Kepentingan Ekslusif vs Kepentingan Inklusif
KEPENTINGAN EKSKLUSIF VS
KEPENTINGAN INKLUSIF
(Telaah Kritis Posisi Pemerintah
Indonesia Terhadap Kontroversi UU No. I/PNPS 1965)
Oleh: Aris Kapu; Kontributor
Pendahuluan
Negara Indonesia terkenal dengan diversitas suku,
ras, etnis, sosial-budaya, dan agama. Hal tersebut membuat Indonesia dikenal
sebagai negara yang majemuk dan multikultural. Pluralitas tersebut dirangkul ke
dalam ideologi Pancasila, demi persatuan bangsa. Sebab, Pancasila menaungi
segala realitas majemuk yang ada di Indonesia, agar terus berkembang dan
bereksistensi.
Salah satu bagian yang tak kalah penting dari
pluralitas tersebut ialah diskursus kehidupan beragama di Indonesia. Seperti
diketahui bahwa, Indonesia memiliki enam agama resmi yakni, Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dari keenam agama ini,
Islam menjadi agama yang dominan. Keberadaan agama-agama ini membuka sebuah
wacana yang urgen, yakni kebebasan seseorang atau warga dalam menjalankan agama
atau kepercayaan yang diyakini.
Terhadap hal tersebut, pemerintah Indonesia
memproduksi regulasi berupa jaminan hukum dan normatif untuk kebebasan beragama
atau berkeyakinan b dengan Islam sebagai agama mayoritas. Hal ini membuat
Indonesia sendiri tercatat sebagai negara yang banyak membuat peratiran mengenai
agama.[1]
Dari banyaknya produk jaminan hukum dan jaminan
normatif akan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang ada di Indonesia,
terdapat salah satu pasal yang hingga kini masih terasa janggal dan
kontroversial, yakni UU No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama (lebih lanjut diketik PPA). Asfinawati menerangkan
bahwa, pasal tersebut dinilai cukup kontroversial karena teks hukum tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan penodaan agama, dan bahwa
kasus penodaan agama ini sangat terpengaruh oleh tafsiran publik dan penegak
hukum.[2]
Pertanyaan yang mencuat kemudian ialah, bagaimana
seharusnya posisi pemerintah terhadap problematika jaminan hukum dan normatif
kebebasan beragama atau berkeyakinan di
Indonesia? Apakah pemerintah berpihak kelompok eksklusif berupa agama dominan,
dan ikut mengakomodasi masalah keagamaan yang ada? Atau sebaliknya, pemerintah
berdiri di garis netral permasalahan sebagai bentuk kepentingan inklusif soal
kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa membela pihak atau kelompok
tertentu?
Tulisan ini hendak mengupas secara kritis posisi
pemerintah terhadap kontroversi penerapan UU No 1/PNPS/1965, khususnya pasal
156a KUHP. Tulisan ini juga merupakan bagian dari pengembangan ulasan Nicola Colbran
tentang “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara,” khususnya di bagian ke-IV kerangka penulisannya, yakni Penerapan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana: Pasal 156a Penodaan Terhadap Agama yang Dianut
di Indonesia.
Telaah Historis Pasal 156a UU No.
1/PNPS/1965
Dalam ulasannya, Colbran menjelaskan bahwa pasal
156a tentang PPA telah digulirkan sejak masa orde lama. Adapun UU No.
1/PNPS/1965 mulanya merupakan Perpres yang dibuat oleh Soekarno hingga kemudian
menjadi UU resmi pada 27 Januari 1965.[3] Seperti
diketahui, tahun-tahun pemerintahan Soekarno banyak disertai gejolak dalam
negeri, berupa usaha separatis dan pemberontakan secara gerilya di berbagai
wilayah.
