesia. Kehadiran Nike turut menunjang kebutuhan masyarakat khususnya dalam hal sepatu atau pakaian olahraga. Namun, apakah aktivitas yang ada di dalam perusahaan Nike selalu berjalan lancar dan memerhatikan etika bisnis dan karakter kemanusiaan? Apakah para pemodal yang menguasai Nike paham akan nilai-nilai kesetaraan gender dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai terpenting dalam proses berbisnis? Namun, sebelum masuk lebih jauh, perlu dilihat secara singkat sejarah perusahaan Nike.

2.      Sejarah Perusahaan Nike

Berbasis dari nama dewi Yunani yang berarti kemenangan, Nike didirikan tahun 1964 ketika atlet sekaligus pengusaha Oregon bernama Phillip Knight, menggagas impor sepatu lari dari Jepang untuk bersaing dengan merek Jerman seperti Adidas dan Puma yang mendominasi pasar Amerika Serikat. Keuntungannya adalah bahwa sepatu Jepang lebih murah karena tenaga kerja lebih murah di Jepang.

Dia mulai menjual sepatu keliling dengan tujuan di stadion atletik, dimana penjualan secara pelan tapi pasti meningkat secara dramatis. Pada 1970-an, Knight dan perusahaan yang berkembangnya melihat awal revolusi jogging dan mulai memasarkan produk untuk pelari non-profesional juga. Ia lantas segera membuka pasar yang lebih luas dan mengubah image sepatu lari menjadi sepatu fashion dan menarik semua orang dari anak-anak sampai dewasa memakainya.

Pada tahun 1979 Nike telah menguasai setengah pasar di AS dan dengan pendapatan mencapai US $ 149 juta. Pada pertengahan tahun 1980-an posisi perusahaan tampaknya tak tergoyahkan, tetapi secara mendadak muncul serangan dari pihak saingan yaitu Reebok. Namun, pada tahun 1990 Nike kembali memimpin perusahaan, terutama karena pengenalan dari sepatu “Air Jordan” yang didukung dan dipromosikan oleh bintang basket Michael Jordan.

Nike mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar dalam sepatu olahraga, dan merupakan pemain penting dalam pakaian dan aksesoris olahraga. Majalah Fortune melaporkan penjualan sebesar US $ 3,7 miliar pada tahun 1994 dan laba US $ 299 juta (Fortune 1995).Sekitar 60 persen dari penjualan perusahaan di Amerika Serikat, sekitar 30 persen di Eropa dan 5 persen di Asia. (1993 Nike: 25).

Etos perusahaan Nike adalah melibatkan dedikasi yang kuat untuk olahraga dan kebugaran. Staf di kantor pusat perusahaan, Nike Kampus Dunia pada Beaverton, Oregon, diharapkan menghabiskan beberapa jam setiap hari di gym. Mereka dijelaskan oleh direktur Nike sebagai "athletic, outdoor, lets-do-it-together types.[1]

Philip Knight, seorang pelari jarak jauh yang berdedikasi, menyusun rencana untuk membuat sepatu lari berharga murah di Jepang dan menjualnya di AS sebagai bagian dari tugasnya untuk meraih gelar MBA di Stanford Univercity setelah lulus. Knight bekerja sama dengan Bill Bowerman, mantan pelatih larinya di Univercity of Oregon, untuk mewujudkan rencananya dengan mendirikan Blue Ribbon Sports pada tahun 1964.

Sepatu Blue Ribbon Sports memperoleh sambutan baik di antara para pelari profesional karena Knight mendistribusikan sepatu, yang disebut Tigers, di pertadingan lari. Pada tahun 1971, Blue Ribbon Sports menerima sebuah merek dagang pada logo “Swoosh” dan merek Nike juga diperkenalkan. Blue Ribbon Sports secara resmi mengubah namanya menjadi Nike pada tahun 1978. Selama akhir tahun 1970an dan awal 1980an para peneliti Nike menggunakan keahlian teknologi mereka untuk mengembangkan beberapa tipe sepatu atletik yang merevolusi industri. Perusahaan ini menjadi kian sukses setiap tahun degan laba yang terus meningkat selama masa tersebut.

