Setelah Bangun Masjid Al-Munirah Hobamatan, Lalu Apa?
Setelah Bangun Masjid Al-Munirah Hobamatan, Lalu Apa?
Oleh Admin
I |
r.
Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia pernah merekomendasikan Pancasila
menjadi Trisila; Trisila menjadi Ekasila. Ekasila yang diimpikan oleh putra
sang fajar tersebut ialah gotong-royong. Menurutnya, gotong-royong menjadi
titik simpul dari semua butir-butir dalam tubuh Pancasila.
Dengan
demikian, konsep tentang gotong-royong bukanlah budaya asing melainkan harta
benda masyarakat Indonesia sendiri sejak permulaan. Gotong-royong menjadi
spiritualitas membangun bangsa.
Dalam
konteks yang lebih ekslusif, orang Kedang-Uyelewun di Kabupaten Lembata, NTT
juga memiliki konsep serupa. Bahasa populer untuk menerjemahkan gotong-royong
ke dalam bahasa Kedang yakni mohing
danung. Namun, frasa mohing danung
ini lebih tepat dipakai untuk menggambarkan gotong-royong dalam konteks
berkebun atau bertani.
Orang
Kedang menyebut mohing danung lebih
kepada momen membuka lahan pertanian, menanam jagung dan atau memanen hasil
kebun secara bersama. Pantun-pantun tradisional akan dinyanyikan sebagai bagian
lain dari aktivitas mohing danung.
Lantas,
apa konsep yang tepat untuk menggambarkan gotong-royong dalam membangun Masjid
Al-Munirah Hobamatan yang diadakan pada 14 November 2020 yang baru saja lewat?
Pohing
Ling Holo Wali: Kebanggaan Kita
Gotong-royong
membangun teras dan kubah Masjid Al-Munirah Hobamatan, jika dikonversikan ke dalam
bahasa Kedang lebih cocok pada konsep Pohing
ling holo wali. Sebutan ini, secara garis besar menggambarkan apa yang
populer kita sebut sebagai berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Itulah sebuah
kenyataan inheren yang ada dan masih terus diwariskan di Kedang, Desa Mahal,
Kecamatan Omesuri.
Dalam
kegiatan ini, bukan hanya orang islam (muslim) yang secara psikologis lebih
merasa memiliki bangunan suci tersebut tetapi saudara-saudari dari umat Stasi
St. Petrus Hobamatan pun turun campur semen dan tertawa bahagia bersama. Kebersamaan
dalam nuansa seperti ini bukanlah hal langka di Kedang. Sebab bukan baru kali ini
mereka bersama dalam konsep gotong-royong.
Memang
wajar, sebab mereka datang dari satu budaya lokal yang sama dan secara
genealogis lahir dari satu moyang yakni Uyolewun sendiri. Identitas sejati
seperti ini telah membuka horizon orang Kedang kepada praktik-praktik toleransi
religius.
Mereka
juga diikat dengan konsep ebeng we’, bora’
we’, one’ ude’laleng hama, witing pulu, wuo’
ude’ dan seterusnya. Ungkapan tradisional tersebut bermakna sama yakni
persatuan dalam rumah Indonesia (nasional) dan rumah Kedang (lokal). Karena itu,
orang Kedang tidak pernah menerima paham yang mengarah kepada disintegrasi
bangsa seperti intoleransi, ekstrimisme kanan dan lain-lain.
Pohing ling holo wali merupakan konsep yang menjadi kebanggaan orang Kedang secara khusus yang menetap di Desa Mahal. Kebanggaan ini mesti juga terus diwariskan kepada generasi penerus yang bukan hanya menetap di Desa melainkan juga mesti diwartakan secara nyata bagi generasi muda Mahal yang sedang berada di luar Desa Mahal.
Bangun Desa dengan Konsep Pohing Ling Holo Wali
Konsep
pohing ling holo wali tidak berhenti
di depan Masjid Al-Munirah Hobamatn tetapi juga terus diejawantahkan dalam hidup
sosial lainnya. Salah satunya kerja bakti bersama sebagaimana telah dilakukan
pada Minggu (6/3/2021). Kerja bakti ini berada di bawah kontrol Pemerintah Desa
setempat. Nah, pertanyaanya ialah; apakah gotong-royong ini hanya berhenti pada
kerja bakti bersama?
Tentu
tidak benar jika hanya berhenti pada kerja bakti bersama tetapi juga pada
konteks sosial-politik di Desa secara lebih luas, konsep ini terus dipraktikkan.
Salah satunya yakni gotong-royong antara Pemdes dan Masyarakat Desa untuk
sukses mewujudkan visi-misi Pemerintah Desa.
Di
dalam pohing ling holo wali, akan
kita temukan transparansi pengelolaan anggaran – dana desa dll – juga ada
evaluasi bersama. Melalui kebersamaan seperti ini, niscaya harapan membangun
Desa akan tercapai secara lebih gampang. Di sana tidak akan ada konflik dan
kecurigaan dan seterusnya. Konflik-konflik horizontal sesama warga maupun warga
dengan pemimpin Desa misalnya, diharapkan untuk tidak terjadi di rumah kita. Jika
pernah ada, maka, dengan konsep pohing
ling, holo wali, te’ we’ bare we’, konflik-konflik yang ada mesti bisa
diselesaikan agar harmonisasi sosial di Desa bertumbuh subur.
Oleh
karena itu, baik pada ranah sosial-politik di Desa maupun pada basis agama,
konsep pohing ling holo wali ini
mesti terus menjadi spirit. Pada basis agama, kita diharapkan tetap hidup
tolerasi, tidak saling curiga, baku marah dan lain-lain. Pada konteks
sosial-politik di Desa, kita membutuhkan kerja sama mengumpulkan ide membangun
Desa. Kita membutuhkan transparansi, keadilan, penguatan lembaga adat-budaya
lokal secara jujur dan benar agar kita khususnya generasi muda tidak terlepas
dari rahim kita sendiri. Juga sangat diharapkan evaluasi bersama.
Evaluasi
yang saya maksudkan bukan hanya diperuntukkan bagi segelintir orang yang selalu
diundang hadir di Balai Desa tercinta melainkan
juga jika perlu semua masyarakat mulai dari yang milenial sampai yang
dewasa-lansia. Evaluasi kolektif seperti ini menegaskan konsep bongan we’. Bongan (leher) yang menjembatani kepala (otak) dan dada (hati). Maka
evaluasi harus dilakukan dalam iklim kekeluargaan ini. Mungkinkah?
Penutup
Baik
warga Desa yang berada di Desa maupun yang berada di tempat lain, memiliki
tanggung jawab yang sama untuk berkontribusi membangun Desa Mahal tercinta
dengan kreativitas masing-masing. Pohon memang banyak cabang dan buah tetapi
punya akar yang sama dan kokoh. Itulah kita.
Yang
berada di luar, bisa menyumbang pengalaman hidup dan ide-idenya yang relevan
dan kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk proses eksekusi di Desa. Pun sebaliknya,
yang di Desa tetap berada bersama, baik yang muda pun tua tetap satu hati dan
tujuan untuk kebaikan leu awu’ dan ribu ratu’.
Segala
konsep-konsep pribadi, entah itu suku, agama, bisnis dan sejenisnya tidak mesti
membuat kita terkotak-kotak. Idetitas pribadi kita boleh berbeda-beda tetapi
demi leu awu’, kita memiliki mata dan
hati, serta mulut yang sama. Mari kita melihat kampung kita dalam konsep pohing ling holo wali.