Salah satu peristiwa penting yang menjadi perhatian
khusus di masa itu ialah ketegangan antara golongan Islam yang direpresentasi
lewat Nahdhatul Ulama (NU) dan golongan Komunis dengan basis partainya yang
dinamakan Partai Komunis Indonesia (PKI). [4]
Tensi yang muncul dari dua golongan tersebut memicu konflik
yang cukup meluas. Adanya konflik ini membuat Soekarno mewujudkan cita-cita
revolusi nasional dengan tujuan unifikasi daerah-daerah kepulauan di seluruh
Nusantara.[5]
Wujud konkret yang ia pakai saat itu ialah mengimplementasikan sistem Demokrasi
Terpimpin, dengan dalil utama penanganan negara dan revolusi nasional terkait
dengan pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, dan alasan akan
pengamanan revolusi dan ketentraman masyarakat.[6]
Terkait dengan dalil pertama, berupa penanganan demi
pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, ditilik dari situasi ketegangan
antara Islam dan Komunis. Islam menganggap golongan Komunis sebagai kelompok
ateis yang tak beragama.
Lebih jauh dari itu, pola ketegangan yang
ditampilkan lebih condong pada orientasi politik agama, di mana Islam menjadi
mayoritas yang mendeterminasi alur pemerintahan. Hal ini lazim disebut
infiltrasi agama ke dalam ranah politik.[7] Menurut
Soedarto, polarisasi antara Islam dan Komunis menimbulkan kekacauan yang heboh
pada masa itu, yakni banyaknya kasus penodaan agama, seperti Al-Qur’an
disobek-sobek dan diinjak-injak, pastor dihina karena tidak kawin, nabi
Muhammad disebut sebagai “nabi bohong” , dan munculnya aliran-aliran kebatinan
kecil yang menamakan dirinya agama tapi dalam praktik sangat menyimpang.[8]
Tak pelak bahwa, pemerintah membuat UU tersebut,
dengan menyelipkan pasal 156a tentang PPA sebagai upaya mengamankan jalur
cita-cita dan revolusi nasional di masa pemerintahan Soekarno sekaligus
menghindari konflik antara dua kubu yang saat itu berseberangan, yakni Islam
dan Komunis.
Dengan demikian, telaah historis munculnya UU
No.1/PNPS/1965 pasal 156a tentang PPA bermula dari situasi penuh konflik di
masa Orde Lama, antara Islam dan Komunis. Soekarno berupaya mengatasi konflik
dengan tujuan memuluskan cita-cita revolusi nasional, saat usia kemerdekaan
Indonesia masih baru.
Posisi Pemerintah Terhadap
Kontroversi Pasal 156a KUHP
Sebagaimana telah dijelaskan, pasal 156a KUHP
berbicara tentang PPA, yang berbunyi: “Dipidana dengan penjara selama-lamanya
lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan; a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar
supaya tidak menganut agama apap pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”[9]
Bila dikritisi lebih jauh, ada sesuatu yang cukup
mengambang dari bunyi pasal tersebut, yakni istilah agama. Dalam penjelasan
yang diterima pada umumnya, istilah agama yang dimaksud hanya merupakan agama
yang diakui di Indonesia. Lalu,bagaimana dengan eksistensi agama-agama yang
belum diakui atau “sengaja” (by omission) tidak diakui karena ditopang
oleh kepentingan eksklusif suatu kelompok tertentu?
Siapa pemilik agama, dan kalau yang dihina adalah
agama, siapa yang berhak merasa dirugikan? Tentu, ini merupakan perosalan
mendasar terkait rujukan istilah agama yang sangat parsial dan fragmental. Untuk
itu, sebelum menelisik lebih jauh tentang posisi pemerintah, terlebih dahulu
dijelaskan mengenai pendefinisian tentang agama di Indonesia.
Definisi yang Sektarian
Pendefinisian agama di Indonesia hingga saat ini
tergambar secara sempit dan sangat sektarian. Agama dapat diakui bila memenuhi
persyaratan seperti Ketuhanan yang Maha Esa (monoteistik), nabi, Kitab Suci,
dan mendapat pengakuan internasional.[10]
Jelas bahwa, definisi dan persyaratan seperti itu menghambat akses bagi
agama-agama leluhur untuk diakui. Tegasnya, agama-agama leluhur dipinggirkan
dan tidak mendapat pelayanan serta perlakuan yang setara dari pihak negara.
Persoalan definisi agama yang sempit dan sektarian
bukanlah hal yang baru untuk diperbincangkan. Bila menelusuri sejarah, ternyata
paradigma akan definisi agama yang sempit dan sektarian telah menjadi wacana di
Eropa dan merupakan sebuah “produk” yang dikonstruksi dari dunia Barat.