Pada tahun 1988, Nike membeli Cole Haan yang berbasis di New Hampshire, dengan harga sebesar $64 juta. Cabang tersebut saat ini memliki beberapa merek dagang, seperti CH, Gseries ileh Cole Haan, Bragano, dan Cole Haan. Bisnis sepatu kasual Nike tumbuh sebesar 16 persen pada tahun berikutnya. Nike juga membeli Cole Haan Accesories Company pada tahun 1990, sebuah distributor ikat pinggang, penjepit, dan produk kulit kecil berkualitas tinggi premium.

Pada tahun yang sama, Nike membuka toko ritel pertamanya, NikeTown, di Portland. Oregon, Nike membeli sebuah perusahaan pembuat topi bernama Sports Specialties (kini disebut Nike TeamSports, Inc) pada tahun 1993, dan pada tahun 1994, divisi Outdoor menambah sebuah sepatu baru yang dinamakan “Air Mada” dan sandal olahraga Nike menduduki penjualan teratas di pasaran. Pada tahun 1995, Nike membeli Canstar Sports Inc. (produse peralatan hoki terbesar di dunia), seniali $409 juta. Canstar, kini bernama Bauer Nike Hockey, Inc, memproduksi sepatu luncur, sepatu luncur es, dan bermata pisau (blades), perlengkapan pelindung, stik hoki, dan kaos hoki. Koleksi pakaia basket Michael Jordan diluncurkan pada tahun 1998. 

Pakaian yang didesain untuk pria muda yag ingin “tampil modern” ditambahkan ke koleksi Michael Jordan, dan bintang olahraga Randy Moss dan Derek Jeter disewa untuk mempromosika merek Jordan pada tahun 1999. Merek baru yang disebut CG (All Conditions Gear) yang menjual perlengkapan untuk berseluncur es, berselancar, menyelam, dan bersepeda gunung diluncurkan pada tahun 1999.

Tahun 2003 merupakan sebuah tahun “serba pertama” bagi Nike. Perusahaan tersebut memperoleh pendapatan tertinggi dalam sejarahnya dan juga menghasilkan lebih banyak pendapatan di luar Amerika Serikat untuk pertama kalinya. Meskipun demikian, perusahaan terus menghadapi kontroversi dalam sejumlah bidang, seperti etika produksi, tuntutan hukum, dan kritik terhadap bayaran tinggi untuk para atlet. CEO Phil Knight tampaknya menyadari bahwa pandangannya mengenai Nike dan pandangan public mungkin tidak selalu sejalan.

3.      Persoalan Etis

Kalau kita mengikuti perjalanan panjang perusahaan Nike, kita temukan beberapa persoalan etis yang mesti dibahas secara lebih detail. Salah satu persoalan penting berkaitan dengan ekploitasi kemanusiaan atau eksploitasi tenaga kerja. Mengapa tidak, Nike memosisikan produknya sebagai sepatu berkinerja tinggi yang didesain dengan fitur teknologi canggih. Pasar sasaran umum sepatu atletik Nike adalah pria dan wanita antara usia 18 dan 34. Saat ini, strategi Nike adalah memilih wanita sebagai target secara agresif. Perusahaan mendirikan toko Nike Goddess dan mulai lebih melakukan pemasaran kepada wanita yang memiliki “gaya hidup aktif”. Nike mengiklankan produknya dengan berbagai cara dan menargetkan iklannya pada kelompok atau jenis orang yang spesifik. Nike telah dikritik dalam beberapa tahun terakhir karena praktik pekerjaan di tempat produksi internationalnya. 

Sejumlah konsumen mempersoalkan praktik eksploitatif para manajer di beberapa negera Asia. Misalnya, pada tahun 2001, manajer pabrik yang membuat produk Nike di Indonesia dituduh melaksanakan pelecehan seksual, penyiksaan fisik dan verbal, pembatasan layanan kesehatan, dan pemaksaan lembur. Selain itu, beberapa dari manajer tersebut diduga menyuruh karyawan yang berlaku tidak pantas atau terlambat masuk kerja untuk berlari keliling atau membersihkan toilet. Nike berjanji untuk menyelidiki dan memperbaiki kapan pun kondisi yang tidak pantas terjadi.