Terhadap hal ini, Dubuisson menerangkan bahwa, agama adalah kategori konseptual
yang dibangun berdasarkan sejarah dan budaya Barat. Barat-lah yang menginvensi
dan mengonstruksi agama, dan lebih dari itu, konstruksi agama yang dibangun
berlandas pada teologi Kristen.[11]
Jelas bahwa, di masa lampau, agama Kristen menjadi
prototipe definisi agama, karena formatnya yang monoteistik, adanya nabi, dan
memiliki Kitab Suci. Hal ini pula didorong oleh fakta bahwa, kawasan Eropa pada
masa itu hampir didominasi oleh Kristen. Imperium Kristen menegaskan, agama
yang benar adalah Kristen. Selain Kristen (agama-agama leluhur), hal itu
dianggap sebagai kaum kafir, primitif, paganis, dan politeis.
Paradigma inilah yang menjadi acuan bagi Indonesia
dalam mendefinisikan agama. Bedanya ialah, jikalau di Eropa pada masa lampau
menjadikan Kristen sebagai prototipe, Indonesia menjadikan Islam sebagai
prototipe utama. Tak heran bila, Islam (sampai sekarang) tampil dominatif dan
superior bagi agama-agama lain, bahkan segala bentuk kepercayaan atau keyakinan
atau aliran, yang dinilai bertentangan dengan Islam, diperangi dan dipersekusi.
Posisi Pemerintah: Antara
Kepentingan Eksklusif vs Kepentingan Inklusif
Kontroversi pasal 156a tentang PPA dapat dijadikan
sebagai penelusuran utama posisi pemerintah terhadap kasus-kasus agama di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat lewat perjalanan sejarah pemerintahan
Indonesia, mulai era Soekarno hingga Jokowi. Terhitung sejak Orde Lama hingga
masa reformasi (1967-2012) ada 34 kasus yang adalah jerat dari pasal 156a.[12]
Adapun di era pemerintahan Jokowi, kasus Ahok pada tahun 2017 merupakan titik
didih siaran kebencian agama,di mana Ahok diseru-serukan oleh gabungan antara
ormas atau massa sebagai penista agama Islam. Umumnya, upaya penindakan atas
kasus PPA lebih karena hasutan dan diikuti dengan dorongan massa yang kuat.
Terdapat beberapa poin penting yang mengganggu netralitas pemerintah terhadap
masalah keagamaan.
Pertama, eksistensi ormas-ormas
yang intoleran sebagai pemicu konflik. Biasanya ormas-ormas ini memobilisasi massa
ormas yang paling kentara melakukan praktik ini ialah ormas Islam, seperti
salah satunya Front Pembela Islam (FPI). Keberadaan ormas-ormas ini membuat
pemerintah tak dapat memberikan garis netral yang tegas bila masalah keagamaan
terjadi di ruang publik.
Sebab, ormas-ormas yang intoleran dari agama dominan
membenarkan cara-cara yang anarkis dan penuh kekerasan untuk menolak bentuk
“pelecehan” tehadap agama mereka. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti kasus
Saleh di masa Orde Baru[13],
kelompok penekan dan intoleran ini sangat dominan dibandingkan unsur-unsur
yuridis yang perlu dipertimbangkan dalam proses peradilan pidana, sehingga
penegak dan aparat hukum terpaksa melayani amukan kelompok ini keamanan dan
ketertiban umum. Hal ini terkesan sangat utilitaris, karena mementingkan
kelompok atau agama dominan demi ketertiban umum dengan menelantarkan hak-hak
kelompok atau agama minoritas.