Pertama kali, perusahaan membentuk sebuah departemen buruh sosial tahun 1996 dan pada tahun 1998 posisi Wakil Direktur Tanggung Jawab Sosial pun dibuat. Pada tahun 1998, Nike bergabung dengan Asosiasi Keadilan Buruh (Fair Labour Association – FLA), sebuah organisasi pemantau tempat kerja buruh yang didirikan oleh unit kerja presidensial bentukan produsen pakaian dan organisasi hak asasi manusia. Perusahaan juga bergabung dalam Aliansi Global untuk Tenaga Kerja dan Komunitas (Global Alliance for Workforce Communities – GAWC), sebuah kelompok bisnis yang bertujuan meningkatkan kehidupan kerja buruh pabrik. Selain keanggotaannya dalam FLA dan GAWC.

Nike mengembangkan suatu proses untuk memastikan bahwa pabriknya mematuhi kode etik perusahaan. Contoh-contoh kasus tersebut di atas sangat jelas melawan kode etik dalam berbisnis terlebuh melawan kemanusiaan. Mereka telah melawan ketentuan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan sebagai berikut,

a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting seba­gai pelaku dan tujuan pembangunan;

c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;

d.  bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan menjamin kesamaan kesem­patan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.[2]

Dari butir-butir hukum tersebut, kita dapat memahami secara jelas bahwa perlakuan tidak adil yang dieksekusi oleh beberapa manajer perusahaan Nike telah melanggar hukum ketenagakerjaan. Para karyawan ditindas dan disiksa seenaknya oleh para manjer. Artinya, bahwa hukum yang mengatur perlindungan terhadap kesehatan tenaga kerja telah dilanggar demi nafsu buas mencapai keuntungan ekonomis. Para manajer tidak hanya memanfaatkan tenaga para pekerja untuk produktivitas dalam meningkatkan bisnis Perusahaan Nike melainkan juga memanfaatkan mereka untuk kepuasan seksual. Sungguh, ini merupakan praktik tidak manusiawi yang harus diselidiki dan dibasmi pelaku-pelakunya.

4.      Relevansi Persoalan Etis dengan Etika Bisnis

Ada beberapa prinsip dalam etika bisni yang telah dilanggar oleh cara kerja perusahaan Nike sebagai berikut. Pertama, prinsip otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.[3] Berdasarkan prinsip ini, pihak perusahan sepatu Nike telah mengabaikan prinsip ini sebab mereka sadar dalam pengambilan keputusan tetapi mereka tidak memikirkan kepentingan tenaga kerja dalam pengambilan keputusan. Mereka menginginkan keberhasilan perusahaan dengan cara mengeksplotasi tenaga kerja dan melakukan penyelewengan kemanusiaan. Sangat jelas kecurangan yang mereka lakukan sungguh merugikan karyawan.

Kedua, prinsip kejujuran. Tindakkan pihak perusahan Nike pada kecurangan yang merugikan karyawan yaitu pelecehan seksual dan penyiksaan fisik terhadap para tenaga kerja. Namun, yang terjadi ialah mereka tidak jujur terhadap apa yang telah mereka lakukan. Jika kita melihat kembali prinsip berbisnis perihal kejujuran maka kita dapat menyimpulkan bahwa pihak perusahan telah menodai keluhuran prinsip kejujuran. Prinsipnya kejujuran adalah jalan yang memampukan pihak perusahan untuk berhasil dalam berbisnis.[4]

Ketiga, prinsip saling menguntungkan. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh pihak perusahan terhadap para tenaga kerja seperti pelecehan seksual, pembatasan akses kesehatan dan siksaan fisik lainnya merupakan tindakan biadap yang tidak menguntungkan kesehatan para pekerja. Pihak perusahaan tidak memikirkan keuntungan para pekerja melainkan mementingkan perusahan semata. Kerugian para pekerja disebabkan oleh pihak perusahan yang mementingkan nasib perusahan ketimbang nasib semua orang. 

Prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang sama yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain dan misi utamanya ialah mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis.[5] Apabila kita membaca sepintas tentang kasus perusahan Nike, maka ada kejanggalan yang terjadi sebab keuntungan hanya dinikmati oleh pihak perusahaan tidak berbanding lurus dengan nasib yang dialami oleh para tenaga kerja, padahal tanpa kehadiran tenaga kerja otomatis perusahaan tidak akan bisa berjalan dengan baik.

Keempat, prinsip keadilan. Prinsip keeempat sebenarnya memiliki konsekuensi yang sama dengan prinsip ketiga. Pihak perusahan gagal dalam menegakkan keadilan. Sebenarnya, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalam relasi eksternal maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing.[6] Keadilan semestinya ditegakkan sehingga tidak terjadi ketimpangan atau kesenjangan di antara kedua pihak.

Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sebenarnya menggugah hati pihak perusahaan untuk memperbaharui etos kerja yang menjadi fondasi dasar dalam berbisnis. Etos kerja adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan  nilai, norma atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan. Etos perusahaan Nike adalah melibatkan dedikasi yang kuat untuk olahraga dan kebugaran.

5.      Pertimbangan Filosofis-Etis

Sesuai dengan tujuan sebuah perusahaan bisnis yaitu bahwa keuntungan sebesar-besarnya menjadi sentral dari bisnis. Namun, nilai-nilai hukum dan moral tetap menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Kehadiran nilai hukum dan moral mesti menjadi dasar bagi perusahaan Nike dalam mengembangkan perusahaan tersebut. Etos perusahaan Nike adalah melibatkan dedikasi yang kuat untuk olahraga dan kebugaran. 

Etos ini secara jelas menggambarkan hal positif yang menjadi harapan perusahaan Nike demi kemajuan dunia olahraga. Artinya, kesehatan manusia menjadi aspek utama dalam etos kerja perusahaan bisnis Nike. Melalui kasus-kasus kekerasan fisik yang terjadi dalam aktivitas perusahaan Nike, dapat dipastikan bahwan perusahaan Nike bertolak belakang dengan etos yang mendasari kokohnya perusahaan tersebut. Mereka bukan menggunakan tenaga para karyawan dengan tujuan utama untuk perkembangan bisnis melainkan juga mengeksploitasi tubuh mereka untuk kepuasan para manajer perusahaan. 

Mereka juga memaksa karyawan untuk bekerja lembur. Pada titik ini dapat diketahui bahwa nilai hukum dan etika tidak berlaku dalam perusahaan Nike. Yang berlaku disana yaitu menghalalkan segala cara untuk mencapai keuntungan yang melimpah. Untuk menilai perilaku tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga prosedur yang mesti dilihat sebagai berikut,

a) Hati Nurani[7]

Suatu perbuatan dikatakan baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain adalah buruk jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani adalah tindakan yang menghancurkan integritas diri. Hati nurani mendesak kita untuk untuk melakukan sesuatu sesuai dengan arahan hati nurani tersebut. Setiap manusia memiliki hati nurani, maka sebelum bertindak, seorang pebisnis harus mendengarkan hati nurani.

Rupanya, tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh beberapa orang manajer adalah tindakan yang bertentangan atau melawan hati nurani. Sebab hati nurani selalu mendorong untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain.

b) Kaidah Emas[8]

Cara yang lebih obyektif untuk menilai sebuah perilaku moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi demikian, “hendaknya memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Saya melakukan sesuatu dan dianggap baik  secara moral, bila saya memperlakukan seseorang sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan demikian”. Hal ini perlu sebab setiap orang membutuhkan perilaku moral yang layak bagi dirinya. Konsep moral seperti ini persis dengan etika tanggung jawab yang dicetuskan oleh Hans Jonas. Dia menuntut sebuah Heuristika Ketakutan. Artinya, seseorang dalam melakukan sebuah tindakan mesti berpikir dampaknya yang akan datang. 