Kedua, kesimpangsiuran
penafsiran atas substansi undang-undang. Ketidakjelasan penafsiran atas pasal
156a berujung pada kerentanan multitafsir, yang mudah dipolitisasi untuk
kepentingan tertentu. Sebagaimana diulas Colbran, KUHP menempati posisi puncak,
melebihi UUD 1945 dalam menafsir UU.[14] Padahal, secara hierarkis, KUHP memiliki
posisi di bawah UUD 1945.[15]
Hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjaga kerangka normatif
kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, agar pasal tersebut tidak rentan
multitafsir yang berujung pada konflik agama. Namun, inkonsistensi posisi
hierarkis dalam Peraturan Perundang-undangan menimbulkan sikap
mayoritarianisme. Sebagaimana dikutip Burhani, Sydney Jones mengatakan bahwa
sikap mayoritarianisme sangat berbahaya karena nasib bangsa hanya boleh
dikendalikan dan ditentukan oleh sekelompok mayoritas, sementara kaum minoritas
cukup berperan pasif, minimal, atau diam saja.[16]
Ketiga, intervensi
lembaga-lembaga agama juga turut mempengaruhi posisi pemerintah. Dalam hal ini,
lembaga agama Islam, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), amat mendominasi
keputusan soal keagamaan lewat adanya fatwa, sebagai tolok ukur atau standar
acuan dalam menentukan suatu pihak bersalah atau tidak bersalah, sah atau tidak
sah.
Hal tersebut cukup berbahaya, karena fatwa dari
lembaga agama Islam dapat saja menimbulkan kriminalisasi terhadap
kelompok-kelompok tertentu, yang berujung pada eksklusi. Mirisnya, pemerintah
berpegang pada fatwa tersebut tanpa memperhatikan kepentingan dan keutamaan
yang lebih inklusif. Di sini, pemerintah melegitimasi kepentingan yang
eksklusif, yang tanpa disadari, turut menjadi aktor dalam menyempitkan ruang
hak kelompok minoritas.
Tiga poin yang telah dijelaskan sangat
merepresentasikan posisi pemerintah yang pro dengan kepentingan eksklusif. Di
sinilah letak kelalaian pemerintah Indonesia dalam mengatur jaminan normatif
kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, dengan mengutamakan hak-hak
tiap orang secara adil. Posisi yang tidak seimbang merusak wibawa pemerintah,
sehingga tak salah bila pemerintah itu sendiri rentan dipolitisasi.
Opsi Inklusif: Solusi Mengakhiri
Dilema Posisi Pemerintah Indonesia
Kerentanan pasal 156a untuk dipolitisasi dapat
berujung pada upaya kriminalisasi, tindakan yang diskriminatif, bahkan
persekusi. Untuk itu, dibutuhkan netralitas yang tegas dan jelas dari
pemerintah, guna mengakomodasi jaminan hak-hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Ada dua pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk
menegakkan posisi netral di tengah arus konflik keagamaan.
Pertama, mendelegitimasi
pasal 156a. Delegitimasi yang dimaksud bertolak belakang dari partisipasi
Indonesia di lingkup internasional. Indonesia telah meratifikasi kovenan
internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ratifikasi tersebut
dilakukan karena isi ICCPR tidak berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945.
Tentunya, ini merupakan langkah yang positif dalam
menjamin pelaksanaan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Delegitimasi pasal 156a harus dilakukan, agar infiltrasi kepentingan tertentu
tidak mnegaburkan posisi netral pemerintah, sehingga ruang hak-hak,
perlindungan dan kebebasan oleh pemerintah dapat diakses oleh siapapun tanpa
memandang bulu.
Kedua, perlu adanya revisi atau
tinjauan kembali pasal 156a tentang PPA, agar tidak rentan multitafsir dan
dipolitisasi oleh golongan tertentu, dengan membuat kebijakan yang inklusif.
Sebab, selama ini bahaya utama multitafsir terhadap pasal 156a ialah meluasnya
ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, adanya demonisasi berupa cemooh,
stigmatisasi dan kriminalisasi. Sebagaimana Asfinawati, untuk menghindari
kekacauan dalam menafsir pasal 156a,perlu diubah dengan pasal hate crime,
siar kebencian dan diskriminasi berbasis agama, agar lebih tepat guna
menghindari tindakan mengkriminalisasi kebebasan beragama atau berkeyakinan.[17]
Dua pokok ini dapat dijadikan sebagai opsi inklusif
bagi pemerintah demi menjamin hak-hak kebebasan beragama atau berkeyakinan di
Indonesia. Opsi ini sangat penting agar terhindar dari gejolak fantasi
eksklusif kelompok tertentu, yang penuh sentimen dan primordialistis. Menurut
Zizek, fantasi eksklusif itu seperti penolakan terhadap yang lain. Bila yang
lain ditolak, maka kehidupan akan menjadi sempurna.[18]
Tentu bahwa, pandangan yang eksklusif sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang menghargai kemajemukan, baik
itu suku, ras, maupun agama. Dengan demikian, opsi inklusif perlu dikembangkan
lebih jauh sebagai “fasilitas” masyarakat, agar akomodasi hak-hak,
perlindungan, dan kebebasan dapat dinikmati oleh semua orang.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Ali-Fauzi,
Ihsan,Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi (ed.), Kebebasan, Toleransi
dan Terorisme,
Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia. Jakarta, Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan
Paramadina, 2017.