Pertimbangan seperti ini membuat seseorang bukan hanya mementingkan keuntungan diri sendiri tetapi mementingkan dampak buruk yang akan datang sebagai akibat dari perbuatan hari ini. Oleh karena itu, sebelum sebuah tindakan dilakukan, ia harus membayangkan dampak yang akan datang.[9]

Tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh para manajer – pelecehan seksual, siksaan fisik, pembatasan akses kesehatan, kekerasan verbal – terhadap para karyawan jelas-jelas sebuah tindakan yang bertentangan dengan etika tanggung jawab versi Hans Jonas. Para manajer tidak pernah berpikir tentang dampak kesehatan fisik maupun psikologis yang ialami oleh para karyawan; mereka juga tidak pernah membayangkan dmpak hukum yang akan terjadi setelah tin dakan eksploitatif mereka lakukan dengan gampang.

c) Penilaian Umum[10]

Cara yang paling ampuh untuk menentukan tindakan moral ialah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk memberikan evaluasi obyektif. Cara ini biasanya disebut “audit sosial”. perlu digarisbawahi pentingnya kata “umum”. Tidak cukup bila suatu masyarakat terbatas menilai kualitas etis suatu perbuatan atau perilaku. Barangkali mereka mempunyai Vested interests (kepentingan tetap) sehingga cenderung membenarkan saja perilaku yang menguntungkan mereka. Pola pikir sesat seperti ini pada akhirnya akan merugikan orang lain yang tidak punya kekuasaan dalam konteks bisnis khususnya para karyawan yang bekerja di Perusahaan Nike.

Bisnis tidak pernah terlepas dari kehidupan masyarakat. Masyarakat merupakan elemen penting dalam keberlangsungan hidup suatu bisnis.Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern.[11] Di tengah gentingnya persaingan dalam menyukseskan segala usaha, tuntutan moral dalam berbisnis harus diperhatikan. Orang yang berpegang teguh pada prinsip moral dalam berbisnis menggambarkan sosok seorang pebisnis yang mencintai keadilan. Semua pelaku ekonomi dibiarkan bebas menjalankan kegitannya secara terbuka dan bebas asalkan dengan menjaga prinsip paling minim yakni tidak merugikan hak dan kepentingan pihak lain serta hak dan kepentingan masyarakat. Prinsip ini menunjang sebuah pola bisnis yang baik, teratur, fair dan etis.

Sejauh masyarakat yang menilainya masih terbatas maka, diduga penilaian itu sangat subyektif, maka perlu dinilai oleh masyarakat luas. Darikasus-kasus ekplotatif yang dilakukan oleh manajer perusahan Nike, terlihat jelas adanya kerusakan cara kerja yang dieksekusi oleh para manajer. Oleh karena itu, masyarakat umum perlu memberikan penilaian dan melalui penilaian itu, aturan hukum juga mesti ditegakkan secara adil. Hal ini menuntut tanggung jawab dari negara selaku pelindung Undang-Undang ketenagakerjaaan.  

Tanggung Jawab Negara

Walaupun sebuah perusahan bisnis memiliki aturan hukum ekslusif yang mengatur bahwa pihak eksternal tidak berhak memberi intervensi tetapi sebagai sebuah negara tentu ada dasar hukum yang mengatur khussnya tentang perlindungan tenaga kerja. Hal ini sangat penting karena tenaga kerja adalah para warga negara yang memiliki hak yang sama untuk dihormati, diperhatikan dan dilindungi kehidupannya. 

Namun, yang menjadi kesulita kita ialah, seringkali negara atau pemerintah bekerja sama dengan pihak perusahaan atau yang disebut korporatokrasi. Perselingkuha antara pemerintah dengan pemodal oleh Charles Deber disebut sebagai korporatokrasi yang melegalisasi pemerintahan dari, oleh dan untuk perusahaan.[12] Gotong-royong antara pemerintah dan pemodal demi idealisme menjadi orang kaya seringkali apatis terhadap aturan hukum yang berlaku dan sebenarnya yang mereka ciptakan sendiri. Akibat destruktifnya ialah, para tenaga kerja yang menjadi korban eksploitasi tidak pernah dijawab keluhannya. Mereka dibiarkan menderita di atas nasib sendiri.

Di hadapan peristiwa sulit seperti ini, para tenaga kerja yang datang dari identitas kelas bawah membutuhkan campur tangan dari pihak lain yang bisa mengadvokasi jeritan mereka. Lembaga-lembaga sosial seperti LSM ataupun organisasi sosial lainnya yang masih memiliki kepekaan untuk bertanggung jawab  terhadap nasib masyarakat kecil, sumber daya lingkungan hidup, ketenaga kerjaan, perdaganagn manusia harus bersinergi untuk bisa menyelamtkan nasib mereka. 

Para LSM harus melakukan pengawasan secara kontinu terhadap pelanggaran HAM.[13] Maksud utama dari tanggung jawab seperti itu supaya lahir suatu sistem pemerintahan yang tidak apatis tetapi bisa menhadirkan pemerintahan yang lebih adil dan tolern terhadap keberadaan kelompok minoritas.[14] Selain itu, tujuan penting dari advokasi seperti itu untuk menegakkan kesetaraan dalam bekerja dan kesetaraan kemanusiaan di hadapan hukum. Para pemodal mesti melihat para tenaga kerja sebagai teman dalam perusahaan bukan hamba yang seenaknya dieksplotasi. Anehnya, tindakan itu tidak mendapat respon dari negara tempat perusahaan itu berdiri.

 

6.      Penutup

 Berbisnis mesti dibaca bukan hanya sebuah pekerjaan untuk melahap keuntungan yang sebesar-besarnya melainkan lebih mulia dari itu harus dibaca sebagai kerja kemanusiaan. Dalam berbisnis, sebuah keuntungan yang diperoleh mesti diimbangi dengan etika yang mendukung kemanusiaan, misalnya perlindungan hak-hak para tenaga kerja, penghargaan terhadap martabat manusia, kesetaraan antara upah dan profesionalisme kerja dan terpenting dari itu adalah pemberdayaan. Dlam menanggapi pokok-pokok penting ini, Perusahaan Nike mesti melakukan revaluasi untuk melihat lebih serius praktik eksplotasi yang sudah menjamur di dalam cara kerja para manajer. Jika praktik main haklim sendiri itu terus berlanjut atau dibiarkan bertumbuh, maka sebenarnya, perusahaan itu sudah masuk pada kategori pembudakan manusia bukan pemberdayaan manusia. 

Pada umumnya, perusahan yang etis adalah perusahan yang berjuang untuk mencapai titik sukses. Perusahaan Nike telah mencapai uncak kesuksesan tetapi kesuksesannya diperoleh dengan cara yang tidak bermartabat yaitu pelanggran kemanusiaan. Oleh karena itu, pihak perusahaan mesti melihat kembali cara kerja lama dan berusaha memperbaharui diri agar bisa menjadi perusahaan yang berperi kemanusiaan. Bukab hnya keuntungan material yang diperoleh tetapi juga pemberdayaan kemanusiaan. Hal ini mungkin jika, praktik-praktik eksploitasi yang merugikan pihak tenaga kerja diperbaiki danmulai dengan cara kerja yang lebih bermartabat.


 

 

 

 

 



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Nike,_Inc, diakses pada Sabtu 25 April 2020.

[2] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_03.htm, diakses pada 25 april 2020.

[3]A. Sonny Keraf, Etika Bisnis. Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 74.

[4]Ibid.,  hlm. 77.

[5]Ibid.,hlm. 79.

[6]Ibid.,

[7] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm. 28.

[8] Ibid., hlm. 29.

[9] Baca Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Dua Belas Teks Kunci (Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2006), hlm. 189.

[10] K. Bertens, op. cit., hlm. 30.

[11]K. Bertens, Ibid., hlm. 376.

[12] Dikutip dari Silvano Keo Bhaghi, “kemiskinan, neoliberalisme, dan Organisasi Kelas Pekerja” (Makalah, Maumere, 2019), hlm. 7.

[13] Ibrahim, “Kata Pengantar dan Ucapan Terimakasih (edisi Bahasa Indonesia)” prolog dalam Lisa Jordan dan Peter Van Tuijl, (eds.), Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi, terj. Dewi Anggraeni, dkk (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009). Hlm. Vii.

[14] Redem Kono, Senandung Suara-Suara Minor (Bandung: Matahari, 2016), hlm. 86.