Colbran,
Nicolo, “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Dalam Tore
Lindholm, W. Cole Durham Jr, dan Bahia G. Tahzib Lie (ed.). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan:
Seberapa Jauh? Sebuah Referensi
Tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terj. Rafael Edi Baskoro dan M. Rifa’I
Abduh. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
Dubuisson,
Daniel. The Western Construction Of Religion: Myths, Knowledge, and Ideology.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2003.
Maarif,
Samsul. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di
Indonesia. Yogyakarta:
CRCS, 2018.
Sihombing,
Uli Parolian, dkk. Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran
Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia. Jakarta: ILRC, 2012.
Soedarto.
Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar
Baru, 1983.
Sutanto,
Trisno S., dkk. Kertas Posisi: Menuntut Pemneuhan Hak-Hak Konstitusional
Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Human Rights Working Group, 2011.
Wignjosoebroto,
Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia.
Jakarta: RajawaliGrafindo, 1994.
Jurnal
Christianto,
Hwian. “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009”. Jurnal Yudisial, 6:1, April, 2013.
Internet
Bawono,
Adi Condro. “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan”. Hukum
Online.com 25 Januari 2012,
<https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1e71d674972/kedudukan-kuh- pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/>,
diakses pada 6 Desember
2020.
Koran
Burhani,
Ahmad Najib. “Kebhinekaan Kita”. Kompas 29 Agustus 2020.
Politik
& Hukum, “Kasus Penodaan Agama Rentan Multitafsir,” dalam Media
Indonesia 22 Agustus
2020.
[1] Ihsan Ali-Fauzi,Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi (ed.), Kebebasan,
Toleransi dan Terorisme, Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia (Jakarta,
Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 2.
[2]Politik & Hukum, “Kasus Penodaan Agama Rentan Multitafsir,”
dalam Media Indonesia 22 Agustus 2020, hlm. 4.
[3] Trisno S. Sutanto, dkk., Kertas Posisi: Menuntut Pemneuhan
Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Jakarta: Human Rights Working Group, 2011), hlm. 6.
[4] Bdk. Nicolo Colbran, “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara,” dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr, dan Bahia G.
Tahzib Lie (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?
Sebuah Referensi Tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terj. Rafael Edi
Baskoro dan M.Rifa’i Abduh (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 702.
[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional:
Dinamika Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Jakarta:
RajawaliGrafindo, 1994), hlm. 200.
[6] Hwian Christianto, “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan
Beragama: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009,” dalam Jurnal
Yudisial, 6:1 (Jakarta:April, 2013), hlm. 3.
[7] Bdk. Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam
Politik Agama di Indonesia (Yogyakarta: CRCS, 2018), hlm. 22-25.
[8] Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian
Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 78-79.
[9] Lih. Colbran, loc.cit.
[10] Bdk. Ihsan Ali-Fauzi, Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi
(ed.), op.cit, hlm. 16-17.
[11] D. Dubuisson, The Western Construction Of Religion: Myths,
Knowledge, and Ideology (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2003),
p. 12.
[12] Uli Parolian Sihombing, dkk., Ketidakadilan dalam Beriman Hasil
Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di
Indonesia (Jakarta: ILRC, 2012), hlm. 71.
[13]Nicola Colbran, op.cit., hlm 705-707.
[14]op.cit., hlm. 710.
[15] Adi Condro Bawono, “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata dalam
Hierarki Peraturan Perundang-undangan”, dalam Hukum Online.com 25
Januari 2012, https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1e71d674972/kedudukan-kuh-pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/,
diakses pada 6 Desember 2020.
[16] Ahmad Najib Burhani, “Kebhinekaan Kita”, dalam Kompas 29
Agustus 2020, hlm. 15.
[17] Politik & Hukum, loc.cit.
[18] Ahmad Burhani, loc.cit.